WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Jumat, 20 Agustus 2010

Kapan kita berhenti mencintai?

oleh Blasius Full pada 12 Mei 2010 jam 14:58

Dalam sebuah obrolan malam Jumat Kliwon, Den Bagus Trondhol, orangyang terkenal alimnya bukan main, tiba-tiba saja memecahkan keheningan malam itu ketika mereka sedang asyik minum kopi ditemani emping dan kacang bawang.

Katanya, "Aneh, dalam diri saya kok muncul pertanyaan ini, kapan saya berhenti mencintai isteri dan anak-anak saya?" Mbah Jebul pun mulai menanggapi, "Lha, kita ya tidak tahu, sama saja kita bertanya, kapan kita mati? Yang pasti sudah jelas kan, kita akan dapat giliran mati, soal kapan itu bukan urusan kita! Begitu juga kalau kita tanya, kapan kita berhenti mencintai?" 

Mas Bandhul pun menimpali dengan gayanya yang ehm...kalem .." Begini Kang Trondhol, kapan kita berhenti mencintai bukan terikat pada waktu tetapi sebenarnya amat ditentukan oleh keputusan batin kita! Lha wong kita masih hidup saja kita bisa berhenti mencintai sesama kita yang paling dekat kalau lagi nggak "mood", bahasa gaulnya anak muda sekarang. Kalau sudah mengatakan nggak "mood", orang lalu berhenti sampai di situ lalu tidak mau berbuat apapun juga. "Ah, peduli amat...Amat saja nggak peduli!". Mas Bujel pun mengiyakan, "Jadi..memang kita itu prinsipnya memang tidak pernah boleh berhenti mencintai! Tuhan saja tidak pernah beristirahat untuk mencintai kok kita mau istirahat mencintai sesama kita! Bayangkan kalau orang tua istirahat mencintai anaknya: pas anaknya sakit, kok bilang, ntar dulu ah, aku lagi istirahat...wah ya nggak tahu nanti jadinya...anak itu bisa tambah parah sakitnya atau malahan....".

Mendengar kata "istirahat", Trondhol pun lalu menyahut, ingat bacaan beberapa Minggu yang lalui, "Lho, Yesus saja beristirahat, kok, "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika. Sebab memang begitu banyak orang yang datang dan yang perdi sehingga makan pun mereka tidak sempat!" Mas Bandhul pun menyanggah, "Oh itu maksudnya bukan
beristirahat arti nggak mood atau ogah-ogahan, tetapi, Yesus dan para murid Nya demi kepentingan pelayanan. Mereka juga sebagai pewarta membutuhkan kekuatan jasmani dan kesegaran baru agar tidak kehabisan baterai'. Cobalah kalau baterai habis bagaimana bisa menyalakan senter. Begitu para pelayan membutuhkan istirahat. Jadi jangan anggapan yang istirahat itu sekedar "angin lalu". 

Istirahat pun sebuah aktivitas tidak kalah pentingnya." Bujel, mantan seminaris itu pun ikut
itulah sebabnya kita menyebut istirahat sebagai "rekreasi", dari asal katanya Bahasa Latin: "re" itu kembali dan creasi dari "creare" artinya menciptakan. Maka rekreasi adalah sebuah usaha untuk menciptkan kembali memulihkan kembali sebagaimana kondisi semula!! Dalam arti itulah,
pelayankristiani diminta untuk "beristirahat" di sela-sela tugas pelayanannya. Trondhiol pun manggut-manggut. "Ya bener juga, ya...orang tua pun butuh istirahat, tetapi soalnya kita itu memang bisa saja membuat alasan agar orang lain memaklumi kita kalau kita sedang beristirahat. Padahal kita bisa saja belum apa-apa tetapi sudah istirahat." "Begitulah,..." tambah Mbah Sugih...di sela-sela pembicaraan, "Supaya kita tidak jatuh dalam kemalasan, bukankah Yesus juga mengajak para murid agar tidak diam ketika melihat orang yang begitu banyak, meski mereka sebenarnya mau mencari tempat
untukistirahat. Tapi orang banyak mengetahui jalannya akhirnya Yesus pun
mengajak para murid untuk mengutamakan pelayanan bagi orang banyak!"

Den Mas Bandhul pun berujar, "Yesus memahami bahwa para murid itu butuh istirahat, tetapi istirahat pun tidak bisa dimutlakkan agar jangan sampai demi kepentingan istirahat, mereka menelantarkan orang yang hidup bagaikan domba tanpa gembala itu. Itulah cara Yesus menunjukkan hidup yang digerakkan oleh belas kasihan. Agar belas kasihan dapat diwujudkan, seorang pelayan membutuhkan keberanian untuk rela kehilangan segala jaminan, termasuk jaminan kesehatan jasmani!" Mendengar penjelasan Mas Bandhul, Bujel pun manggut-manggut, demikian juga Trondhol, dan Mbah Sugih!

Akhirnya Romo Sinten yang mendengar pembicaraan mereka pun, tersenyum dan angkat bicara sebagai penutup pertemuan itu."Para sedulur, menjadi pelayan tanpa kenal lelah, bukanlah mau bersikap sok pahlawan, melainkan harus disadari, namun sebuah sikap yang membutuhkan pengosongan diri agar
kita tidak mencari imbalan, bahkan tidak perlu mengeluh bila tidak "ucapan terimakasih sekalipun. Di situlah letaknya pelayanan kita menjadi tulus agar kasih Allah tanpa syarat dan tanpa pamrih juga menjadi kenyataan bagi sesama"

Pertemuan malam Jumat Kliwon itu berakhir pukul 02.00 dan ditutup dengan doa dan makan bersama dari tumpeng "Sega Megana", masakan dari Bu Rejeki, pemilik rumah makan depan pasar kota Manasuka.

Ditulis di Majenang, 23 Juli 2003

Tidak ada komentar: