WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Jumat, 22 Oktober 2010

Menurut Lini “Mo Met: Sahabat, Gembala, Endorser”

Sumber : http://lini.via-lattea.org/mo-met-sahabat-gembala-endorser

Jumat, 13 Agustus 2010, jam 22.25.

Baru saja aku hendak mematikan komputer. Ini waktunya untuk tidur. Besok harus siap jam 6 pagi untuk menyiapkan Si Sulung berangkat ke Indonesian Robotics Olympiad (IRO) 2010. Tiba-tiba, ponselku berdering. Tertera “Ratih Tjandra”. Ada apa ya? Sudah lama Ratih tidak meneleponku.

“Ya, Tih?”

“Lin, Romo Slamet meninggal.”

“Hah?? Serius lo??”

“Iya! Ini lagi kroscek ke mana-mana.”

“Belum lama ya, Tih, lu bilang Mo Slamet diangkat jadi Ketua Komisi Kateketik Purwokerto. Belum lama juga gue ketemu dia di rumah duka waktu Tantenya Danny meninggal…”

Meluncurlah berbagai nostalgia kami dengan (alm) Rm. Slamet. Tidak lama, telepon ditutup.

Kucoba kroscek ke Mgr. Pujasumarta. Telepon mati. Mungkin baru istirahat setelah pulang dari sidang KWI. Kucoba telepon Rm. Anton, Ekonom Keuskupan Bandung. Rm. Anton malah baru dengar kabar itu dariku

Aku masih melongo. Selang beberapa menit, datang pesan singkat ke ponselku, tertera “Rm. Indra Sanjaya”. Kutelepon Mo Indra.

“Ya, Pakde?”

“Lin, apa betul Rm. Slamet meninggal?”

“Kata Ratih begitu.”

“Padahal aku baru merencanakan proyek sama Romo Slamet…”

Sambil bertelepon, kubuka kedua akun Facebook Rm. Slamet. Sudah ada beberapa ucapan belasungkawa di dindingnya. Tidak salah lagi.

Kutelepon seorang Tante di Purbalingga. Ternyata Tanteku malah baru dengar juga kabarnya. Besok pagi ia akan langsung ke RS. Elisabeth. Sementara itu, ponselku berbunyi lagi. Tertera “Intan Amrin”. Ganti kutelepon Intan.

“Lin, Mo Slamet meninggal?”

“Tadi pertama Ratih yang telepon, katanya sih begitu. Barusan juga telepon Mo Indra, ”

“Padahal gue kepingin banget ketemu sama dia, selalu tertunda…”

Kemudian, aku diberitahu oleh beberapa teman lewat YM: Rm. Adam Soen, Imelda Wijaya, Yovita Wijaya, dan Anie.

Yovita bilang, “Lin, sedih gue… romo baikkk buangett sama gueee… “

Rm. Adam bilang, “Wahhhh Jerawati and Panuroto nggak berlanjut nichh…”

Di jendela sebelah, masuk surel dari Ratna Ariani. “Lini, Romo Slamet sudah pulang kerumah Bapa, gw sedih bangetttt”

Aku sampai detik ini masih merinding, terhenyak, kehabisan kata-kata, mendadak tak bisa tidur padahal besok harus bangun pagi.

Aku ingat ketika pertama kali bertemu dua tahun lalu. Ia baru saja selesai pertemuan (kalau tidak salah Karina-Caritas Indonesia). Kuantar ia ke kantornya Mbak Ibnurini di Jl. MT Haryono.

Aku ingat ketika ia mengirimkan komentar atas bukuku.

Review dari B. Slamet Lasmunadi, Kebumen

Lini, menurutku buku ini memiliki “makna belajar”:

1. Belajar untuk “menerima sejarah hidup” dengan suka dan dukanya.

Membaca tulisanmu itu mengasyikkan tapi sekaligus membuat jantungku berdebar karena baru kali ini aku membaca sebuah “kisah pengakuan sejarah hidup”: entah yang terang dan gelap, dikemas dalam sebuah buku “sejarah”. “Life is opened”, membutuhkan kerendahan hati, siap untuk diremehkan, siap untuk ditolak, bahkan siap untuk dinilai “buruk”. Keberanian untuk menyingkapkan “diri pribadi” itu, rasa rasaku itulah sebuah wujud “penyaliban diri” karena tidak ada gengsi yang dipertahankan, tidak ada lagi kesempatan untuk mencari “pujian” dan juga tidak lagi “ada kesempatan untuk dikatakan orang saleh”.

2. Dengan menulis “My life is open”, rasaku itu sebuah pengalaman untuk ‘belajar mati”. Mematikan diri, yakni tidak lagi mempertahankan dan mencari cari “segala yang istimewa”. Dengan tulisanmu, dirimu dinilai apa adanya, tidak butuuh lagi penilaian…alangkah indahnya, buku itu pun menjadi sebuah “kisah kasih bagi Tuhan” dalam hidup doamu.

3. Dengan menulis “kisah hidup” yang terang dan gelap itu, aku merasa tergerak untuk belajar “berlatih’ tidak perlu membela diriku dengan masa suramku…Itulah pelatihan yang membuat orang bisa “belajar realistis” dalam hidup: belajar untuk juga tidak mencari kesalahan orang lain, melainkan malah belajar “mencari kesalahan dalam diriku” agar aku tahu manakah yang harus kuubah.

4. Menulis “sejarah hidup’ akhirnya menjadi ungkapan iman penuh syukur kepada Tuhan, meski ada kegelapan dalam hidup ini, toh Sang Terang itu tetap bernyala, kecil api itu barangkali, namun tetap bisa membuat panasnya badan, agar bertahan dalam situasi dunia yang penuh ‘manusia dingin’, tidak bergairah untuk hidup.

5. Rasaku, siapapun yang terliibat dalam hidupmu, akan ikut bahagia, “aku menjadi bagian sejarah hidupmu”..ternyata “kegelapan pun bisa menjadi terang” bagi orang lain…bukumu yang “opened’ itu tentu akan memberi inspirasi banyak orang yang gagal, dan takut menerima diri.., dan tulisanmu menguatkan aku juga sebagai imam, hidup itu “belajar apa adanya’!

Lini. selamat ya…aku ikut bahagia…campur berdebar…dan campur terharu… karena …. aku…. (dalam batin…)

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Kebumen, Jawa Tengah

Aku ingat ketika kami kerap chatting malam-malam.

Aku ingat ketika kami kerap berkirim pesan singkat.

Aku ingat ketika ia meneleponku untuk membantu Ratna Ariani membuat blognya.

Aku ingat ketika ia marah padaku tanpa alasan yang jelas. Mungkin saat itu asma atau asam uratnya sedang kambuh.

Aku ingat ketika ia bergabung dengan Yuk Nulis!

Aku ingat pernah marah padanya soal penyakit asam uratnya yang kerap kambuh setahun lalu. “Romo, kalau ada umat yang masakin pakai santan ya ditegor dong!”

“Lini, namanya umat sudah capek masak, ya diterima aja. Menghargai gitu.”

“Ya gak bisa! Kalau umat mau Romonya sehat harus tau Romonya pantang apa. Kalau mau Romonya sakit itu lain soal!”

Sejak itu, aku tak pernah bahas lagi soal asam uratnya.

Aku ingat ketika tahun lalu mudik Natal dan mengajaknya makan bakmi paling top se-Purwokerto, bakmi kegemarannya sejak kecil. Saat itu Rm. Slamet sudah pindah ke Purwokerto.

Aku ingat ketika akhir Juni lalu bertemu dengannya di rumah duka di Purbalingga saat pemakaman Tantenya Danny. Kami berbincang cukup lama. Kutanyakan lagi soal asam uratnya.

Aku ingat ketika mengirimkan naskah buku “Surat Cinta buat Gembala”.

Salah satu semangat hidup yang saya terima dari umat adalah pengakuan bahwa saya masih manusia yang berada dalam proses “menjadi” imam yag sejati. Buku ini rasanya memaparkan berbagai sisi hidup seorang imam dari kacamata umat, yang memandang imamnya “secara manusiawi”. Saya yakin buku ini sangat inspiratif dan tetap segar, agar dengan membaca buku ini, para imam pun tertantang untuk tetap memiliki harapan meski jatuh-bangun mengusahakan kesetiaan terhadap panggilannya. (Blasius Slamet Lasmunadi, Pr. Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Purwokerto)

Aku ingat, lebih dari ingat, kami—POLAR (Panjikristo, aku, Anang Yb, Rini Giri)—belum sempat mengirimkan buku “Surat Cinta buat Gembala” untuknya.

Romo Slamet,

Maaf aku pernah marah padamu.

Maaf aku pernah membuatmu marah padaku.

Maaf kami belum sempat mengirimkan buku untukmu.

Kami kehilangan wajah ceriamu.

Kami kehilangan semangat rendah hatimu.

Kami kehilangan serial Jerawati dan Panurata-mu.

Masih banyak dari kami yang ingin bertemu muka denganmu.

Masih banyak dari kami yang ingin berbuat sesuatu bersamamu.

Masih banyak dari kami yang ingin berdoa bersamamu.

Bagi para gembala yang telah mengabdikan hidupnya agi para domba hingga akhir hayat, rengkuhlah mereka dalam pelukan kudus-Mu di kehidupan kekal.

(Doa untuk Para Gembala, dari buku Surat Cinta buat Gembala oleh POLAR)

Rm. Blasius Slamet Lasmunadi, Pr. Meninggal hari ini, Jumat, 13 Agustus 2010 jam 21.30 di RS Elisabeth Purwokerto dalam usia . Misa requiem dilakukan hari Senin, 16 Agustus 2010 jam 10.00 di Katedral Purwokerto. Jenazah dimakamkan di Kaliori, Purwokerto.

Selasa, 05 Oktober 2010

Pastor Sinten bicara tentang Pendidikan Anak

oleh Blasius Full pada 05 Januari 2010 jam 5:49

Dalam sebuah kesempatan rekoleksi untuk mempersiapkan Natal, Pastor Sinten mengajukan beberapa model pendidikan anak kepada umat yang antusias mengikutinya, termasuk Panurata, Jerawati, dan Judesanti. Pastor Sinten mengatakan begini, "Cobalah Bapak Ibu pikirkan, manakah pendidikan anak yang terbaik menurut Anda?
Model pertama, pendidikan anak dalam Keluarga Trimbil. Pasutri Trimbil selalu berusaha untuk membuat anaknya Kevin bisa mandiri. Karena itu setelah Kevin bisa berjalan dan berbicara lancar, Trimbil selalu meminta Kevin ambil minum sendiri, dan membentak-bentak, "Ambil sendiri dong, kalau minum, kan adhe Kevin punya kaki untuk berjalan, dan punya tangan untuk mengambil!" Kevin berlatih tiap hari begitu, setiap kali dia minta tolong pada papa atau maminya, "Pa, Mam...aku minta minum..haus...!!" Jawaban mereka selalu sama! "Papa Mama sudah bilang Kevin, jangan cengeng, jangan manja, Kevin mesti ambil sendiri, kan sudah diajari ambil air dari dispenser! Kevin punya tangan dan punya kaki kan?" Trimbilwati pun memperlakukan anaknya sama dengan Trimbil suaminya.
Lalu Pastor Sinten melanjutkan, "Model kedua, keluarga Trendi, anaknya David selalu ditawari oleh papa maminya kalau mau makan atau minum. Maminya, Keren, sering bilang begini, "David, piring dan nasimu mau diambilkan atau ambil sendiri? Lauknya...ambil sendiri? David bilang, "Mam, sekarang aku minta diambilin ya....besok aku ambil sendiri, boleh kan Mam?" Maminya menyahut, "David, sekarang Mami ambilkan, besok juga tidak dilarang David minta tolong Mami!" Trendi juga memperlakukan David sama seperti isterinya.
Model ketiga, keluarga Lindung, yang begitu "memanjakan" anaknya, Sony. Lindung sering bilang begini, "Sony, nanti tidak boleh ambil piring dan nasi sendiri ya..! Harus Papi atau Mami yang ambilkan, kalau kamu yang ambil, nanti bisa tumpah, dan lagi kamu kalau ambil nasi sering berjatuhan di mana mana, apalagi ambil sayur, kuahnya sering tumpah! Nah supaya meja tetap bersih, pokoknya Sony tidak boleh ambil sendiri ya!! "Sony diam dan tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu saat, Sony ketahuan ambil sayur sendiri karena minta tambah, tiba-tiba ada bentakan dari Maminya, Lingga, isteri Lindung, "Sony...Sony, tahu tidak, coba lihat, kuah sayur tercecer di mana mana. Mami itu capek sayang, bersih-bersih meja terus tiap hari! Kamu kan punya mulut, minta tolong dong, ama Mami atau Papi."
Setelah menceritakan 3 kasus itu, Pastor Sinten mengajukan pertanyaan, manakah model pendidikan anak yang kira-kira bisa membuat anak mampu belajar ambil keputusan sendiri? Siapa yang memilih model keluarga pertama: Keluarga Trimbil? Dari 80an peserta, hampir setengahnya memilih model Trimbil. Dengan alasan, Trimbil benar, mengajarkan kemandirian kepada anak!
Siapa memilih model keluarga kedua: Trendi dan Keren? Ada sekitar 20 orang yang memilih. Alasan mereka, meskipun sederhana pilihan yang harus diputuskan, tapi Trendi dan Keren membuat anaknya mandiri, tapi juga tidak mengalami kekerasan (bentakan).
Siapa memilih model keluarga ketiga, keluarga Lindung dan Lingga? Hanya ada 10 orang.dan ternyata mereka berasal dari keluarga yang terbiasa hidup di asrama. Alasan mereka, praktis ..kalau makanan dan minuman diambilkan papa dan maminya, jadi tidak berhamburan makanan dan sayuran, dan bisa makan menurut keperluan, tidak harus stress karena banyak nasi dan sayur terbuang karena tidak termakan.
Pastor Sinten lalu mencoba menjelaskan lebih lanjut, 'Jadi ada sekitar 10 orang tidak memilih. Meski tidak memilih...bapak ibu juga membuat sebuah keputusan: yakni tidak memilih! Okey..barangkali bingung juga he ha ha...
Begini, model kedua, Trendi dan Keren bisa menjadi model pendidikan anak yang memberi kesempatan anaknya untuk belajar membuat keputusan. Akan tetapi model itu membutuhkan kesiapan orang tua untuk "makan hati", menanggung resiko: mau repot kalau anak minta diambilkan, juga kalau ambil senidiri, akan ada ketidakaturan di meja makan, piring bisa juga pecah, kuah tercecer dsb.
Model pertama, ekstrim untuk membuat anak mandiri, tapi anak itu tidak mandiri, karena diperintah bahkan dibentak. Dia tidak punya inisiatif untuk ambil sendiri. Sementara anak model keluarga Trendi dan Keren memiliki kesempatan untuk berinsiatif "ambil sendiri". Di situlah bedanya: menjadi mandiri karena perintah, dan menjadi mandiri karena hidup dalam relasi yang membebaskan. Dengan belajar membuat keputusan, anak itu akan tumbuh sebagai pribadi yang terbuka untuk proaktif dan mau inisiatif dalam berbagai hal.
Sementara model keluarga ketiga, Lindung & Lingga menutup kemungkinan anaknya untuk membuat keputusan, tapi selalu dilayani. Jangan heran dari keluarga ini ada kemungkinan tumbuh anak yang sangat tergantung dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pastor Sinten mengakhiri rekoleksi itu dengan mengutip kata-kata Maria, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.(Luk 1:38) Maria mampu ambil keputusan untuk menerima kabar gembira melalui Malaikat Gabriel. Keputusannya penuh resiko karena ia mengandung dari Roh Kudus sebelum menikah dengan Yusuf tunangannya. Apa kata orang? Maria tahu resikonya sebagai orang Yahudi, pasti disingkirkan. Namun, Maria tidak memutuskan untuk menolak Kabar Gembira yang mengejutkan itu melainkan menerimanya sebagai "perkataan Tuhan". Maria menerima dalam resiko yang berat. Itulah keputusan iman, meski resikonya berat, toh Maria tetap ambil keputusan itu: dia tetap percaya untuk mulai melangkah, meski ada banyak ketidakpastian. Dalam ketidakpastian itulah, Maria terbuka kepada penyelenggaraan Ilahi. Bagaimanakah kita akan mampu membuat keputusan seperti Maria, kalau kita tidak membiasakan diri belajar ambil keputusan dalam keluarga kita sendiri. Padahal Allah saja selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk menentukan pilihan dengan sadar dan bebas! Semoga hari hari menjelang Natal, kita mampu belajar untuk menentukan pilihan hidup karena Tuhan sudah percaya kepada kita! Tuhan yang percaya kepada kita adalah Tuhan yang menganugerahkan kebebasan! Kalau begitu, apakah kita juga bersedia untuk menciptakan kesempatan bagi suami, isteri, anak, saudara, sahabat kita agar mereka belajar menentukan jalan hidupnya sendiri?
Semoga Allah selalu diakui kehadiran-Nya dalam keluargamu!
Pastor Sinten mengakhiri rekoleksi itu dengan doa penutup. Panurata, Judesanti, Jerawati keluar dari aula Paroki Fransiskus Sukadiri dengan penuh senyum dan keceriaan. Pastilah mereka ceria bukan karena ketemu dengan Pastor Sinten yang tinggi, gemuk, berkumis tebal, tapi karena rekoleksi kali ini rasanya menggetarkan hati mereka. Komentar Panurata, "Wah, bener bener rekoleksi ini membuat aku hanya bisa tertunduk malu...ternyata cara pendidikan anakku selama ini masih jauuuuuuuh dari harapan Gereja!" Judesanti pun mengatakan yang sama, "Apalagi aku nih, sering membentak anakku, kuping apa canthelan baju lho...dipanggil 3 kali nggak denger! Gitu deh...aku ama anak-anakku!" Tidak kalah ketinggalan Jerawati, "Jangan heran, diam diam begini, aku judes lho....wah...pokoknya kalau nasi sampai tercecer...tidak ragu-ragu nih...paha anakku jadi sasaran tanganku..sebel banget gitu...! Makan aja nggak bisa!" Panurata lalu mencoba menetralisir komentar antar mereka, "ya..yang penting kita sudah sadar sekarang ini...kita berubah sekaranga...iya kan?" Judesanti dan Jerawati serempak mengiyakan, "Iyeee Mas Panu...untung kita ikut rekoleksi ini ya...wah berkat Tuhan di hari Natal ini..untuk keluargaku!"
Mereka bertiga lalu berpisah di depan pintu gerbang gereja St. Fransiskus untuk pulang sendiri sendiri! Mereka pulang dengan kekayaan iman yang baru!

warm regards!

CELENG PEMURUNG

oleh Blasius Full pada 05 Januari 2010 jam 11:47

Ada seekor CELENG Pemurung..
Ia mempunyai tetangga seekor KERA yang mempunyai
sifat sebaliknya..
KERA itu Periang, memiliki banyak Sahabat & Pintar
memberi Nasehat..

Suatu hari CELENG bertamu ke rumah KERA..
Kata CELENG :
'KERA, aku dengar engkau Binatang paling Bijaksana
di Rimba Belantara.. Benarkah itu?'
Sahut KERA :
'Kata Warga Rimba, memang demikian'

'Kalau begitu, boleh aku meminta nasehat kepadamu?'
Kata CELENG lebih lanjut..
'Oh, Silahkan' Jawab KERA..

'Begini KERA.. Aku tidak pernah merasa Bahagia dalam
Hidup ini.. Apa gerangan penyebabnya?'

KERA berpikir sejenak, kemudian menjawab :
'Oh CELENG, Pergilah mencari Pohon ZONGA..
Buahnya berwarna Ungu.. Petiklah buahnya,
lalu makanlah.. Dengan memakan Buah ZONGA saja kau
akan Bahagia seumur Hidup..'

'Buah ZONGA? Aku baru dengar sekarang..
Di mana terdapat Buah itu?'
Keesokan harinya, CELENG Berkelana untuk mencari
Buah Kebahagiaan itu..

Setahun kemudian ia tiba di Rimba tempat ia Lahir..
KERA menyambut kedatangan CELENG yang kini
wajahnya Segar & Ceria..
KERA bertanya :
'Sudahkah kamu menemukan Buah ZONGA?'
CELENG menjawab :
'Belum KERA.. Tetapi aku sangsi apa benar ada
Buah ZONGA itu? Seluruh Pelosok Dunia sudah kujelajahi,
Tidak seorangpun tahu tentang Buah Ajaib itu'

Sambil menyungging senyum, KERA menjawab :
'Benar dugaanmu itu, CELENG.. Buah ZONGA
hanya karanganku belaka.. Tentu saja kau tidak
bisa menemukannya.. Tetapi, bagaimana kau
memperoleh KEBAHAGIAAN itu?'

CELENG menjawab :
'Aku menikmati perjalanan itu.. Di mana2 aku
menjalin Persahabatan.. Setiap hari ada hal2 baru
yang kulihat.. Nah, ternyata dengan banyak
Bersahabat & Melihat luasnya Dunia,
Hatiku menjadi BAHAGIA'

KERA mengangguk2 mengiyakan..

Apa itu KEBAHAGIAAN?
Bagaimana bisa menemukan KEBAHAGIAAN?
BAHAGIA harus dimulai dari diri kita sendiri..
BAHAGIA bukan tergantung dari orang lain..
BAHAGIA bukan didapat dengan Menuntut orang lain..

Sebarkanlah TAWA, kau akan CERIA..
Sebarkanlah CINTA, kau akan BAHAGIA..
Dengan Memberi, kau akan Menerima..
Segala Duka Nestapa kan berganti Canda Ceria,
penuh Gelak Tawa..

HANKS GOD
For my Family..
For my Dearest Buddy..
For my Friends to Share..

I Love you full..
GBU all

from haryono99@gmail.com

Serba Salah Pastor

oleh Blasius Full pada 05 Januari 2010 jam 20:08

Kalau pastornya muda, dibilang masih blo'on. Kalau pastornya tua, sebaiknya pensiun saja.
Kalau khotbah terlalu panjang, dibilang menjengkelkan. Kalau khotbahnya cepat, "Kok, kayak kereta ekspres".
Kalau mulai misa tepat waktu, katanya kaku. Kalau terlambat, "Idiih, pastornya malas".
Kalau di kamar pengakuan menasehati, katanya banyak omong. Kalau sebaliknya, dibilang tidak tanggap.
Kalau mengikuti pendapat umat, dibilang tidak punya pendirian.Kalau mengikuti pendapat sendiri, dicap diktator.
Kalau keuangan paroki mepet, katanya pastor tak pintar usaha. Kalau ngomongin soal uang, dibilang mata duitan.
Kalau mengadakan misa lingkungan, katanya tak pernah kunjungan keluarga.Kalau mengunjungi keluarga, "Kapan sih pastornya misa lingkungan?"
Kalau pastor tak ada di pastoran, dicap tukang ngeluyur.Tapi kalau selalu ada, dibilang pastor kurang pergaulan.
Kalau memperhatikan anak-anak, dibilang "Masa kecil kurang bahagia".Kalau memperhatikan Mudika, giliran orang tua ngegosip.
Kalau dekat dan akrab dengan ibu-ibu dibilang, mungkin pastor masih butuh manja ama Ibunya? Kalau dekat dengan bapak bapak, dibilang, wah mungkin pastor mencari perlindungan agar tidak digosipin ibu-ibu.
Kalau nonton TV, dibilang enak-enakan. Kalau tidak, dibilang enggak mengikuti zaman.
Kalau pastornya tampil parlente dan berkumis tebal, dibilang, waah maskulin banget, puber kedua kali. Kalau pakaian seadanya & ngelomprot, dibilang, sebenernya pastor itu diajarin rawat diri apa nggak sih?
Kalau tidak ikut gabung di Facebook, pastor kok nggak gaul & nggak "up to date"! Tapi kalau tiap hari 3 kali ganti status, wah kerjaannya facebook terus!
Kalau sulit dicari, dibilang hanya Tuhanlah yang tahu kemana pastor pergi!
Kalau pastornya mudah dicari, katanya, waah Hp & BB-nya ONLINE teruuuuuusss!
Kalau pastornya trampil memberi presentasi managemen, dipersoalkan, pastor itu manager atau gembala sih?
Kalau pastornya sering sakit, wah pastor kok senengnya menghabiskan uang untuk berobat!
Kalau pastor sehat, dibilang, pantes aja sehat, kapan saja bisa tidur, kapan saja bisa pergi, lha bebas mengatur dirinya sendiri, gimana tidak sehat?
Kalau pastornya bisa masak, dibilang, emang nggak ada tukang masak apa? Pastor kan bukan tugas utamanya masak nasi, sayur dan sebagainya. Apa nggak ada kerjaan lain?
Kalau pastorya tidak bisa masak dan selalu minta tolong umat, dibilang, pastor itu manja bukan main, masakan setiap kali minta tolong disediakan nasi dan lauk pauk. Apa nggak bisa sendiri?
Kalau pastornya sering pergi dari pastorannya karena ada urusan rapat yang jelas terjadual di papan tulis, orang bilang Pastor itu PSK, Pastor Suka Keluyuran.
Kalau pastornya malahan sering di rumah, dibilang, pastor itu tugasnya jalan jalan, blusukan, tidak hanya duduk depan komputer: alasannya buat laporan, masak tiap hari buat laporan kerja.
TAPI, KALAU PASTORNYA MATI, SIAPA YANG MAU GANTI? SIAPA YAAAAA?
(sebagian dicopy dari artikel di http://enjoybareng.blogspot.com/)

Dokar Pak Trembel

oleh Blasius Full pada 06 Januari 2010 jam 15:33

Saudara-Saudari terkasih,

Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas VIP: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan ikut memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 kalau kereta rusak, harus turun tetapi boleh lihat saja, kelas III: 5000, harus ikut turun, harus ikut memperbaiki dan harus mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.

Kira-kira, apakah Bapak Ibu, anak-anak, mau memilih kelas III? Pasti rasanya kita enggan memilih kelas III, kita lebih suka kelas I, meski mahal, tapi nggak masalah, jadi nggak kerepotan. Masak sudah bayar masih mau disuruh ikut memperbaiki, enak aja!!

Saudara-Saudariku terkasih, mungkinkah dalam "kelompok para penumpang dokar" tadi ada getaran hati untuk saling menolong antara penumpang dan kusir dokar, Pak Trembel? Trimbil mungkin terpaksa harus ikut menolong, karena ya bagaimanapun juga dia orang pas-pasan dari segi keuangan. Ataukah kita mau berperan sebagai Jerawati, yang pinter jadi "pengamat" saja, toh memang sudah membayar sebagaimana tawar menawar dengan kusir. Apalagi Panurata, ia mengatakan tidak akan menolong, kan dia sudah menepati janji sebelum naik, mau naik kelas 1 dengan syarat tidak usah turun dan memperbaiki kalau kereta rusak. Diri kita mau pilih berperan sebagai Panurata, Jerawati atau Trimbil?

Saudara-Saudara terkasih, kelompok penumpang tadi yang tercipta karena "ketentuan tarif kelas utama, kelas II dan kelas III", menutup kemungkinan untuk mendengarkan jeritan kusir yang butuh pertolongan, meski kusir itu ada di depan matanya. Orang seperti Trimbil, membantu karena terpaksa, dan sikap macam begitu juga sikap "terbelenggu", kalau punya uang, ia pun barangkali tidak akan memilih kelas III.

Janganlah heran, barangkali komunitas kita kerap kali dibentuk dan dihidupi berdasarkan aturan-aturan yang menghambat "hadirnya cinta Tuhan" yang memberi kesegaran hidup. Aturan itu kita buat sedemikian rupa seolah-olah itu benar adanya. Cobalah perhatikan ungkapan ini, "Jangan berharap yang misa banyak yang datang, kalau dia sendiri tidak mau aktif di lingkungan! Jangan harap ada pertolongan kalau dia sakit, padahal waktu mereka sehat, tidak juga pernah mau terlibat pendalaman iman di lingkungan! Jangan harap, aku mengampunimu kalau kamu tidak mengampuni aku lebih dulu! Kalau kamu mau dihargai, ya hargai dong orang lain dulu, aku juga menghargai kamu kalau kamu mau menghargai aku!" Hukum balas jasa macam begitu, amat mewarnai bahasa pergaulan di lingkungan, paroki dan masyarakat. Padahal banyak orang miskin, banyak orang lemah dan tersingkir tidak akan pernah bisa membalas kebaikan bapak ibu dan saudara-saudari.

Justru karena orang miskin tidak bisa membalas kebaikan kita itulah, mereka memanggil kita, untuk menjadi tanda kehadiran Tuhan dalam diri orang miskin, lemah dan tersingkir. Mereka memanggil kita agar kita terlibat, sehingga kehadiran kita pun, apapun bentuknya, menjadi "sahabat dalam derita". Dalam bacaan hari ini, Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan orang yang hina. "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Mat 25:40).

Di lain sisi, "keterbatasan" orang miskin untuk membalas kebaikan kita, sebenarnya tidak hanya sekedar panggilan untuk menghadirkan kasih Tuhan, melainkan juga mereka memberikan berkat berlimpah, yakni : Tuhan juga hadir dalam diri kita untuk mengalami pemurnian diri, yakni Tuhan mencabuti akar akar egoisme yang mencari kepuasan batin dalam perbuatan baik dan saleh sekalipun. Dengan kehilangan kepuasan batin, kita belajar untuk memiliki motivasi murni dalam menolong orang lain karena apalah artinya kita terlibat dalam penderitaan sesama, kalau hati kita "penuh dengan egoisme rohani"! Kalau masih mencari kepuasan rohani, sebenarnya kita masih merasa berhak untuk menguasai diri kita sendiri. Kita masih ingin menjadi raja bagi hidup kita. Akibatnya, kita belum memberi kesempatan Kristus menjadi raja atas hidup kita.

Marilah kita belajar untuk membangun keluarga kita sebagai Gereja mini dengan "mengubah kelompok dokar Trembel" menjadi "komunitas dokar Trembel". Artinya, kita tidak sekedar membangun kelompok orang berdasarkan minat, status, jabatan yang selevel, melainkan membangun sebuah paguyuban orang yang dibangun karena sadar, bahwa kita ini adalah anggota Tubuh Mistik, dan Kristus Sang Kepala. Dalam Tubuh-Nya, kita bisa menjadi "satu saudara". Dengan "persaudaraan" itu, akan tercipta banyak kesempatan yang membuat orang kecil, lemah dan tersingkir menjadi pribadi yang dapat hidup layak: punya penghasilan, kebutuhan pokok terpenuhi, terlayani kesehatan dan pendidikan mereka, serta diberi kesempatan pula untuk menentukan hidupnya sendiri.

Kalau kenyataan itu terjadi, semakin nyatalah hanya Kristus yang hidup dalam diri kita, bukan diriku, bukan juga manusia lain.

Sahabat Ketiga

oleh Blasius Full pada 08 Januari 2010 jam 11:38

"Dalam hidup kita harus saling memegang amanah,
berlaku benar dan tidak mengelak tanggung jawab."

Dua orang sahabat bak pinang dibelah dua,
tak terpisahkan!
Mereka berkawan sejak kecil dan saling
menaruh percaya.
Seorang adalah pedagang, dan seorang lain
bendahara kerajaan.
Namun, pergolakan politik membuat kerajaan pecah.
Disintegrasi membuat kedua sahabat itu terpisah
di dua negeri yang berbeda.
Setelah dua tahun lewat, si pedagang ingin
mengunjungi sahabatnya.
Lalu ia pergi ke negeri seberang, tempat
sahabatnya menetap.

Ketika si pedagang tengah berjalan-jalan di tengah
kota, raja segera diberi tahu,
"Raja ada seorang mata-mata lalu-lalang di
negeri kita!"
Tampak sigap, sang raja memerintahkan menangkap si pedagang.
"Hai, kamu mata-mata, apa yang kamu cari di negeriku?" raja mulai mengintrogasi si pedagang.
"Hamba hanya pedagang yang ingin mengunjungi seorang sahabat di negeri ini," jelas si pedagang.
Alasan itu diacuhkan dan kecurigaan sang raja jauh lebih berkuasa.

Dalam persidangan yang serba kilat, hukuman mati dijatuhkan!
Lalu di pedagang sujud menyembah sang raja,
"Perkenankan hamba kembali ke negeri hamba terlebih dahulu.
Hamba harus menyerahkan semua investasi hamba
kepada anak dan istri, jika tidak, mereka akan
terlantar dan hidup dalam kesengsaraan. Setelah itu
hamba akan kembali untuk menjalani hukuman mati!"

"Gila! Apa aku ini raja bodoh? Mana ada tawanan
dilepaskan, dan mau kembali untuk mencari mati?"
sahut sang raja. "Ya mulia, hamba punya seorang sahabat di negeri ini,
dia belahan jiwa saya. Dia pasti mau menjadi jaminan bagi hamba!" usul si pedagang.

Lalu menghadaplah si bendahara kerajaan kepada raja!
"Benarkah terpidana ini karibmu?" tanya raja.
"Benar, paduka. Dan hamba bersedia menjadi jaminan
baginya. Bagi hamba ini sebuah amanah.
Bahagia rasanya melihat sahabat hamba pergi menempuh
risiko untuk mencari hamba, dan kini hamba rela
menawarkan hidup ini untuknya!" si bendahara mencoba
meyakinkan sang raja.
"Ingat! Jika dia tidak kembali dalam waktu tiga puluh
hari, kepalamu yang aku pancung!" tegas sang raja!
Sahabat itu mengangguk setuju.
Saat akhir batas waktu yang disepakati, raja menanti
si pedagang hingga sore hari.

Si pedagang tak kunjung datang.
Segera setelah matahari terbenam raja memerintahkan
tawanan segera dipancung!
Sementara leher si bendahara sudah di bawah eksekusi
pancungan, tiba-tiba seseorang berteriak,
"Raja, raja, hamba datang! Jangan pancung sahabat hamba!"
Si pedagang menarik tubuh sahabatnya, dan merebahkan
dirinya di bawah kapak pancungan!
"Sekarang aku telah siap untuk menjalani hukumanku!"
katanya seraya menatap tajam sahabatnya,
"terima kasih karena engkau mempercayaiku!"

Si bendahara tak ingin bergeser dari pancungan!
"Tidak! Aku sudah siap mati untukmu! Engkau telah
mengamanahkan kepadaku, dan sesungguhnya jika engkau
tak ke negeri ini mencariku, tak akan ada masalah ini, jadi...!"
Perdebatan di bawah eksekusi pancungan itu
berlangsung sengit, dan membuat raja amat terperangah.

Ia belum pernah melihat persahabatan seperti ini.
"Diam, diamlah! Kalian aku bebaskan! Kalian tidak
perlu mati. Persahabatan kalian yang mendalam itu
adalah permata yang mahal," seru raja,
"dan aku mohon kepada kalian, izinkan aku menjadi
sahabat ketiga kalian..."
Raja menjadi sahabat ketiga dan mereka belajar
sebuah hikmat, bahwa dalam hidup kita harus saling
memegang amanah, berlaku benar dan tidak mengelak
tanggung jawab, termasuk dalam mengisi persahabatan.

sent by haryono99@gmail.com

Tape Ketan Hitam Panurata

oleh Blasius Full pada 09 Januari 2010 jam 10:00

Sabtu pagi ini, Panurata naik sepeda karena mau menengok kantor CU "Cikal Bakal" yang berjarak 300 meter dari rumahnya. Dari kejauhan, Jerawati, yang rumahnya cuma 100 meter dari Panurata, kelihatan lari lari kecil memanggil manggil Panurata, "Akaaaaaang Panuuuu!" Panurata kaget, lalu berhenti dan menengok, siapa gerangan yang memanggil, sepertinya suara Jerawati! "Ah ternyata benar juga, orang satu itu, musuh bebuyatanku, tapi juga ya...teman banget!" batin Panurata. Katanya, "Iya...Jeng Trimbil, Kumaha damang, aduuh...sinarieun?" Dengan logat Sunda yang kental, Jerawati menyahut, "Idiiih Akang, pangestu Kang." Panurata mengajak Jerawati sekalian mampir Kantor CU-nya. "Ayo mampir ke kantor saja, kita ngobrol di sana ya!" Mereka berdua lalu berjalan sambil menuntun sepedanya ke kantor CU. 

Dalam perjalanan, Jerawati mengungkapkan isi hatinya, "Akang, aku kangen nih, pingin ngobrol ama Akang!" Jawab Panurata, "Haaah, kangen? Nggak salah denger nih?" Sahut Jerawati, "Iya...kangen ama judes dan galakmu!" Panurata balas, "Yee, emang penting apa kangen ama aku?" Jerawati membalas tak mau kalah, "Lagian, kalau orang kangen itu harus karena kepentingan apa?" Sahut Panurata, "Iyee, kan sudah ada Akang Trimbil, ngapain juga kangen ama aku?" Jawab Jerawati, "Lho, aku kangen kan cuma ama judes & galakmu, nggak seluruhnya, cuma sebagian tahu..!! Jadi, nggak usah GEER, deh...emang dirimu gantheng apa? Ngaca tuh, ngaca dulu.." Bantah Panurata, "Yeee, daripada Trimbil, ganthengan aku, dong!" Sahut Jerawati, "Iya aku tahu, dirimu mah gantheng pisan kalau di tengah kebun binatang dan lagi ngobrol ama monyet-monyet tuh! Ha ha ha ha!!" Muka Panurata langsung merah padam, "Sialan, loe!!" Panurata lalu mengajak Jerawati masuk, "Iya deh, aku kalah, tapi masih mau kan duduk-duduk di kantor CU?" Sahut Jerawati, "Iya, mau aja, no problem..!"

Panurata & Jerawati bincang-bincang di ruang tamu CU sambil ngobrol "ngalor ngidul". "Ayo dicicipi, ini tape ketan hitam, buatan sendiri Neng!" Jerawati terbengong, "Haah buatanmu sendiri? Nggak salah nih, sejak kapan dirmu bisa buat tape ketan?" Sahut Panu, "Yee, sudah lama, cuma aku nggak pernah bilang ama dirimu! Aku buat tape ketan ini sambil menambah pemasukan keluargaku. Jadi, kalau bilang denganmu waaah bisa bisa gratisan terus." Jerawati tertawa, "Enak aja, emang aku mau minta tape ketanmu tiap hari, apa? Aku tuh punya uang, tahuuu!!" Panurata menyahut, "Iya iya...tahu Neng, aduuh...tersungging ya he he he!!" Balas Jerawati, "Nggak tersungging, cuma gondhok tauu!!" Panurata mencoba menenangkan, "Iya deh minta maaf, kalau jadi gondhok...!" Sahut Jerawati,"Yeee..tumben minta maaf...!" Panurata menyahut, "Iyaa, terima kasih sudah dimaafkan!"

Panurata mencoba mengalihkan pembicaraan, "Omong-omong hidup kita ini mestinya seperti tape ketan lho!!" Jerawati terbengong, "Hah, seperti tape ketan? Nggak salah tuh?" Panurata lalu menjelaskan, "Begini, Jeng! Tape ketan itu prosesnya seperti biasa, seperti membuat tape dari ketela pohon. Setelah beras ketan itu kurang lebih 7 jam direndam, lalu dikukus, sampai "lem" dari beras itu keluar, kemudian beras itu dicuci sampai hilang "daya rekatnya" Setelah dikukus sampai matang, kemudian ketan itu didinginkan. Setelah benar benar dingin, barulah ketan itu diberi ragi secara merata, dan diperam sampai 3 hari. Setelah 3 hari, ketan itu akan mengeluarkan air dan terasa manis semuanya!" Jerawati mengangguk-angguk, "Oh begitu? Nah kenapa kenapa mesti menunggu ketan itu dingin baru diberi ragi?" Jawab Panurata, "Itulah kuncinya buat tape, kalau ketan itu masih terasa hangat, ragi itu tidak akan bisa membusukkan ketan dengan sempurna, karena masih ada panas di ketan itu. Ketan yang masih hangat itu cenderung "menolak" untuk diubah oleh ragi itu." Jerawati lalu mulai makin mengerti, "Yap...begitu juga manusia ya, kalau kepala tidak dingin, bagaimana bisa mendengarkan masukan orang lain ya?" Panurata mengangguk, "Naaaaah...betuuul...Jeng..Wah tambah bijaksana sekarang!" Jerawati tersipu sipu, "Aduuh..makasih pujianmu ya..kayaknya baru kali ini dirimu memujiku!" Panurata nyengir, "Iye, kupuji dirimu, karena kan sudah aman he he he...kalau dulu aku memujimu, waaah bisa payah!" Balas Jerawati,"Oh, maksudmu, kalau aku dipuji dirimu, aku terus GEER gitu dan mau menikah denganmu? Yeeee...tak usah ya...nggak usah ke GEER-an...! Sahut Panurata, "Yeee, aku mah nggak GEER tapi ngarep...!!" Jerawati pun tertawa, "Dasaarrr...daripada sendu, kunyanyikan lagu aja deh.."Terlambat sudah..kau datang padaku...!!" Panurata mendengar lagu itu tambah nyengir, "Pinter banget, sih ngeledhek orang?" Balas Jerawati, "Siapa dulu yang memulai?" Panurata cuma senyum kecut, "Maksudmu, kau yang memulai, kau yang mengakhiri??" Jerawati langsung senyum, "Waah kemajuan pinter nyanyi dangdut juga..." Tanpa basa basi, akhirnya Jerawati pamit pulang, "Kang Panu, thanks, ya..sudah ngobrol banyak, lumayan jadi seger nih...Aku pulang dulu ya..sorry mengganggu pekerjaanmu!"

Jerawat pulang dengan rasa segar kembali, dan Panurata pun rasanya makin penuh harapan menyelesaikan pekerjaan di akhir pekan ini.

Haruskah Hati Menciptakan Jarak ??

oleh Blasius Full pada 09 Januari 2010 jam 23:48

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya,
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah,
ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat
tangan dan menjawab, "Karena saat seperti itu ia
telah kehilangan kesabaran, karena itu ia
lalu berteriak."

"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya
justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak?
Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang
dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak
satu pun jawaban yang memuaskan.
Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang
berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua
hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik
mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak
yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya,
semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka
menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang
ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi.
Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan, "Sebaliknya, apa yang
terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta?
Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka
berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu
halus dan kecil. Sehalus apa pun, keduanya bisa
mendengarkan nya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?"

Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya.
Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun
berani memberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka
tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak
perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah
cukup membuat mereka memahami apa yang ingin
mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan, "Ketika Anda sedang
dilanda kemarahan, jangan lah hatimu
menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak
mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di
antara kamu. Mungkin di saat seperti itu,
tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara
yang bijaksana. Karena waktu akan membantu Anda."

Foto di atas meja

oleh Blasius Full pada 10 Januari 2010 jam 3:28

Foto di atas meja

Seorang artis tengah dirundung malang.
Lantaran mencandu narkoba, ia terserang penyakit
maut HIV. Kini ia tergolek sekarat di rumah.
Seorang teman datang mencoba menghibur dan
meneguhkan imannya. Namun dosa-dosa yang telah
diperbuat membutakan mata si artis. Ia putus asa.

"Aku berdosa," akunya memelas, "Aku telah
menghancurkan hidupku dan kehidupan banyak orang
di sekelilingku. Kini aku akan tersiksa di neraka. Tak ada
lagi yang bisa kuperbuat."

Dari sisi tempat tidurnya, sang teman melihat sebuah
potret gadis kecil yang cantik terpigura di atas meja.
"Ini foto siapa?" katanya.

Mendengar pertanyaan itu sang artis antusias,
semangat hidupnya tergerak kembali, "Oh, itu foto putriku.
Dialah mutiara hidupku, ia satu-satunya yang indah
dalam hidupku."

"Apakah kamu akan menolongnya bila ia
mendapat kesulitan, atau melakukan kesalahan?
Maukah kamu memaafkan dia? Apakah kamu
masih mencintainya?"

"Tentu saja." Jawab sang artis antusias. "Aku akan
lakukan apapun demi dia. Mengapa kau
lontarkan pertanyaan seperti ini?"

"Saya ingin kau tahu," jawab sang teman,
"Bahwa Tuhan juga memiliki foto dirimu di atas meja-Nya."

Wajah artis itu terkesiap. Sudah terlalu lama ia tidak
mendengar kata Tuhan, apalagi mengucapkannya.
Sastrawan Rusia, Leo Tolstoy, dalam karyanya
Last Diaries pernah menulis, kamu selalu saja
berpikir tentang orang lain, padahal Tuhan selalu
memikirkan kamu. Apalagi sesungguhnya, Tuhan itu
sering mengunjungi kita, namun kita kerap kali tidak ada
di rumah.

sent by haryono@gmail.com

Doa Panurata & Judesanti

oleh Blasius Full pada 10 Januari 2010 jam 17:41

Suatu saat, di malam minggu, Tuhan mendengarkan doa permohonan Panurata, dan Judesanti, berdoa kepada Tuhan, agar mereka diberi calon suami dan calon isteri untuk mereka masing masing. Mereka berdoa dari rumah masing-masing setelah malam minggu mereka sempat jalan-jalan bersama di sekitar Taman "Firdaus".

Panurata, seorang pemuda yang "gantheng", dan "kasep pisan", yang baru saja lulus sarjana sastra, memanjatkan doa permohoan begini.

"Tuhan, aku bersyukur engkau telah memberi wajah yang gantheng, apalagi kalau dibandingkan dengan teman temanku di kampus dulu. Karena itu, setelah aku jadi sarjana, aku ingin menikah dengan seorang gadis yang cantik. Aku ingin dia memiliki wajah dan tubuh yang tinggi semampai sekitar 170 cm. Aku ingin sekali isteriku berwajahkan seperti Stefania Vernandez dari Venezuela, "Miss World 2009". Calon isteriku nanti mesti pinter memasak, pinter merawat dan mendidik anak, serta pinter memasak. Berikanlah aku seorang istri yang tidak judes, galak dan mudah komentar, atau cerewet. Namun, berilah aku istri, yang pendiam, pengertian n jangan sampai dia mudah curiga, namun mudah percaya kepadaku! Berilah aku istri yang setia, Tuhan, tidak mudah untuk curhat kepada orang lain, melainkan istri yang tahan uji, sabar, dan mudah mengampuni kesalahan suaminya. 

Tuhan, aku percaya, engkau mau mendengarkan doaku dan mengabulkan doaku ini! Amin

Di malam yang sama, Tuhan pun mendengarkan permohonan Judesanti, seorang wanita yang baru saja lulus sarjana akuntansi, yang ingin menikah di tahun depan. Beginilah dia berdoa!

"Tuhan, aku bahagia sekali, karena engkau telah memberikan aku wajah yang cantik, dan tubuh yang sungguh-sungguh menarik banyak pemuda! Namun, di tahun depan, aku ingin menikah dengan seorang pria yang "macho" dan maskulin. Aku ingin, dia adalah pria yang gagah, sehat dan tidak mudah sakit sakitan. Kuberharap, calon suamiku itu orang yang cerdas, dan pinter untuk mengatasi problem rumah tangga. Namun dia juga orang yang jujur, bisa dipercaya, sederhana hidupnya! Aku ingin dia orang yang tidak mudah mengeluh dan kekanak-kanakan, serta tidak suka menuntut pada isterinya, di saat aku jadi wanita yang suka berbelanja di shopping. Aku ingin tetap jadi wanita yang bisa shopping di kala aku stress, meskipun menghabiskan uang banyak, namun itulah obat satu-satunya untuk mengatasi kekuranganku. Jadi kumohon dengan sangat, carikanlah aku seorang pengusaha besar, yang tidak akan kehabisan uang, di saat aku ini membutuhkan uang banyak sebagai obat mujarab kelelahanku setelah mengurus anak setiap hari. Aku mohon calon suamiku itu sungguh sungguh orang yang mau mengerti meski aku patut disalahkan. 

Tuhan aku percaya engkau mau mengabulkan doaku yang tidak sempurna ini!

Setelah mendengar doa mereka, Tuhan pun menjawab doa pria dan wanita itu, 

"Anak-anak-Ku, terimakasih kalian semua jujur pada-Ku. Kalian mau mengatakan keinginanmu yang begitu indah. Siapakah pria dan wanita yang tidak akan bahagia mendapatkan suami dan isteri yang cocok dengan selera, keinginan dan harapannya? Namun sayang sekali, Aku, Tuhanmu, tidak punya seorang wanita seperti yang diminta Panurata. Aku juga tidak sanggup memberikan calon suami yang diminta Judesanti. Aku sebenarnya prihatin kenapa kalian semua meminta yang sangat "sempurna menurut dirimu", padahal kalian semua tidak sempurna. Tetapi kalian meminta yang sempurna. Aku tidak memiliki manusia yang sempurna. Justeru karena pria dan wanita tidak ada yang sempurna, kalian dipanggil untuk saling menyempurnakan dalam perkawinan. Aku akan merestui perkawinan kalian, namun aku tidak pernah akan memberikan calon suami dan calon isteri yang sempurna. Aku akan memberimu pilihan untuk menjadikan salah satu dari antara pria dan wanita yang engkau kenal, engkau tentukan sendiri, menjadi calon pasangan hidupmu. Siapapun pilihanmu, hiduplah untuk saling menyempurnakan, agar makin sempurna seperti Bapa sempurna di surga."

Esok paginya, Judesanti ketemu Panurata di kantornya, CU "Cikal Bakal". Judesanti menatap Panurata dan menyalami dengan tangan yang gemetar dan dingin. Begitulah juga dengan Panurata, ia menyapa dengan terbata-bata, "Neng Judes, apa semalam kita ketemu? Kok Tuhan menyebut namamu dalam doaku?" Sahut Judesanti, "Akang, aku juga merasakan, semalam kita ketemu! Tuhan juga menyebut namamu! Tapi di mana ya kita bertemu? Sambil mata memandang ke depan agak kosong pandangannya, Panurata bercerita, "Semalam aku berdoa meminta jodoh, seorang wanita yang sangat sempurna menurutku, tapi Tuhan tidak mau mengabulkan!" Judesanti pun dengan loyo bercerita, "Sama, Akang! Aku berdoa minta jodoh, tapi Tuhan mengatakan aku ini tidak adil, aku ini orang tidak sempurna kok malah mencari yang sempurna!" Panurata lalu menambahkan, "Jadi, kita doa dengan intensi yang sama ya...?" Jawab Judesanti, "Ternyata intensi doa kita itu sama, Kang". Lanjut Panurata, "Jadi, gimana dong baiknya?" Jawab Judesanti, "Iya nggak gimana gimana Akang! Kita lihat saja, nanti. Terima kasih ya..sudah sharing pagi ini untukku!" Jawab Panurata, "Iyaa, tapi kalau bisa....!" Judesanti memotong, "Kalau bisa apa?" Sahut Panurata, "Nggak jadi ah....! Thanks ya..." Jawab Judesanti, "Iya, sama sama, aku pamit ya..!" 

Judesanti lalu pulang ke rumahnya setelah membayar iuran wajib dan sukarela di CU Cikal Bakal.

Tujuh cara mematikan ide team kerja, Tujuh cara menyuburkan ide team kerjamu!

oleh Blasius Full pada 11 Januari 2010 jam 0:07

Dear all, 

Salah satu kekhasan pemimpin yang baik, justru harus mengenal, kapan kita bisa mematikan ide kreatif seorang teman atau team kerjamu. Dengan mengenal caranya, engkau akan menemukan cara baru untuk menyuburkan ide kreatif dari anggota team kerjamu! Caranya mudah untuk mematikan ide anggota team kerjamu:

1. Janganlah menatap matanya, tetapi lihatlah barang di sekitarnya, atau tunduk saja saat dia mengajak engkau bicara!

2. Katakanlah padanya, "Siapa yang tanya, penting apa idemu buatku?" 

3. Tempatkanlah ide temanmu itu dengan cara "brainstorming": Emang idemu itu satu-satunya yang benar apa? Masih banyak ide bagus lainnya daripada idemu sendiri! Misalnya temanmu sedang menampilkan ide kreatifnya untuk menghias dekorasi manten. Dia membuat dekorasi manten yang bernuansa pegunungan lengkap dengan air terjunnya. Kalau engkau mau mematikan idenya, katakan saja, "Emang kamu sendiri apa yang punya ide seperti itu, aku pun punya, tapi aku nggak suka pamer seperti dirimu!"

4. Ber-SMS-lah terus selama dia berbicara, dan cukup tanggapi dengan kata, "Oh iya, baguslah! Ehmm Begitu...?" 

5. Setiap kali dia berbicara tentang idenya, Anda tidak perlu tanya tentang idenya yang bagus dan kreatif, tapi ajukanlah terus ceritamu sendiri untuk menandingi idenya! Misalnya temanmu sedang punya ide untuk membuat gerakan penghijauan di tanah bukit yang tandus. Temanmu mengajukan usul untuk tanam pohon Jambu Mete. Kamu tidak perlu tanya, kenapa mesti Jambu Mete, tapi langsung saja katakan idemu yang baru. Aku yakin ideku lebih baik, tidak perlu tanam jambu mete, tapi tanamlah pohon beringin, pasti tumbuh subur, dan air akan terserap banyak. Emang pohon jambu mete bisa menjamin tanah jadi subur, apa?

6. Cobalah Anda selalu mencari kata-kata yang dia lontarkan, dan alihkanlah kata kata kunci menjadi titik tolak untuk tertawa. Misalnya, temanmu bicara, "Jadilah sumur yang dicari ember, jangan jadi ember yang mencari sumur terus!" Alihkanlah ide temanmu itu dengan membelokkan kata "ember". "Ya jelas saja, jangan jadi embeeeer...!! Itu sih saya sudah tahu, nggak usah sok menasihati deh...!!" 

7. Tertawalah Anda saat Anda menanggapi idenya. Dia mengemukakan ide "Fund Raising". Mudah saja, untuk meningkatkan uang saku mahasiswa, "Anda tidak perlu cari uang, tapi cukuplah mengurangi jatah rokok, dari sebungkus sehari, jadikanlah sebungkus untuk 12 hari! Uang yang biasa untuk beli rokok sebungkus per hari, masukkanlah ke celengan!" Tanggapilah usul itu dengan tertawa, "Ha ha ha ha, biasalah orang yang tidak pernah ngerokok itu tahunya cuma teori, emang enak apa orang nggak merokok, sakit dan pusing Mas...jadi nggak usah deh...fund raising dengan cara matiraga begituan...kuno...!!

Sekarang, setelah tahu 7 cara yang mudah untuk mematikan ide kreatif anggota team kerjamu, cobalah 7 langkah itu jadikan langkah yang positif:

1. Tataplah wajah dan pandangannya saat dia berbicara serius untuk menceritakan gagasannya yang kreatif! Janganlah mencoba untuk memindahkan pandanganmu ke tempat lain.

2. Katakan kepadanya, "Apapun pendapatmu, pasti akan memperkaya team kerja kita, ayo ceritakan saja, siapa tahu berguna untuk kinerja kita!"

3. Janganlah membuat brainstorming yang menempatkan idenya itu seolah-olah ide yang terjelek, melainkan buatlah brainstorming yang menempatkan idenya itu berkaitan dengan ide ide orang terkenal, ide ide orang pinter lainnya sehingga ia merasa diteguhkan, idenya itu sungguh memang bisa dipertanggungjawabkan.

4. Simpanlah HP-mu, dan tidak perlu angkat telp atau ber SMS ria saat diajak bicara. Tunjukkanlah bahwa orang itu dan idenya sangat penting untuk kinerja teammu.

5. Berusahalah untuk memperdalam ide kreatif yang sudah dilontarkan anggota team kerja, dan tidak perlu memperdebatkan idenya itu dengan idemu sendiri, melainkan terulah bertanya, sambil mencari referensi yang bagus, sehingga ia merasa idenya terdukung.

6. Janganlah membelokkan kata kata kunci sebagai bahan untuk "guyonan" atau "bercanda", karena engkau akan dinilai sebagai pribadi yang suka meremehkan. Namun cobalah merumuskan kata kata kunci itu dan ulangilah di depan dia, agar dia merasakan gagasannya itu sangat penting.

7. Janganlah tertawa, bila dia sedang bicara, melainkan dengarkanlah dengan baik gagasannya yang bagus itu, lalu carilah nilainya yang positif, jangan mencari sisi negatifnya dulu. Semua gagasan akan punya kelebihan dan kelemahan, tapi carilah positifnya dulu!

Semoga ada banyak pemimpin yang tahu menghargai anggota team kerjanya, sehingga ada banyak orang tertantang untuk tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri!

Warm regards!

Sabtu, 25 September 2010

Kado "Katak" untuk Jerawati

oleh Blasius Full pada 12 Januari 2010 jam 11:32

Hari Selasa ini, Panurata datang ke kantor CU Cikal Bakal agak terlambat. Biasanya jam 8 pagi, Panurata selalu sudah "stand by" di kantornya sebagai Direktur CU. Baru seperempat jam duduk, Panurata sudah mulai menguap, "Huaaaah...". Batinnya, "Ngantuk banget, rasanya kok capek banget!" Tiba-tiba, .."Thok-thok-thok...pintu dikethuk, Sekretarisnya, Kenes, masuk, "Pak, ada tamu, cantik orangnya, pingin ketemu Bapak!" Sahut Panurata, "Tanyakan dulu, apa perlunya!" Kenespun mengangguk, "Baik Pak!" 

Kenes tanya pada tamunya, "Mbak, Bapak pingin tahu apa kepentingannya?" Wanita cantik itu menjawab dengan ketus, "Katakan saja, aku musuh bebuyutannya!" Kenes agak ketakutan mendengar kata kata wanita cantik itu. Kenes melapor, "Pak, wanita cantik itu hanya bilang, aku musuh bebuyutannya!" Panurata langsung berdiri, "Hah.....!!!" Panurata langsung cepat jalan keluar dan berdiri diam sebentar dari sela-sela pintu ruang tamu. "Halaaaaah....wong pesek hidung begitu kok dikatakan cantik, Nes ...! Ternyata, hanya tetanggaku...! Aku pikir pendatang baru..!" Panurata tanpa gairah lalu menemui "sang tamu".

Sang tamu, wanita cantik itu pun berdiri dan menyalami Panurata, "Akang...aduuh, kaget ya...he he he!" Sahut Panurata, "Aku pikir wanita cantik, halah halah ternyata dirimu, tetanggaku, musuhku lagi! Yaah...nggak ada variasi blasssss....!! Hanya seorang Jeee raaa waaa tiiiiii!!! Ampyuuuuun.....!!!" Jerawati pun mulai protes, "Ooooo...jadi begitu ya...sekarang aku sudah tidak diharapkan lagi datang bertemu denganmu?? Sudah punya kecengan baru ya....!!" Balas Panurata, "Iya dong, lelaki gitu looh...masakan kalah ama wanita ha ha ha ha!!" Jerawati protes "Heeh...maap...aku mah nggak akan kalah denganmu! Ntar tunggu tanggal mainnya!" Tanpa basa basi Panurata membalas, "Yeee, pembalasan lebih kejam daripada pembunuhan!" Sahut Jerawati, "Bukan begitu, itu kan kata kata orang yang kalaaah? Iya kan? Tidak membalas itu lebih kejam daripada membalas...!! Weeeksss...!! Balas Panurata, "Dasaaaar....kapan nih mau membalasku?" Jerawati protes, "Yee...want to know aja...rahasia dong!!" Jawab Panurata, "Okey deh...aku tunggu pembalasanmu, kalau tidak membalas berarti nggak jadi teman lagi!!" Jerawati kaget, "Haaah...ngancam niiih....!!" Sahut Panurata, "Biarin, sekali kali ngancam Ibu Jerawati alias Nyonya Trimbil he he he!!" Jerawati pun tersenyum kecut, "Yeee...maraaaah yaa...! Okey...karena dikau marah, aku pulang ya...terima kasih banyak sudah bertengkar denganku!" Panurata terbengong, "Haah, jadi datang kesini, kepentinganmu mau bertengkar denganku?"

Sambil berdiri mau pamit, Jerawati menjawab, "Iyaa, kalau dikau tidak diajak bertengkar, ngantuk terus kan? Karena sudah nggak ngantuk, aku pulang, mau masak nih!" Panurata tidak komentar, "Iya sudah, terima kasih ya, lain kali nggak usah datang ya...!! Jawab Jerawati, "Okey, maksudmu nggak usah datang kalau sekali saja kan?" Sahut Panurata, "Dasaar....orang itu kalau sudah kena virus TEPE TEPE, ada ada saja sih!!" Jerawati jalan kaki meninggalkan kantor CU tanpa mengomentari omelan Panurata terakhir.

Jerawati pulang, namun dia mampir dulu di Supermarket untuk membeli keperluan rumah tangga bulan ini. Akhirnya pukul 15, Jerawati sampai di rumah. Tiba-tiba Jerawati kaget campur heran karenai mendapatkan sebuah kado yang terbungkus rapi, kertas pembungkusnya pun bagus bergambar mawar merah! Dia membolak balik kado itu, ringan tapi kok dalamnya ada suatu yang rasanya berjalan ke sana kemari. Jerawati penasaran. Dia menemukan sebuah kartu ucapan, bertuliskan begini, "Jerawati, terimakasih, engkau mau datang ke kantorku. Bagimu, bertengkar denganku itu penting. Aku rasa begitu juga, kalau tidak bertengkar denganmu, otakku ini sulit kreatif. Sebagai tanda terimakasihku, terimalah kado ini. Buka baik baik ya..dan rasakanlah, betapa aku bangga kita tetap bisa bertengkar!" Jerawati tersenyum, "Waaah...berhasil ternyata menaklukan Panurata, sampai dia mengucapkan terima kasih segala!" Jerawati pun mencari "cutter" dan buru buru membuka kado itu dengan menyobek bungkusnya lebih dulu. Isolasi yang menutup kardus itu dipotong, lalu dibuka pelan-pelan, dan..."Waaaaaaaaauwwwwww", Jerawati teriak sekuat kuatnya karena seekor katak langsung melompat dan menempel di baju Jerawati! Sambil terengah engah, Jerawati duduk, "Sial!! Siaaaal!!! Kurangajar..tahu aku takut ama katak, eh...malah dikerjain dulu..!!"

Lagi jengkel jengkelnya, telp rumah berdering..."Kriiiinggg...Kriiiiiiiiiiiinng!" Sambil nafas terengah engah, Jerawati terima telp, "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Sahut penelpon, "Apakah Anda butuh bantuan membuka kado bergambar mawar merah?" Jerawati langsung teriak, "Siaaaaalaaan...Akang Panuuuu...awaaaaas yaaa...!! Tahu nggak ....aku mau mati rasanya, tauuuu....!!" Panurata tertawa, "Jadi lebih baik membalas dulu, daripada keduluan kekekekekke!!! Sahut Jerawati, "Dasar laki-laki, pinter banget ngakalin perempuan ya!! Panurata nggak terima, "Yeee....tapi dirimu suka kan?" Sahut Jerawati, "Nggak suka!! Pokoknya aku mau balas, sampai dirimu tak berkutik!!" Jawab Panurata, "Iyee...siap Jeng...ha ha ha! Thanks ya sudah membuka kadoku...!! Jerawati sambil sewot menjawab, "Yeeee...nggak usah terimakasih!! Pokoknya aku kali ini tidak akan keduluan kamu lagi! Okey..aku mau masak, sudah sore!" Sahut Panurata, "Okey, met masak, jangan marah ya, ntar masakanmu nggak enak lho!" Jawab Jerawati,"Iya ya...Akang...uuuh...! Jerawati langsung menutup gagang telpon.

Sambil duduk baca koran, Jerawati membatin, "Aduuh...ada orang kok kayak Panurata, coba kalau jumlahnya ada 2 saja di Apotek-ku, apa nggak jadi trouble maker. Di rumah, Panurata pun sambil minum kopi ginseng berujar, "Kalau ada nasabah CU, 2 orang saja kayak Jerawati, apa CU nggak malah tambah bangkrut?

Haruskah pasangan suami isteri, orang tua & anak, berkomunikasi satu dengan yang lain?

oleh Blasius Full pada 14 Januari 2010 jam 9:07

Sahabat-Sahabatku, 

Haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu berkomunikasi, berdialog satu dengan yang lain? Pertanyaannya sama, haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu saling mencintai? 

1. Komunikasi itu pilihan bukan keharusan
"Keharusan" itu sebuah istilah untuk menunjukkan "paksaan yang begitu kuat datang dari luar pribadi, dan saya terpaksa melakukannya karena tidak tahan berada dalam tekanan! Mencintai, termasuk, komunikasi, bukanlah sebuah tindakan yang datang dari luar, melainkan tindakan yang lahir dari kedalaman batin. "Kedalaman batin" itu tidak lain adalah "suara hati" yang sudah kaya dengan berbagai macam nilai yang begitu mengesan sehingga suara hati itu menggerakkan orang untuk proaktif: inisiatif keluar dari dirinya sendri. "Keluar dari diri sendiri" itu berarti kesediaan untuk memikirkan pertumbuhan orang lain: apa masalah yang sedang dihadapinya, kesulitan apa saja, yang bisa dibantu; manakah kebutuhan hidup yang bisa disokong bersama dan seterusnya. "Keluar dari diri sendiri" itu tidak lain, tidak menggunakan "kacamata diri sendiri" untuk menilai orang lain, melainkan temuilah orang itu, dan kalau boleh, bertanyalah, agar engkau menemukan kesempatan untuk terlibat. Itulah inti komunikasi: keluar dari diri sendiri: mulai dengan senyum, menyapa, bertanya, murah hati: apa yang bisa kubantu. Sapaan itu akan menciptakan relasi yang memungkinkan orang lain, juga tidak sungkan untuk terlibat dalam hidup kita.

2. Menciptakan kesempatan untuk terlibat
Menciptakan kesempatan untuk terlibat, sebenarnya salah satu bentuk ketrampilan komunikasi dalam perkawinan dan keluarga. Komunikasi yang menciptakan kesempatan itu berpangkal dari kesediaan untuk mengungkapkan perasaaan sendiri secara jujur, dan belajar untuk menanggung resiko juga ditolak. Misalnya begini, ungkapan hati seorang istri, "Mas, pagi ini, aku merasa tertekan dan terbebani untuk bangun pagi dan masak. Meskipun aku tahu, itulah tugas yang mesti kulakukan. Tapi mengapa rasanya, pagi tadi aku merasa sangat terpaksa, dan merasa beban banget!" 

Mendengarkan "ungkapan" perasaan isteri begitu, tanggapan seorang suami "A" bisa begini, "Kapan kamu mau bergairah dan bersemangat untuk bangun pagi dan masak! Siapa yang menekan, siapa yang memaksa? Aku pun tidak memaksamu, dan tidak melarangmu untuk bangun siang. Salah siapa, kok kamu bangun pagi dan masak, padahal aku juga tidak pernah mengatur ini dan itu! Jadi isteri kok seperti diawasi, jangan jangan luka batin dengan ayahmu, tapi malah aku yang seolah olah jadi sumber masalahmu". Apakah reaksi seorang isteri yang perasaan hatinya dikomentari ketus begitu? Bisa membayangkan sendiri, kan?

Suami "B" mungkin menjawab begini, "Iya Dhe, saya bisa memahami kalau kamu tertekan atau terpaksa, meski tidak ada siapapun yang memaksa. Aku pun tidak memaksamu. Pekerjaan rumah tangga itu tiap hari ada dan membosankan. Wajarlah kalau engkau merasa bosan, jenuh, apalagi mungkin karena kerja sendirian. Bisa jadi aku malah yang keliru, karena aku bangun jam 6.30 sementara dirimu sudah bangun 4.30. Saat dikau repot, aku malah tidur ya..!" Apa kira kira tanggapan isterinya? 

Saya yakin, tanggapan suami "B" akan sangat membuat hati itu nyaman dan merasa dicintai, karena "Suami B" itu tidak menyalahkan, melainkan memahami, malahan berusaha untuk mengakui diri, bisa jadi dirinya juga bersalah karena bangun kesiangan. Ungkapan hati isterinya menjadi sebuah teguran, tapi sekaligus juga membuat suaminya tahu, manakah kesempatan untuk mengasihi istrinya, yakni "zonakritis ": pada pagi hari: menyiapkan makanan, menyelesaikan pekerjaan RT yang semalam tertunda, dan belum lagi ank-anak juga butuh persiapan sekolah dst.

Semakin kita berani mengatakan "perasaan yang sedang kritis", kita akan belajar menciptakan kesempatan bagi orang lain untuk tumbuh. Di sisi lain, pasangan hidup itu mesti tertantang untuk menanggapi dan mengatasi zona kritis itu. Bahkan bisa jadi zona kritis itu terjadi karena sikap pasangannya yang kurang mendukung. Dengan kata lain, kesulitan pasangan hidup, atau kesulitan anak-anak tidak selalu bersumber dari mereka sendiri, melainkan juga bisa jadi karena "aku" terlibat mempersulit hidup orang lain. Bagaimanakah kita mampu jadi orang yang mempermudah hidup orang lain?

3. Mempermudah hidup orang lain (jadi fasilitator)
Agar kita mampu jadi fasiltator bagi orang lain, baiklah kita belajar untuk "mengatakan perasaan hati kita sejujurnya pada pasangan hidup dan anak-anak". Namun juga belajar untuk memahami perasaan orang lain yang sedang terluka, kecewa, bosan dst, tanpa menghakimi dan menyalahkannya! Akan tetapi belajarlah untuk menempatkan diri dalam suasana hati orang lain, dan lebih baik mengatakan, "bisa jadi aku juga ikut bersalah", daripada mengatakan, "Susah atau senang kan dibuat dirimu sendiri, kok malah aku yang disalahkan!" Ungkapan yang terakhir itu tidak akan menyuburkan komunikasi, malahan akan memperparah komunikasi. Iorang yang masih mencari kesalahan orang lain, itulah orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Padahal, hanyalah orang yang sanggup merumuskan perasaannya sendiri dengan baik, akan mampu untuk memahami perasaan orang lain.

Semoga ada banyak keluarga, pasutri, orang tua dan anak yang tumbuh subur relasinya karena mampu mengolah perasaan hatinya menjadi kesempatan terindah untuk terlibat dalam hidup satu sama lain.

Manakah yang lebih menakutkan, menguatirkan, mencemaskan & menggelisahkan?

oleh Blasius Full pada 18 Januari 2010 jam 5:17

Sahabatku,

Banyak orang begitu takut dinilai penampilannya, sampai dia bingung untuk memilih baju yang akan dipakainya. Dia bingung karena takut, apa kata orang kalau warna baju dan celana tidak "serasi", alias tidak "matching". Tapi orang tidak merasa takut untuk mengomentari cara penampilan orang lain, dan merasa biasa saja kalau menghakimi menurut kacamatanya sendiri. Padahal, apa yang dikatakan untuk mengadili orang lain, berlaku juga untuk diri kita.

Banyak orang begitu takut kalau tidak mampu memberi kado "amlop" saat hajatan pengantin tetangga, saudara atau kenalannya. Orang takut, harga dirinya mau dikemanakan kalau ketahuan tidak memberi kado, apalagi orang itu masih punya anak perempuan yang siap nikah. Bagaimana nanti jadinya kalau aku tidak memberi "amplop", pastilah juga nanti aku tidak diberi. Wah bisa repot kalau aku tidak memberi, nanti aku sudah menghabiskan puluhan juta untuk hajatan, tapi malah nggak bisa mengembalikan uang itu. Begitulah orang lebih takut tidak memberi kado kepada orang hajatan manten, tapi dia tetap bisa "cuek" kalau tidak memberi "sumbangan" untuk orang yang sedang berkabung. 

Banyak orang begitu takut ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya karena ia tidak lagi bisa bicara banyak hal tentang acara televisi. Karena itu banyak ibu rumah tangga tidak mau kehilangan sahabatnya dengan cara "rajin" nonton TV. Namun orang tidak merasa cemas, kalau dirinya belum berdoa, dan merasa biasa saja, seperti tidak membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. 

Banyak orang sekarang ini tidak merasa gelisah kalau dirinya tidak menyempatkan waktu untuk berdoa! Namun betapa gelisahnya orang itu kalau listrik mati dan tidak dapat menonton acara televisi dan bermain internet. 

Banyak orang merasa tidak gelisah kalau tidak membawa buku doa ke Gereja. namun betapa gelisahnya saat HPnya ketinggalan. Karena itu lebih baik putar balik, dan ambil HP di rumah. Daripada HP ketinggalan di rumah, lebih baik bagi dia pulang ke rumah untuk ambil HP,meskipun akhirnya datang misa terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali (begitukah pembenarannya??)

Banyak orang takut menderita untuk "mati raga". Berapa banyak orang yang sulit untuk berhenti merokok. Mereka jauh lebih berani menanggung resiko "dengan merokok". Padahal mereka tahu akibat merokok bisa kanker paru-paru, serangan jantung dan sesak nafas. Mereka lebih mudah mengeluarkan uang untuk rokok namun lebih sulit untuk menabung dengan jumlah uang yang sama. Kalau sehari saja habis 1 bungkus rokok @ Rp.10.000, dikalikan 31 hari = Rp 310.000 Kalau 12 bulan? Rp 3.620.000. Kalau 5 tahun saja? Ternyata uang yang dikumpulkan cukup beli satu sepeda motor, bukan? Begitulah cukuplah orang mau berkomitmen matiraga sebentar, orang bisa menjadi "kecukupan". Namun apa yang terjadi?

Akhirnya, 
berbagai hal yang dianggap menakutkan,menguatirkan, mencemaskan & menggelisahkan sebenarnya. sebuah kesempatan terindah untuk selalu mengundan hadirnya Roh Kudus, Roh Kasih-Nya, agar kita dapat mengubah ketakutan menjadi keberanian, kekuatiran menjadi harapan, kegelisahan menjadi kedamaian. Kalau keterbatasan itu tidak diolah, akibatnya terbukalah kemungkinan untuk mudah jadi penakut, trouble maker, pribadi yang suka menyalahkan orang lain Persoalannya adalah bagaimanakah mengubah, "Kekuatiran, kecemasan & kegelisahan" itu menjadi "harapan baru?"

Harapan baru itu akan menjadi kenyataan kalau orang berani "mati raga", yakni berkomitmen mau kehilangan kesempatan untuk menikmati segala yang menyenangkan. Komitmen yang tangguh pastilah tercipta karena karakter yang kuat, keterampilan & pengetahuan yang mencukupi. Semoga hari ini, terjadilah mukjijat, air berubah menjadi anggur. Hidup yang serba penuh ketakutan, kecemasan, kekuatiran, diubah oleh darah-Nya itu menjadi hidup penuh harapan. Harapan itu tidak lain kesediaan untuk terus berani melangkah di hari esok, juga kalau ada banyak ketidakpastian hidup. Dalam ketidakpastian itulah, kita akan tertantang untuk lebih mengandalkan Allah daripada mengandalkan manusia dan dunia ini. 

Semoga hari ini ada banyak tanda pengharapan di sela sela berbagai macam masalah dan kesulitan hidup yang sedang kita hadapi bersama. 

Warm regards

Inti komunikasi antara suami-isteri & antara orangtua -anak!

oleh Blasius Full pada 18 Januari 2010 jam 21:00

Sahabat-sahabatku terkasih, 

Melanjutkan artikel yang terdahulu, "apa yang tidak perlu diprioritaskan dalam komunikasi suami isteri, orang tua & anak-anak, saya menawarkan gagasan inti komunikasi dalam perspektif "pemberian diri". Apakah sebenarnya inti komunikasi suami isteri, orang tua dan anak, antar saudara serumah (termasuk dalam sebuah komunitas biara sekalipun)? Inti komunikasi itu tidak terletak pada "perkataan" kita yang harafiah kita ucapkan saja, melainkan terletak dalam kesatuan "tindakan memberikan diri". Apa artinya "memberikan diri?"

1. Memberikan diri itu tidak identik dengan "perbuatan baik"
Banyak orang mengartikan tindakan "memberikan diri" itu sebagai perbuatan baik, sebagai kewajiban yang sudah semestinya dijalankan sebagai suami, isteri, atau anak, atau sebagai anggota komunitas. "Memberikan diri" itu pertama tama berarti sebuah kerelaan untuk kehilangan "apa yang paling kuanggap istimewa!" Apa yang istimewa dalam diri kita? Bisa jadi yang istimewa itu bisa berupa "perasaan gengsi", ambisi untuk disanjung, dipuji, diistimewakan, dan ambisi untuk mengontrol orang lain, ambisi untuk mematahkan pendapat orang lain dengan berbagai argumen yang hebat, ambisi untuk menikmati fasilitas sampai orang lain pun sesama saudara tidak boleh ikut menggunakannya. 
Kalau kita kenal "apa yang istimewa" dalam diri kita, itulah yang mesti kita lepaskan. Kita akan melepaskan "yang istimewa" kalau kita berani untuk "MENCIPTAKAN KESEMPATAN" untuk ditolak, dikecewakan, diremehkan, dikritik. Kesempatan itu diciptakan dengan gaya hidup yang "MENAWARKAN". Misalnya, "Mas, mau minta tolong, apa bisa antar saya ke pasar Manis, sebentar? Dhe, apa Mas bisa minta dibuatkan kopi manis? Nak, tadi masakan ibu, enak atau tidak?" Pertanyaan-pertanyaan macam itu membuka kemungkinan, orang yang kita mintai tolong, akan menolak dengan berbagai alasan, "Aku capek, berangkat sendiri saja! Kenapa sih nggak bisa buat kopi sendiri, kan punya tangan punya kaki! Ah masakan Ibu, nggak enak, enakan masakan Mbok Tun". Dengan cara "MENAWARKAN" itulah, terjadi kemungkinan kita ini mengalami "kekecewaan, penolakan, bahkan diremehkan" oleh pasangan sendiri, atau anak sendiri. Pada saat itulah, Anda mengalami "kehilangan keinginan diistimewakan, dipuji, atau disanjung! Dengan model komunikasi begitu, kita sebenarnya mulai belajar "MEMBERIKAN DIRI". Fokusnya bukan pada perbuatan baik, melainkan fokusnya pada gaya komunikasi yang "MENAWARKAN". 

2. "Memberikan diri" itu tidak lain aktualisasi kehendak bebas sebagai anak Allah 
Orang yang mau memberikan dirinya sebenarnya mengaktualisasikan kehendak bebasnya sebagai anak Allah. Kehendak bebas itu tidak digunakan untuk berbuat dosa melainkan justru untuk berani bermatiraga (menyangkal diri) agar terwujudlah pemberian diri bagi sesamanya. Kehendak bebas itulah yang dianugerahkan Tuhan saat peristiwa misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Kehendak bebas itu dapat diwujudkan justru hanya dalam "keterbatasan", atau dalam "keterikatan" yang jelas. Suami isteri, karena terikat janji pernikahannya, mereka bebas untuk saling mengasihi satu sama lain secara total. Artinya, jelaslah prioritas mengasihi sesama itu bukan "sekedar sesama", tapi sesama itu adalah pasangan hidupnya dan anak-anaknya, karena perkawinan selalu terbuka akan keturunan. Demi prioritas kasih itulah, lalu pilihan tindakan suami isteri, orang tua terhadap anaknya juga mesti dipilih atas dasar titik pijak prioritas itu. 

Misalnya, saat muda, seorang ayah senang sekali mancing, kemanapun cari berbagai macam kolam pemancingan. Kesenangan itu tidak dapat dipenuhi sepenuhnya dalam hidup berkeluarga. Apakah dengan demikian keluarga membatasi hobi? Bukan itu masalahnya, tapi kalau ayah ibu yakin dirinya dipanggil untuk mencintai total anaknya, maka "memancing" itu mesti menjadi urutan terbelakang! Itulah resiko yang harus ditanggung karena memprioritaskan cinta kepada keluarga. Kalau ayah itu lebih suka memancing daripada menemani anaknya belajar, itu berarti "memancing" jauh lebih berharga daripada "seorang anak".

Demikian juga seorang ibu, tidak bisa nonton acara TV terus menerus, sementara anaknya minta makan. Ibu itu akan berhenti nonton TV karena anaknya mesti nomer satu dicintai. Kalau ibu itu nonton TV terus, lalu anaknya disuruh makan mie instan saja, itu berarti "ibu itu lebih cinta TV" daripada anaknya. 

3. Memberikan diri itu rela memperkenalkan "isi hatinya" terdalam kepada pasangan hidup atau anak-anaknya.
Saat masih muda, suami isteri dulu senang berdebat & saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Setelah hidup berkeluarga, cara berpikirnya mesti diubah, bukan memperdebatkan siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan belajar untuk mengungkapkan perasaan hatinya. Misalnya, pagi hari, seorang suami itu bangun jam 7 pagi, sementara isterinya sudah mondar mandir kerepotan mempersiapkan masakan, memandikan anak, membantu mengenakan pakaian, sampai bahkan menyuapi mereka makan. Lalu setelah itu isterinya masih mengantar ke sekolah. Sementara suaminya dengan tenang masih tidur. Situasi itu bisa memicu konflik yang berkepanjangan. Isteri yang punya "cinta" akan mengatakan begini, "Mas, aku pingin mengungkapkan kekecewaanku. Pagi tadi aku merasa kecewa, karena Mas tidak bangun pagi, padahal terdengar sekali, keributanku berkata-kata keras, dan membentak kepada anak anak. Aku merasa bekerja sendiri. Apakah yang salah dari diriku, sampai Mas tidak mau bangun dan menemaniku untuk membereskan pekerjaan rumah tangga pagi tadi?" 
Menghadapi suami yang bangun siang, seorang istri yang kurang "cintanya", akan cepat reaktif dan marah, "Kenapa sih, bangun jam 7, apa nggak tahu, aku kerepotan! Katamu aku isterimu, dan kamu suamiku, tapi mana buktinya? Kamu malah tidur enak enak, sementara aku banting tulang sana sini!" 
Suami yang punya "cinta" akan mengatakan begini, "Baik Dhe, saya minta maaf ya, saya akui bagaimanapun diriku salah, karena tidak bicara denganmu kenapa aku bangun sampai jam 7, sehingga menyusahkan dirimu. Tadi pagi aku pusing sekali! Salahku, aku diam saja, tidak mengatakan sakitku padamu!
Suami yang kurang "cinta" akan langsung bereaksi, "Emang nggak boleh apa bangun siang, siapa yang melarang? Ini rumah juga rumah gue, bukan rumahmu! Nggak usah marah marah deh! Emang hebat apa kalau sudah bisa marah marah ama suami?"

JADI...
Begitulah rasanya "komunikasi pertama tama" bukan soal hanya perkataan baik, halus atau lembut, melainkan apakah kita memiliki "cinta" itu? Kalau kita tidak memiliki cinta itu, baiklah kita meminta "Roh Cinta", yakni Roh Allah sendiri agar menaburkan benih benih cinta itu kepada kita semua, agar komunikasi kita tidak didasarkan sekedar pada "penting atau tidak", tapi didasarkan pada keyakinan, Allah pun mencintai pasanganku, suami isteri, & anak anak! Akhirnya inti komunikasi suami isteri & anak-anak bukan pada "perkataan" melainkan terutama pada "sikap batin".

Semoga tumbuhlah semakin banyak keluarga keluarga yang bersedia saling memberikan diri, agar kasih Allah menjadi nyata di tengah dunia ini.

Sang Dadu

oleh Blasius Full pada 20 Januari 2010 jam 0:06

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk di sana. Seorang wanita empat puluhan duduk kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku yang telah ribuan kali kulewati.

Puluhan tahun yang lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu sudah ada di sana.
Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang kelontong. Ketika itu mobil berhenti di depan kiosnya dan wanita itu datang menghanpiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah Ananda dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah. Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca, saya tak lagi menemui wanita itu.

Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang sama di dalamnya.
Bedanya, kali ini tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis. Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.

sent by haryono99@gmail.com
Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan. Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang keras.

Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap bertahan di sana? Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.

Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih surat kabar dan mulai membaca-baca.
Nanda, keponakan saya itu, kemudian berkata, "Ayo jalan!
Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai-selesai."

Saya tersadar. Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia.
Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.

Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama sekolah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya.
Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan mmeprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan.

Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah lah yang mengatur. Dan disitulah Nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu. Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana.

Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu. Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.

Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali.
Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yg optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.

Tukang Roti dan Petani

oleh Blasius Full pada 20 Januari 2010 jam 5:55

Seorang tukang roti di sebuah desa kecil membeli satu
kilogram mentega dari seorang petani.

Ia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak
benar-benar seberat satu kilogram.

Beberapa kali ia menimbang mentega itu, dan benar,
berat mentega itu tidak penuh satu kilogram.

Yakinlah ia, bahwa petani itu telah melakukan kecurangan.

Ia melaporkan pada hakim, dan petani itu dimajukan ke
sidang pengadilan.

Pada saat sidang, hakim berkata pada petani,

"Tentu kau mempunyai timbangan?"

"Tidak, tuan hakim," jawab petani.

"Lalu, bagaimana kau bisa menimbang mentega yang kau
jual itu?" tanya hakim.

Petani itu menjawab, "Ah, itu mudah sekali dijelaskan,
tuan hakim. Untuk menimbang mentega seberat satu
kilogram itu, sebagai penyeimbang, aku gunakan saja
roti seberat satu kilogram yang aku beli dari tukang
roti itu.

Ternyata roti yang dijual tukang roti itupun
beratnya kurang dari 1 kg . . . . . . . . . .

Dan tukang roti itupun harus berhadapan dengan hakim.


"Smiley...! Cukup banyak contoh, kekesalan kita pada
orang lain berasal dari sikap kita sendiri pada orang
lain.


sent by haryono99@gmail.com

Sabtu, 11 September 2010

Tikus pun berfilsafat

oleh Blasius Full pada 21 Januari 2010 jam 22:24

Di dalam sebuah hutan, hiduplah seekor tikus ahli filsafat.
Ia mengetahui satu hal yang tidak pernah diketahui
hewan-hewan lain. Ia yakin bahwa gelisah bisa membunuh
seseorang. Sebab, gelisah bisa membunuh kebahagiaan,
memadamkan kilauan cahaya dan menghilangkan kenyamanan.
Selain itu, kegelisahan juga bisa menghancurkan akal, hati dan
fisik.

Pada suatu hari, ia ingin mengajari teman-teman dan
anak-anaknya dengan pelajaran tersebut. Tetapi sang tikus
tidak ingin pelajarannya sekadar didengar dan dihafal saja.
Ia ingin pelajaran itu dipraktekkan dan tertanam dalam sanubari.

Ketika sedang berceramah dihadapan hewan-hewan tersebut,
tiba-tiba muncullah seekor singa. Tikus sang filosof kemudian
berkata, "Tuan singa, aku hendak mengatakan sesuatu.
Aku berharap engkau mau memberikan jaminan keamanan
kepadaku."

Sang singa menjawab, "Aku menjamin keamananmu, wahai
tikus yang pemberani."

Tikus kemudian berkata, "Di hadapan semua hewan-hewan ini,
aku hendak menyatakan bahwa aku mampu membunuhmu jika
engkau memberiku waktu selama sebulan penuh.
Seluruh penghuni hutan ini akan melihat hal itu."

Mendengar hal itu, sang singa langsung tertawa. Dengan nada
mengejek, dia berkata, "Engkau mau membunuhku?"

"Benar", jawab filosof tikus mantap dan percaya diri.

"Aku setuju. Tetapi jika engkau tidak bisa melakukannya,
engkau akan kupancung di depan semua hewan.
Waktunya sebulan mulai dari sekarang."

"Baik, aku setuju."

Sepuluh hari telah berlalu dan singa sama sekali tidak pernah
memikirkan ancaman tikus tersebut. Akan tetapi, beberapa
hari kemudian, terbersit dalam hatinya, "Apa yang sebenarnya
hendak dilakukan oleh tikus itu? Kenapa ia kelihatan begitu
meyakinkan? Bagaimana kalau ancaman itu benar-benar terjadi?"

Beberapa saat kemudian ia tertawa jungkir balik sambil
berkata, "Bagaimana mungkin si tikus mampu membunuhku
sedangkan aku punya anak-anak yang akan membelaku?
Walaupun ia mengerahkan seluruh tikus yang ada sekalipun,
tidak mungkin bisa membunuhku."

Beberapa hari kemudian, bisikan tersebut kembali hadir dalam
benaknya. Untuk kali ini, ia merasakan bahwa bisikan tersebut
terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Waktu terus berjalan dan batas waktu yang ditentukan hampir
berakhir. Sementara itu, sang tikus tidak datang untuk
mencabut pernyataannya ataupun menyerah. Justru, filosof
tikus malah terus mengumumkan ancamannya ke seluruh
penghuni hutan.

Melihat kenyataan tersebut, sang singa terus berpikir,
"Apakah filosof tikus mempunyai senjata yang ampuh atau
telah mengumpulkan kekuatan yang luar biasa, atau membuat
jebakan yang mematikan?"

Hari demi hari berganti dan pikiran-pikiran tersebut selalu
muncul hingga membuat singa tidak doyan makan dan minum.
Dia selalu memikirkan nasib dan akhir yang begitu mengerikan,
seperti ancaman tikus tersebut.

Sebelum hari yang ditentukan tiba, tepatnya pada pagi hari yang
keduapuluh lima , hewan-hewan menemukan singa tersebut
telah mati di dalam kandangnya.

Dia telah terbunuh oleh perasaan was-was dan ketakutan.
Daging dan lemaknya telah terbakar oleh kesedihan yang ia
rasakan, padahal sang tikus tidak pernah melakukan tipu
muslihat atau merancang persengkongkolan apapun. Ia hanya
mengetahui sebuah rahasia, bahwa menunggu musibah,
memperkirakan bencana dan was-was terhadap sebuah tragedi
adalah senjata ampuh yang bisa membunuh jagoan pemberani
ataupun sang perkasa yang tidak punya rasa takut.

Jangan pernah menyia-nyiakan waktu

Kebanyakan orang tidak pernah menghiraukan hari-hari yang
dijalaninya, karena sibuk untuk masa depan. Cita-cita telah
membuatnya lupa manisnya kehidupan yang sedang dia jalani.
Yang ada hanyalah ketakutan akan masa depan. Mereka selalu
resah dengan hari-hari yang akan datang.

Mereka selalu berpikir bagaimana seandainya kehilangan
pekerjaan? Bagaimana dia akan memberi makan anak-anak?
Apa yang akan dia katakan kepada teman-teman?
Serta bagaimana nasibnya kemudian?

Kalau kegelisahan mengenai hal-hal tersebut mampu diatasi,
dia akan memikirkan hal-hal lain. Bagaimana seandainya dia
menderita sakit, buta atau kaki buntung? Bagaimana bentuk
tubuhnya nanti? Bagaimana dia akan menanggung semua itu?

Yang ada di dalam kepala hanyalah musibah dan musibah.
Barangkali, mobil yang dinaiki akan mengalami kecelakaan,
barangkali pesawat yang ditumpangi akan jatuh, barangkali
kapal yang ia naiki akan tenggelam dan barangkali saja
bangunan tempat dia tinggal akan runtuh.

Dia pun takut kalau sampai hal-hal yang tidak diinginkan
tersebut terjadi. Orang seperti ini akan menjadi mangsa
empuk serigala buas bernama kegelisahan dan makanan lezat
hantu bernama kesedihan.

sent by haryono99@gmail.com

Suami isteri dipanggil menjadi TANDA kasih setia Allah

Oleh Blasius Full pada 24 Januari 2010 jam 16:38

Dalam rangka kursus persiapan perkawinan, Romo Sinten memberikan sebuah topik, "Suami isteri dipanggil menjadi TANDA kasih setia Allah kepada manusia. Kebetulan saja dua calon pasangan yang saling bersahabat berkesempatan mengikuti kursus bersama sama. Kedua calon pasutri itu, Jerawati & Trimbi, Judesanti & Panurata. Mereka semua rata rata berusia 25-30 tahun. 

Tepat pukul 9 pagi, Minggu ini, Pastor Sinten membuka pertemuan itu dengan meminta Panurata untuk memanjatkan doa pembukaan. Setelah doa pembukaan, Pastor Sinten mulai pembicaraan topik dengan gaya dialog interaktif. 

"Teman teman semua, calon pasutri yang berbahagia, selamat pagi! sambut Rm Sinten.
Para peserta kursus pun langsung menyahut, "Pagiiiii...Romo!!" 
Romo Sinten melanjutkan perbincangan, "Baik, semangat semua! Saya akan mengawali pertemuan ini dengan sebuah pertanyaan. Siapakah yang paling mengasihimu?" Tanpa jeda, Panurata langsung jawab, "Ini dia, calon isteriku, Judesanti, yang paling mengasihiku!!" Judesanti tersipu-sipu malu mendengar jawaban Panurata. Pastor Sinten pun tidak kalah menanggapi, "Maaf Neng Judes, apa bener dikau mengasihi Panurata?" Dengan tenang dan senyum, "Judesanti menanggapi, "Romo, iya bener, saya mengasihi Panurata!" Romo Sinten manggut manggut, "Baiklah! Saya tanya pada Jerawati sekarang!"

Tanya Rm Sinten kepada Jerawati, "Apakah Jeng Jerawati mengasihi Trimbil?" Jerawati nyengir, "Ya iyaaaalaah Romo, wong tinggal 3 bulan lagi mau menikah, kok ditanya mengasihi Trimbil?" Balas Romo Sinten, "Neng Jerawati, sabar ya....jangan sewot dulu, saya cuma tanya lho, apakah Neng Jerawati mengasihi Trimbil?" Jerawati menata duduknya, lalu menjawab lagi, "Iya Romo, aku mencintai Trimbil! Swear....!!" Rm Sinten tertawa, "Aduuh...Neng...kok pakai swear segala! Coba ya..aku cuma tanya, apakah engkau mengasihi Trimbil? Aku tidak bertanya, apakah benar engkau mengasihi Trimbil?" Jerawati mulai cemberut, "Iya deh...Romo! Batin Jerawati, "Romo ini...bawel banget sih!!" 

Romo Sinten lalu melanjutkan dialog, "Baik, minimal dua calon pasutri meenjawab, orang yang paling mengasihimu sekarang adalah calon suami atau calon isterimu. Nah pertanyaan berikutnya, sampai kapankah engkau sebagai suami atau isteri akan mengasihi satu sama lain?" Semua serentak menjawab, "Sampai selamanya Romo, sampai maut memisahkan kita!!" Romo Sinten pun makin antusias bertanya lagi, "Lalu apa jaminanmu, kalau engkau mampu mengasihi pasanganmu ?" Panurata mulai angkat tangan, "Romo, menurut saya begini. Jaminannya ya saya sendiri ini, dengan segala kerapuhanku!" Romo Sinten mulai menyanggah, "Untuk apa kerapuhanmu jadi jaminan? Maksudmu, kalau aku begini rapuhnya, ya terima saja, kan sudah memutuskan untuk menikahiku? Apakah kata kata itu justru, sebuah pembelaan diri yang sebenarnya tidak mau berubah?" Trimbil pun ikut menyahut, "Romo, terus terang saya tidak bisa menjamin. Jujur nih Romo, kalau dompet tipis, tinggal kartu ATM yang barusan kebobolan, belum dapat gaji, saya pasti lebih cenderung untuk stress lalu mudah menyalahkan isteri, cemberut dan mudah marah! Bagi saya, cintaku sebenarnya musiman!" 

Pastor Sinten menanggapi Trimbil, "Wah, jawabanmu sangat jujur, Mas! Saya kaget mendengarkan jawabanmu yang realistis, apa adanya! Begitulah, yang terjadi sebenarnya! Teori kita boleh muluk-muluk, bisa mencintai pasangan untuk selamanya, sampai maut memisahkan. Tetapi, harus kita akui, tidak bisa serta merta kita mencintai sesama tanpa mengenal musim." Judesanti menyahut, "Kalau begitu, siapa Romo yang bisa menjamin cinta kita ini hidup selamanya tanpa mengenal musim? Jawab Pastor Sinten, "Neng Judes, pertanyaanmu sangat bagus! Sebelum menjawab pertanyaanmu, saya ingin bercerita untuk kalian semua. 

"Suatu saat seorang pemuda yang baru mau menikah esok harinya, melihat seorang petani yang sudah setengah tua sedang berjalan di pagi hari sekitar jam 5. Padahal awan sudah gelap, tanda pagi ini mau hujan deras. Dia bertanya, Pak lebih baik pulang saja, daripada ke sawah kehujanan! Petani itu menjawab, "Mas, hujan itu telah jadi cuacaku!" Pemuda itu tidak puas, lalu Tanya lagi, "Pak, kalau kemarau tiba, bagaimana?" Petani itu menyahut, "Hujan saja cuacaku, apalagi kemarau tiba, ya sama saja, itulah cuacaku! Mas, cuaca terang atau hujan sudah menjadi hidupku! Pemuda itu hanya bengong lalu berpikir sebentar, " Iya Pak, ternyata selama ini, saya hidup menurut cuaca, padahal menurut Bapak, cuaca itu adalah hidup Bapak?" Bapak itu hanya tersenyum, "Terima kasih, Nak, sapaan hangatmu pagi ini!"

Pastor Sinten melanjutkan penjelasan, "Siapa yang mau berpendapat?" Panurata angkat tangan, "Saya Romo! Saya merasa belum bisa jadi petani itu karena ada banyak kekuatiran dalam hidupku, sehingga saya kerap kali terpengaruh oleh cuaca sekitar kami, sampai akhirnya kami malah tidak mencintai, tapi malahan saling menyalahkan!" Tanpa komentar balik dari Romo Sinten, Judesanti ikut menanggapi, "Romo, sikap pemuda itu akuuuu bangeeet!" Romo Sinten menanggapi, "Waah, Neng Judes, terima kasih untuk keterbukaan hatimu!" Panurata tersenyum bangga mendengar pengakuan calon isterinya. Terakhir Jerawati pun tidak kalah menanggapi, "Romo, masak sih kita tidak boleh menghindari hujan, dan menunggu terang? Daripada masuk angin, lebih baik tunggu terang baru berangkat! Menurutku, petani itu kok berjiwa pahlawan? Apakah motivasi petani itu jangan jangan mencari pujian!" Panurata melirik Jerawati, "Ehmm, kumat nih temanku satu, judesnya melebihi calon isteriku!" Jerawati pun terasa, langsung melototin Panurata, "Yee, tersindir yaa..?" 

Romo Sinten pun lalu menengahi perbincangan mereka, "Iya bener, Jeng! Ada kemungkinan memang petani itu mencari pujian, tapi yang penting, cerita itu sekedar mau menceritakan, banyak orang mudah luntur komitmennya karena "cuaca di sekitarnya". Petani itu mengajarkan, bagaimana seorang petani tetap komitmen bangun pagi dan pergi ke sawah, meski hari mau hujan sekalipun. Pertanyaanku sekarang, manakah jaminanmu, kalau engkau mau berkomitmen tanpa peduli pada cuaca apapun juga: mau mengasihi satu sama lain saat suka lalu berganti duka, saat hidup menguntungkan tapi kadang berganti dengan kemalangan? Perbandingnnya begini, kalau kita hutang ke pegadaian, tinggal bawa sertifikat tanah, kalung emas, surat berharga lain, pasti kita bisa dapat uang piutang. Nah kalau "mengasihi selamanya sampai maut memisahkan", siapakah yang jadi jaminan?

Para peserta pun akhirnya menjawab, "Dari kami pasti tidak ada jaminan Romo!" Romo Sinten lalu melanjutkan, "Jadi…?? Siapa yang bisa dijadikan jaminan?" Semua peserta menjawab antusias, "Tuhan, Romo, yang bisa jadi jaminan!!" Romo Sinten malah memajukan bibirnya 2 cm sambil berujar, "Haah, Tuhan, yang menjaminmu? Jadi kalau engkau tidak bisa mencintai pasanganmu, siapa yang disalahkan? Tuhan lagi, begitu?" Jerawati angkat tangan, "Romo saya ingin menanggapi pertanyaan nakal itu. Tuhan tidak boleh disalahkan karena kita tidak mampu mengasihi tanpa mengenal musim apapun!" Romo Sinten melanjutkan, "Jadi, kalau begitu tanggapanmu, sebaiknya gimana?"

Panurata pun ikut angkat tangan, "Romo, meski Tuhan tidak boleh disalahkan, tapi bukankah kita harus meminta Tuhan untuk menganugerahkan Roh Kasih-Nya, agar kita mampu mengasihi?" Romo Sinten langsung menyahut, "Naaah, sinarieuun…euy….! Panurata jawab dengan cemerlang!" Panurata langsung senyum tersipu sipu, meski Jerawati jadi cemberut, "Uuh…sok - sokan banget sih dia..!" Romo Sinten tidak melihat cemberutnya Jerawati, "Baik, Mas Panu, itulah sebenarnya letak persoalannya! Roh Kasih Tuhan itu sudah dijanjikan akan diberikan kepada kita, namun menunggu keputusan manusia, yang bebas dan tidak terpaksa! Roh itulah yang memampukan kita untuk selalu mengasihi sesama dalam setiap situasi apapun juga. Masalahnya, apakah kita mau meminta Roh Kasih itu datang menjiwai dan memampukan kehendak bebas kita? Roh Kudus itu tidak otomatis dianugerahkan kepada manusia kalau kita tidak meminta-Nya!" Mas Trimbil & Judesanti kaget, "Waaah kok begitu yaa…!!" Mas Trimbil bertanya, "Bagaimana Romo, kok Allah tidak mencurahkan Roh Kudus secara otomatis. Katanya Allah tahu kebutuhan kita, mengapa tidak langsung diberikan?" Romo Sinten lalu menyahut, "Baik Mas Trimbil, dan semua saja, saya akan kutipkan sabda Yesus dalam Injil Lukas, "Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Lukas 11:10-13). Perhatikanlah, "Ia akan memberikan Roh Kudus, kepada mereka yang memintanya". Jadi begitu besar Tuhan menghargai kehendak bebasmu, sehingga ia menunggu permintaan manusia. Apakah engkau tidak akan meminta Roh itu?"

Romo Sinten melanjutkan penjelasan dengan pertanyaan baru, "Jadi, siapakah yang dapat mengasihi manusia tanpa mengenal musim?" Semua peserta spontan menjawab, "Tuhan, Romo!" Romo Sinten pun langsung menyahut, "Baik, benar jawabanmu! Kalau begitu, siapakah yang akan menjadi tanda kehadiran Tuhan yang mencintai umatnya tanpa mengenal musim? Semua calon pasutri hanya terdiam serius. Spontan Romo Sinten bertanya, "Kenapa kalian diam tidak bergeming?" Judesanti angkat bicara, "Romo, kamilah yang akan menjadi tanda kasih Allah itu bagi suami dan anak-anakku!" Panurata pun menyahut, "Iya, saya mau jadi tanda cinta Tuhan!" Trimbil dan Jerawati pun angkat tangan bersama, "Romo, kami mau jadi tanda itu!" Semua peserta menjawab dengan kesanggupan yang sama. Romo Sinten lalu mengangguk-anggukkan kepala, "Syukur kepada Tuhan, akhirnya teman teman semua mau dipanggil sebagai tanda kehadiran kasih Allah. Bukankah, sakramentalitas perkawinanmu nanti tidak lain terletak dalam kenyataan yang menunjukkan bahwa hidupmu menjadi TANDA kasih Allah! Menjadi TANDA kasih Allah, itu berarti, pertama, mau ambil bagian dalam kisah penciptaan melalui prokreasi, merawat anak dan mendidiknya sampai mereka dewasa. Kedua, kalian tidak saling menghakimi, melainkan mau memberikan kesempatan selalu kepada pasangan dan anak anakmu untuk bangkit dari kelemahannya. Itulah inti mengampuni. Ketiga, kasih Allah itu diwujudkan untuk saling senasib sepenanggungan dalam memanggul penderitaan dan kesulitan hidup bersama sama. " Pastor Sinten lalu bertanya, "Sebagai pertanyaan akhir, siapakah yang paling mengasihi pasanganmu?" 
Mendengar pertanyaan itu, Trimbil & Jerawati tersenyum lalu Jerawati pun menanggapi, "Romo, saya akan berusaha untuk menampilkan hidup yang penuh kasih, agar suami dan anak anakku merasakan cinta Tuhan hadir nyata!". Trimbil pun tersenyum, makin yakin dengan calon isterinya ini. Tidak ketinggalan Panurata dan Judesanti. Panurata pun angkat bicara, "Romo, akulah yang paling akan mengasihi isteriku tercinta ini, sekalipun judes, tapi dia jauh lebih ramah!" Mendengar ungkapan itu Jerawati langsung bereaksi, "Ehem ehem….!!" Trimbil pun menyikut tangan Jerawati, "Kok sewot sih…??" 

Kursus Perkawinan berakhir jam 13. Romo Sinten pun menutup topik "Panggilan suami isteri menjadi tanda kasih Allah" dengan mengungkapkan beberapa kata kunci, " Peran kalian menjadi TANDA kasih Allah akan menjadi kenyataan, kalau kalian saling menciptakan jarak, "space" atau "ruang" agar pasanganmu bisa mengambil keputusan sendiri! "The last but not the least ", selalulah meminta Roh Kasih Allah untuk tinggal dalam jiwa dan ragamu, agar kalian semua sungguh mampu setia mengasihi. Setia itu sikap dasar orang yang mengasihi tanpa mengenal musim. Itulah cinta Tuhan yang tak mengenal musim. Jadikanlah diri kalian selalu menjadi TANDA kasih setia Alah itu!" 
Setelah kata terakhir, giliran Jerawati menutup pertemuan dengan doa penutup. Mereka berempat lalu jalan pulang bersama, sambil masih bercanda satu sama lain.