WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Sabtu, 25 September 2010

Kado "Katak" untuk Jerawati

oleh Blasius Full pada 12 Januari 2010 jam 11:32

Hari Selasa ini, Panurata datang ke kantor CU Cikal Bakal agak terlambat. Biasanya jam 8 pagi, Panurata selalu sudah "stand by" di kantornya sebagai Direktur CU. Baru seperempat jam duduk, Panurata sudah mulai menguap, "Huaaaah...". Batinnya, "Ngantuk banget, rasanya kok capek banget!" Tiba-tiba, .."Thok-thok-thok...pintu dikethuk, Sekretarisnya, Kenes, masuk, "Pak, ada tamu, cantik orangnya, pingin ketemu Bapak!" Sahut Panurata, "Tanyakan dulu, apa perlunya!" Kenespun mengangguk, "Baik Pak!" 

Kenes tanya pada tamunya, "Mbak, Bapak pingin tahu apa kepentingannya?" Wanita cantik itu menjawab dengan ketus, "Katakan saja, aku musuh bebuyutannya!" Kenes agak ketakutan mendengar kata kata wanita cantik itu. Kenes melapor, "Pak, wanita cantik itu hanya bilang, aku musuh bebuyutannya!" Panurata langsung berdiri, "Hah.....!!!" Panurata langsung cepat jalan keluar dan berdiri diam sebentar dari sela-sela pintu ruang tamu. "Halaaaaah....wong pesek hidung begitu kok dikatakan cantik, Nes ...! Ternyata, hanya tetanggaku...! Aku pikir pendatang baru..!" Panurata tanpa gairah lalu menemui "sang tamu".

Sang tamu, wanita cantik itu pun berdiri dan menyalami Panurata, "Akang...aduuh, kaget ya...he he he!" Sahut Panurata, "Aku pikir wanita cantik, halah halah ternyata dirimu, tetanggaku, musuhku lagi! Yaah...nggak ada variasi blasssss....!! Hanya seorang Jeee raaa waaa tiiiiii!!! Ampyuuuuun.....!!!" Jerawati pun mulai protes, "Ooooo...jadi begitu ya...sekarang aku sudah tidak diharapkan lagi datang bertemu denganmu?? Sudah punya kecengan baru ya....!!" Balas Panurata, "Iya dong, lelaki gitu looh...masakan kalah ama wanita ha ha ha ha!!" Jerawati protes "Heeh...maap...aku mah nggak akan kalah denganmu! Ntar tunggu tanggal mainnya!" Tanpa basa basi Panurata membalas, "Yeee, pembalasan lebih kejam daripada pembunuhan!" Sahut Jerawati, "Bukan begitu, itu kan kata kata orang yang kalaaah? Iya kan? Tidak membalas itu lebih kejam daripada membalas...!! Weeeksss...!! Balas Panurata, "Dasaaaar....kapan nih mau membalasku?" Jerawati protes, "Yee...want to know aja...rahasia dong!!" Jawab Panurata, "Okey deh...aku tunggu pembalasanmu, kalau tidak membalas berarti nggak jadi teman lagi!!" Jerawati kaget, "Haaah...ngancam niiih....!!" Sahut Panurata, "Biarin, sekali kali ngancam Ibu Jerawati alias Nyonya Trimbil he he he!!" Jerawati pun tersenyum kecut, "Yeee...maraaaah yaa...! Okey...karena dikau marah, aku pulang ya...terima kasih banyak sudah bertengkar denganku!" Panurata terbengong, "Haah, jadi datang kesini, kepentinganmu mau bertengkar denganku?"

Sambil berdiri mau pamit, Jerawati menjawab, "Iyaa, kalau dikau tidak diajak bertengkar, ngantuk terus kan? Karena sudah nggak ngantuk, aku pulang, mau masak nih!" Panurata tidak komentar, "Iya sudah, terima kasih ya, lain kali nggak usah datang ya...!! Jawab Jerawati, "Okey, maksudmu nggak usah datang kalau sekali saja kan?" Sahut Panurata, "Dasaar....orang itu kalau sudah kena virus TEPE TEPE, ada ada saja sih!!" Jerawati jalan kaki meninggalkan kantor CU tanpa mengomentari omelan Panurata terakhir.

Jerawati pulang, namun dia mampir dulu di Supermarket untuk membeli keperluan rumah tangga bulan ini. Akhirnya pukul 15, Jerawati sampai di rumah. Tiba-tiba Jerawati kaget campur heran karenai mendapatkan sebuah kado yang terbungkus rapi, kertas pembungkusnya pun bagus bergambar mawar merah! Dia membolak balik kado itu, ringan tapi kok dalamnya ada suatu yang rasanya berjalan ke sana kemari. Jerawati penasaran. Dia menemukan sebuah kartu ucapan, bertuliskan begini, "Jerawati, terimakasih, engkau mau datang ke kantorku. Bagimu, bertengkar denganku itu penting. Aku rasa begitu juga, kalau tidak bertengkar denganmu, otakku ini sulit kreatif. Sebagai tanda terimakasihku, terimalah kado ini. Buka baik baik ya..dan rasakanlah, betapa aku bangga kita tetap bisa bertengkar!" Jerawati tersenyum, "Waaah...berhasil ternyata menaklukan Panurata, sampai dia mengucapkan terima kasih segala!" Jerawati pun mencari "cutter" dan buru buru membuka kado itu dengan menyobek bungkusnya lebih dulu. Isolasi yang menutup kardus itu dipotong, lalu dibuka pelan-pelan, dan..."Waaaaaaaaauwwwwww", Jerawati teriak sekuat kuatnya karena seekor katak langsung melompat dan menempel di baju Jerawati! Sambil terengah engah, Jerawati duduk, "Sial!! Siaaaal!!! Kurangajar..tahu aku takut ama katak, eh...malah dikerjain dulu..!!"

Lagi jengkel jengkelnya, telp rumah berdering..."Kriiiinggg...Kriiiiiiiiiiiinng!" Sambil nafas terengah engah, Jerawati terima telp, "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Sahut penelpon, "Apakah Anda butuh bantuan membuka kado bergambar mawar merah?" Jerawati langsung teriak, "Siaaaaalaaan...Akang Panuuuu...awaaaaas yaaa...!! Tahu nggak ....aku mau mati rasanya, tauuuu....!!" Panurata tertawa, "Jadi lebih baik membalas dulu, daripada keduluan kekekekekke!!! Sahut Jerawati, "Dasar laki-laki, pinter banget ngakalin perempuan ya!! Panurata nggak terima, "Yeee....tapi dirimu suka kan?" Sahut Jerawati, "Nggak suka!! Pokoknya aku mau balas, sampai dirimu tak berkutik!!" Jawab Panurata, "Iyee...siap Jeng...ha ha ha! Thanks ya sudah membuka kadoku...!! Jerawati sambil sewot menjawab, "Yeeee...nggak usah terimakasih!! Pokoknya aku kali ini tidak akan keduluan kamu lagi! Okey..aku mau masak, sudah sore!" Sahut Panurata, "Okey, met masak, jangan marah ya, ntar masakanmu nggak enak lho!" Jawab Jerawati,"Iya ya...Akang...uuuh...! Jerawati langsung menutup gagang telpon.

Sambil duduk baca koran, Jerawati membatin, "Aduuh...ada orang kok kayak Panurata, coba kalau jumlahnya ada 2 saja di Apotek-ku, apa nggak jadi trouble maker. Di rumah, Panurata pun sambil minum kopi ginseng berujar, "Kalau ada nasabah CU, 2 orang saja kayak Jerawati, apa CU nggak malah tambah bangkrut?

Haruskah pasangan suami isteri, orang tua & anak, berkomunikasi satu dengan yang lain?

oleh Blasius Full pada 14 Januari 2010 jam 9:07

Sahabat-Sahabatku, 

Haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu berkomunikasi, berdialog satu dengan yang lain? Pertanyaannya sama, haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu saling mencintai? 

1. Komunikasi itu pilihan bukan keharusan
"Keharusan" itu sebuah istilah untuk menunjukkan "paksaan yang begitu kuat datang dari luar pribadi, dan saya terpaksa melakukannya karena tidak tahan berada dalam tekanan! Mencintai, termasuk, komunikasi, bukanlah sebuah tindakan yang datang dari luar, melainkan tindakan yang lahir dari kedalaman batin. "Kedalaman batin" itu tidak lain adalah "suara hati" yang sudah kaya dengan berbagai macam nilai yang begitu mengesan sehingga suara hati itu menggerakkan orang untuk proaktif: inisiatif keluar dari dirinya sendri. "Keluar dari diri sendiri" itu berarti kesediaan untuk memikirkan pertumbuhan orang lain: apa masalah yang sedang dihadapinya, kesulitan apa saja, yang bisa dibantu; manakah kebutuhan hidup yang bisa disokong bersama dan seterusnya. "Keluar dari diri sendiri" itu tidak lain, tidak menggunakan "kacamata diri sendiri" untuk menilai orang lain, melainkan temuilah orang itu, dan kalau boleh, bertanyalah, agar engkau menemukan kesempatan untuk terlibat. Itulah inti komunikasi: keluar dari diri sendiri: mulai dengan senyum, menyapa, bertanya, murah hati: apa yang bisa kubantu. Sapaan itu akan menciptakan relasi yang memungkinkan orang lain, juga tidak sungkan untuk terlibat dalam hidup kita.

2. Menciptakan kesempatan untuk terlibat
Menciptakan kesempatan untuk terlibat, sebenarnya salah satu bentuk ketrampilan komunikasi dalam perkawinan dan keluarga. Komunikasi yang menciptakan kesempatan itu berpangkal dari kesediaan untuk mengungkapkan perasaaan sendiri secara jujur, dan belajar untuk menanggung resiko juga ditolak. Misalnya begini, ungkapan hati seorang istri, "Mas, pagi ini, aku merasa tertekan dan terbebani untuk bangun pagi dan masak. Meskipun aku tahu, itulah tugas yang mesti kulakukan. Tapi mengapa rasanya, pagi tadi aku merasa sangat terpaksa, dan merasa beban banget!" 

Mendengarkan "ungkapan" perasaan isteri begitu, tanggapan seorang suami "A" bisa begini, "Kapan kamu mau bergairah dan bersemangat untuk bangun pagi dan masak! Siapa yang menekan, siapa yang memaksa? Aku pun tidak memaksamu, dan tidak melarangmu untuk bangun siang. Salah siapa, kok kamu bangun pagi dan masak, padahal aku juga tidak pernah mengatur ini dan itu! Jadi isteri kok seperti diawasi, jangan jangan luka batin dengan ayahmu, tapi malah aku yang seolah olah jadi sumber masalahmu". Apakah reaksi seorang isteri yang perasaan hatinya dikomentari ketus begitu? Bisa membayangkan sendiri, kan?

Suami "B" mungkin menjawab begini, "Iya Dhe, saya bisa memahami kalau kamu tertekan atau terpaksa, meski tidak ada siapapun yang memaksa. Aku pun tidak memaksamu. Pekerjaan rumah tangga itu tiap hari ada dan membosankan. Wajarlah kalau engkau merasa bosan, jenuh, apalagi mungkin karena kerja sendirian. Bisa jadi aku malah yang keliru, karena aku bangun jam 6.30 sementara dirimu sudah bangun 4.30. Saat dikau repot, aku malah tidur ya..!" Apa kira kira tanggapan isterinya? 

Saya yakin, tanggapan suami "B" akan sangat membuat hati itu nyaman dan merasa dicintai, karena "Suami B" itu tidak menyalahkan, melainkan memahami, malahan berusaha untuk mengakui diri, bisa jadi dirinya juga bersalah karena bangun kesiangan. Ungkapan hati isterinya menjadi sebuah teguran, tapi sekaligus juga membuat suaminya tahu, manakah kesempatan untuk mengasihi istrinya, yakni "zonakritis ": pada pagi hari: menyiapkan makanan, menyelesaikan pekerjaan RT yang semalam tertunda, dan belum lagi ank-anak juga butuh persiapan sekolah dst.

Semakin kita berani mengatakan "perasaan yang sedang kritis", kita akan belajar menciptakan kesempatan bagi orang lain untuk tumbuh. Di sisi lain, pasangan hidup itu mesti tertantang untuk menanggapi dan mengatasi zona kritis itu. Bahkan bisa jadi zona kritis itu terjadi karena sikap pasangannya yang kurang mendukung. Dengan kata lain, kesulitan pasangan hidup, atau kesulitan anak-anak tidak selalu bersumber dari mereka sendiri, melainkan juga bisa jadi karena "aku" terlibat mempersulit hidup orang lain. Bagaimanakah kita mampu jadi orang yang mempermudah hidup orang lain?

3. Mempermudah hidup orang lain (jadi fasilitator)
Agar kita mampu jadi fasiltator bagi orang lain, baiklah kita belajar untuk "mengatakan perasaan hati kita sejujurnya pada pasangan hidup dan anak-anak". Namun juga belajar untuk memahami perasaan orang lain yang sedang terluka, kecewa, bosan dst, tanpa menghakimi dan menyalahkannya! Akan tetapi belajarlah untuk menempatkan diri dalam suasana hati orang lain, dan lebih baik mengatakan, "bisa jadi aku juga ikut bersalah", daripada mengatakan, "Susah atau senang kan dibuat dirimu sendiri, kok malah aku yang disalahkan!" Ungkapan yang terakhir itu tidak akan menyuburkan komunikasi, malahan akan memperparah komunikasi. Iorang yang masih mencari kesalahan orang lain, itulah orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Padahal, hanyalah orang yang sanggup merumuskan perasaannya sendiri dengan baik, akan mampu untuk memahami perasaan orang lain.

Semoga ada banyak keluarga, pasutri, orang tua dan anak yang tumbuh subur relasinya karena mampu mengolah perasaan hatinya menjadi kesempatan terindah untuk terlibat dalam hidup satu sama lain.

Manakah yang lebih menakutkan, menguatirkan, mencemaskan & menggelisahkan?

oleh Blasius Full pada 18 Januari 2010 jam 5:17

Sahabatku,

Banyak orang begitu takut dinilai penampilannya, sampai dia bingung untuk memilih baju yang akan dipakainya. Dia bingung karena takut, apa kata orang kalau warna baju dan celana tidak "serasi", alias tidak "matching". Tapi orang tidak merasa takut untuk mengomentari cara penampilan orang lain, dan merasa biasa saja kalau menghakimi menurut kacamatanya sendiri. Padahal, apa yang dikatakan untuk mengadili orang lain, berlaku juga untuk diri kita.

Banyak orang begitu takut kalau tidak mampu memberi kado "amlop" saat hajatan pengantin tetangga, saudara atau kenalannya. Orang takut, harga dirinya mau dikemanakan kalau ketahuan tidak memberi kado, apalagi orang itu masih punya anak perempuan yang siap nikah. Bagaimana nanti jadinya kalau aku tidak memberi "amplop", pastilah juga nanti aku tidak diberi. Wah bisa repot kalau aku tidak memberi, nanti aku sudah menghabiskan puluhan juta untuk hajatan, tapi malah nggak bisa mengembalikan uang itu. Begitulah orang lebih takut tidak memberi kado kepada orang hajatan manten, tapi dia tetap bisa "cuek" kalau tidak memberi "sumbangan" untuk orang yang sedang berkabung. 

Banyak orang begitu takut ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya karena ia tidak lagi bisa bicara banyak hal tentang acara televisi. Karena itu banyak ibu rumah tangga tidak mau kehilangan sahabatnya dengan cara "rajin" nonton TV. Namun orang tidak merasa cemas, kalau dirinya belum berdoa, dan merasa biasa saja, seperti tidak membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. 

Banyak orang sekarang ini tidak merasa gelisah kalau dirinya tidak menyempatkan waktu untuk berdoa! Namun betapa gelisahnya orang itu kalau listrik mati dan tidak dapat menonton acara televisi dan bermain internet. 

Banyak orang merasa tidak gelisah kalau tidak membawa buku doa ke Gereja. namun betapa gelisahnya saat HPnya ketinggalan. Karena itu lebih baik putar balik, dan ambil HP di rumah. Daripada HP ketinggalan di rumah, lebih baik bagi dia pulang ke rumah untuk ambil HP,meskipun akhirnya datang misa terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali (begitukah pembenarannya??)

Banyak orang takut menderita untuk "mati raga". Berapa banyak orang yang sulit untuk berhenti merokok. Mereka jauh lebih berani menanggung resiko "dengan merokok". Padahal mereka tahu akibat merokok bisa kanker paru-paru, serangan jantung dan sesak nafas. Mereka lebih mudah mengeluarkan uang untuk rokok namun lebih sulit untuk menabung dengan jumlah uang yang sama. Kalau sehari saja habis 1 bungkus rokok @ Rp.10.000, dikalikan 31 hari = Rp 310.000 Kalau 12 bulan? Rp 3.620.000. Kalau 5 tahun saja? Ternyata uang yang dikumpulkan cukup beli satu sepeda motor, bukan? Begitulah cukuplah orang mau berkomitmen matiraga sebentar, orang bisa menjadi "kecukupan". Namun apa yang terjadi?

Akhirnya, 
berbagai hal yang dianggap menakutkan,menguatirkan, mencemaskan & menggelisahkan sebenarnya. sebuah kesempatan terindah untuk selalu mengundan hadirnya Roh Kudus, Roh Kasih-Nya, agar kita dapat mengubah ketakutan menjadi keberanian, kekuatiran menjadi harapan, kegelisahan menjadi kedamaian. Kalau keterbatasan itu tidak diolah, akibatnya terbukalah kemungkinan untuk mudah jadi penakut, trouble maker, pribadi yang suka menyalahkan orang lain Persoalannya adalah bagaimanakah mengubah, "Kekuatiran, kecemasan & kegelisahan" itu menjadi "harapan baru?"

Harapan baru itu akan menjadi kenyataan kalau orang berani "mati raga", yakni berkomitmen mau kehilangan kesempatan untuk menikmati segala yang menyenangkan. Komitmen yang tangguh pastilah tercipta karena karakter yang kuat, keterampilan & pengetahuan yang mencukupi. Semoga hari ini, terjadilah mukjijat, air berubah menjadi anggur. Hidup yang serba penuh ketakutan, kecemasan, kekuatiran, diubah oleh darah-Nya itu menjadi hidup penuh harapan. Harapan itu tidak lain kesediaan untuk terus berani melangkah di hari esok, juga kalau ada banyak ketidakpastian hidup. Dalam ketidakpastian itulah, kita akan tertantang untuk lebih mengandalkan Allah daripada mengandalkan manusia dan dunia ini. 

Semoga hari ini ada banyak tanda pengharapan di sela sela berbagai macam masalah dan kesulitan hidup yang sedang kita hadapi bersama. 

Warm regards

Inti komunikasi antara suami-isteri & antara orangtua -anak!

oleh Blasius Full pada 18 Januari 2010 jam 21:00

Sahabat-sahabatku terkasih, 

Melanjutkan artikel yang terdahulu, "apa yang tidak perlu diprioritaskan dalam komunikasi suami isteri, orang tua & anak-anak, saya menawarkan gagasan inti komunikasi dalam perspektif "pemberian diri". Apakah sebenarnya inti komunikasi suami isteri, orang tua dan anak, antar saudara serumah (termasuk dalam sebuah komunitas biara sekalipun)? Inti komunikasi itu tidak terletak pada "perkataan" kita yang harafiah kita ucapkan saja, melainkan terletak dalam kesatuan "tindakan memberikan diri". Apa artinya "memberikan diri?"

1. Memberikan diri itu tidak identik dengan "perbuatan baik"
Banyak orang mengartikan tindakan "memberikan diri" itu sebagai perbuatan baik, sebagai kewajiban yang sudah semestinya dijalankan sebagai suami, isteri, atau anak, atau sebagai anggota komunitas. "Memberikan diri" itu pertama tama berarti sebuah kerelaan untuk kehilangan "apa yang paling kuanggap istimewa!" Apa yang istimewa dalam diri kita? Bisa jadi yang istimewa itu bisa berupa "perasaan gengsi", ambisi untuk disanjung, dipuji, diistimewakan, dan ambisi untuk mengontrol orang lain, ambisi untuk mematahkan pendapat orang lain dengan berbagai argumen yang hebat, ambisi untuk menikmati fasilitas sampai orang lain pun sesama saudara tidak boleh ikut menggunakannya. 
Kalau kita kenal "apa yang istimewa" dalam diri kita, itulah yang mesti kita lepaskan. Kita akan melepaskan "yang istimewa" kalau kita berani untuk "MENCIPTAKAN KESEMPATAN" untuk ditolak, dikecewakan, diremehkan, dikritik. Kesempatan itu diciptakan dengan gaya hidup yang "MENAWARKAN". Misalnya, "Mas, mau minta tolong, apa bisa antar saya ke pasar Manis, sebentar? Dhe, apa Mas bisa minta dibuatkan kopi manis? Nak, tadi masakan ibu, enak atau tidak?" Pertanyaan-pertanyaan macam itu membuka kemungkinan, orang yang kita mintai tolong, akan menolak dengan berbagai alasan, "Aku capek, berangkat sendiri saja! Kenapa sih nggak bisa buat kopi sendiri, kan punya tangan punya kaki! Ah masakan Ibu, nggak enak, enakan masakan Mbok Tun". Dengan cara "MENAWARKAN" itulah, terjadi kemungkinan kita ini mengalami "kekecewaan, penolakan, bahkan diremehkan" oleh pasangan sendiri, atau anak sendiri. Pada saat itulah, Anda mengalami "kehilangan keinginan diistimewakan, dipuji, atau disanjung! Dengan model komunikasi begitu, kita sebenarnya mulai belajar "MEMBERIKAN DIRI". Fokusnya bukan pada perbuatan baik, melainkan fokusnya pada gaya komunikasi yang "MENAWARKAN". 

2. "Memberikan diri" itu tidak lain aktualisasi kehendak bebas sebagai anak Allah 
Orang yang mau memberikan dirinya sebenarnya mengaktualisasikan kehendak bebasnya sebagai anak Allah. Kehendak bebas itu tidak digunakan untuk berbuat dosa melainkan justru untuk berani bermatiraga (menyangkal diri) agar terwujudlah pemberian diri bagi sesamanya. Kehendak bebas itulah yang dianugerahkan Tuhan saat peristiwa misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Kehendak bebas itu dapat diwujudkan justru hanya dalam "keterbatasan", atau dalam "keterikatan" yang jelas. Suami isteri, karena terikat janji pernikahannya, mereka bebas untuk saling mengasihi satu sama lain secara total. Artinya, jelaslah prioritas mengasihi sesama itu bukan "sekedar sesama", tapi sesama itu adalah pasangan hidupnya dan anak-anaknya, karena perkawinan selalu terbuka akan keturunan. Demi prioritas kasih itulah, lalu pilihan tindakan suami isteri, orang tua terhadap anaknya juga mesti dipilih atas dasar titik pijak prioritas itu. 

Misalnya, saat muda, seorang ayah senang sekali mancing, kemanapun cari berbagai macam kolam pemancingan. Kesenangan itu tidak dapat dipenuhi sepenuhnya dalam hidup berkeluarga. Apakah dengan demikian keluarga membatasi hobi? Bukan itu masalahnya, tapi kalau ayah ibu yakin dirinya dipanggil untuk mencintai total anaknya, maka "memancing" itu mesti menjadi urutan terbelakang! Itulah resiko yang harus ditanggung karena memprioritaskan cinta kepada keluarga. Kalau ayah itu lebih suka memancing daripada menemani anaknya belajar, itu berarti "memancing" jauh lebih berharga daripada "seorang anak".

Demikian juga seorang ibu, tidak bisa nonton acara TV terus menerus, sementara anaknya minta makan. Ibu itu akan berhenti nonton TV karena anaknya mesti nomer satu dicintai. Kalau ibu itu nonton TV terus, lalu anaknya disuruh makan mie instan saja, itu berarti "ibu itu lebih cinta TV" daripada anaknya. 

3. Memberikan diri itu rela memperkenalkan "isi hatinya" terdalam kepada pasangan hidup atau anak-anaknya.
Saat masih muda, suami isteri dulu senang berdebat & saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Setelah hidup berkeluarga, cara berpikirnya mesti diubah, bukan memperdebatkan siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan belajar untuk mengungkapkan perasaan hatinya. Misalnya, pagi hari, seorang suami itu bangun jam 7 pagi, sementara isterinya sudah mondar mandir kerepotan mempersiapkan masakan, memandikan anak, membantu mengenakan pakaian, sampai bahkan menyuapi mereka makan. Lalu setelah itu isterinya masih mengantar ke sekolah. Sementara suaminya dengan tenang masih tidur. Situasi itu bisa memicu konflik yang berkepanjangan. Isteri yang punya "cinta" akan mengatakan begini, "Mas, aku pingin mengungkapkan kekecewaanku. Pagi tadi aku merasa kecewa, karena Mas tidak bangun pagi, padahal terdengar sekali, keributanku berkata-kata keras, dan membentak kepada anak anak. Aku merasa bekerja sendiri. Apakah yang salah dari diriku, sampai Mas tidak mau bangun dan menemaniku untuk membereskan pekerjaan rumah tangga pagi tadi?" 
Menghadapi suami yang bangun siang, seorang istri yang kurang "cintanya", akan cepat reaktif dan marah, "Kenapa sih, bangun jam 7, apa nggak tahu, aku kerepotan! Katamu aku isterimu, dan kamu suamiku, tapi mana buktinya? Kamu malah tidur enak enak, sementara aku banting tulang sana sini!" 
Suami yang punya "cinta" akan mengatakan begini, "Baik Dhe, saya minta maaf ya, saya akui bagaimanapun diriku salah, karena tidak bicara denganmu kenapa aku bangun sampai jam 7, sehingga menyusahkan dirimu. Tadi pagi aku pusing sekali! Salahku, aku diam saja, tidak mengatakan sakitku padamu!
Suami yang kurang "cinta" akan langsung bereaksi, "Emang nggak boleh apa bangun siang, siapa yang melarang? Ini rumah juga rumah gue, bukan rumahmu! Nggak usah marah marah deh! Emang hebat apa kalau sudah bisa marah marah ama suami?"

JADI...
Begitulah rasanya "komunikasi pertama tama" bukan soal hanya perkataan baik, halus atau lembut, melainkan apakah kita memiliki "cinta" itu? Kalau kita tidak memiliki cinta itu, baiklah kita meminta "Roh Cinta", yakni Roh Allah sendiri agar menaburkan benih benih cinta itu kepada kita semua, agar komunikasi kita tidak didasarkan sekedar pada "penting atau tidak", tapi didasarkan pada keyakinan, Allah pun mencintai pasanganku, suami isteri, & anak anak! Akhirnya inti komunikasi suami isteri & anak-anak bukan pada "perkataan" melainkan terutama pada "sikap batin".

Semoga tumbuhlah semakin banyak keluarga keluarga yang bersedia saling memberikan diri, agar kasih Allah menjadi nyata di tengah dunia ini.

Sang Dadu

oleh Blasius Full pada 20 Januari 2010 jam 0:06

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk di sana. Seorang wanita empat puluhan duduk kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku yang telah ribuan kali kulewati.

Puluhan tahun yang lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu sudah ada di sana.
Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang kelontong. Ketika itu mobil berhenti di depan kiosnya dan wanita itu datang menghanpiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah Ananda dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah. Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca, saya tak lagi menemui wanita itu.

Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang sama di dalamnya.
Bedanya, kali ini tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis. Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.

sent by haryono99@gmail.com
Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan. Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang keras.

Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap bertahan di sana? Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.

Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih surat kabar dan mulai membaca-baca.
Nanda, keponakan saya itu, kemudian berkata, "Ayo jalan!
Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai-selesai."

Saya tersadar. Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia.
Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.

Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama sekolah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya.
Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan mmeprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan.

Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah lah yang mengatur. Dan disitulah Nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu. Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana.

Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu. Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.

Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali.
Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yg optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.

Tukang Roti dan Petani

oleh Blasius Full pada 20 Januari 2010 jam 5:55

Seorang tukang roti di sebuah desa kecil membeli satu
kilogram mentega dari seorang petani.

Ia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak
benar-benar seberat satu kilogram.

Beberapa kali ia menimbang mentega itu, dan benar,
berat mentega itu tidak penuh satu kilogram.

Yakinlah ia, bahwa petani itu telah melakukan kecurangan.

Ia melaporkan pada hakim, dan petani itu dimajukan ke
sidang pengadilan.

Pada saat sidang, hakim berkata pada petani,

"Tentu kau mempunyai timbangan?"

"Tidak, tuan hakim," jawab petani.

"Lalu, bagaimana kau bisa menimbang mentega yang kau
jual itu?" tanya hakim.

Petani itu menjawab, "Ah, itu mudah sekali dijelaskan,
tuan hakim. Untuk menimbang mentega seberat satu
kilogram itu, sebagai penyeimbang, aku gunakan saja
roti seberat satu kilogram yang aku beli dari tukang
roti itu.

Ternyata roti yang dijual tukang roti itupun
beratnya kurang dari 1 kg . . . . . . . . . .

Dan tukang roti itupun harus berhadapan dengan hakim.


"Smiley...! Cukup banyak contoh, kekesalan kita pada
orang lain berasal dari sikap kita sendiri pada orang
lain.


sent by haryono99@gmail.com

Sabtu, 11 September 2010

Tikus pun berfilsafat

oleh Blasius Full pada 21 Januari 2010 jam 22:24

Di dalam sebuah hutan, hiduplah seekor tikus ahli filsafat.
Ia mengetahui satu hal yang tidak pernah diketahui
hewan-hewan lain. Ia yakin bahwa gelisah bisa membunuh
seseorang. Sebab, gelisah bisa membunuh kebahagiaan,
memadamkan kilauan cahaya dan menghilangkan kenyamanan.
Selain itu, kegelisahan juga bisa menghancurkan akal, hati dan
fisik.

Pada suatu hari, ia ingin mengajari teman-teman dan
anak-anaknya dengan pelajaran tersebut. Tetapi sang tikus
tidak ingin pelajarannya sekadar didengar dan dihafal saja.
Ia ingin pelajaran itu dipraktekkan dan tertanam dalam sanubari.

Ketika sedang berceramah dihadapan hewan-hewan tersebut,
tiba-tiba muncullah seekor singa. Tikus sang filosof kemudian
berkata, "Tuan singa, aku hendak mengatakan sesuatu.
Aku berharap engkau mau memberikan jaminan keamanan
kepadaku."

Sang singa menjawab, "Aku menjamin keamananmu, wahai
tikus yang pemberani."

Tikus kemudian berkata, "Di hadapan semua hewan-hewan ini,
aku hendak menyatakan bahwa aku mampu membunuhmu jika
engkau memberiku waktu selama sebulan penuh.
Seluruh penghuni hutan ini akan melihat hal itu."

Mendengar hal itu, sang singa langsung tertawa. Dengan nada
mengejek, dia berkata, "Engkau mau membunuhku?"

"Benar", jawab filosof tikus mantap dan percaya diri.

"Aku setuju. Tetapi jika engkau tidak bisa melakukannya,
engkau akan kupancung di depan semua hewan.
Waktunya sebulan mulai dari sekarang."

"Baik, aku setuju."

Sepuluh hari telah berlalu dan singa sama sekali tidak pernah
memikirkan ancaman tikus tersebut. Akan tetapi, beberapa
hari kemudian, terbersit dalam hatinya, "Apa yang sebenarnya
hendak dilakukan oleh tikus itu? Kenapa ia kelihatan begitu
meyakinkan? Bagaimana kalau ancaman itu benar-benar terjadi?"

Beberapa saat kemudian ia tertawa jungkir balik sambil
berkata, "Bagaimana mungkin si tikus mampu membunuhku
sedangkan aku punya anak-anak yang akan membelaku?
Walaupun ia mengerahkan seluruh tikus yang ada sekalipun,
tidak mungkin bisa membunuhku."

Beberapa hari kemudian, bisikan tersebut kembali hadir dalam
benaknya. Untuk kali ini, ia merasakan bahwa bisikan tersebut
terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Waktu terus berjalan dan batas waktu yang ditentukan hampir
berakhir. Sementara itu, sang tikus tidak datang untuk
mencabut pernyataannya ataupun menyerah. Justru, filosof
tikus malah terus mengumumkan ancamannya ke seluruh
penghuni hutan.

Melihat kenyataan tersebut, sang singa terus berpikir,
"Apakah filosof tikus mempunyai senjata yang ampuh atau
telah mengumpulkan kekuatan yang luar biasa, atau membuat
jebakan yang mematikan?"

Hari demi hari berganti dan pikiran-pikiran tersebut selalu
muncul hingga membuat singa tidak doyan makan dan minum.
Dia selalu memikirkan nasib dan akhir yang begitu mengerikan,
seperti ancaman tikus tersebut.

Sebelum hari yang ditentukan tiba, tepatnya pada pagi hari yang
keduapuluh lima , hewan-hewan menemukan singa tersebut
telah mati di dalam kandangnya.

Dia telah terbunuh oleh perasaan was-was dan ketakutan.
Daging dan lemaknya telah terbakar oleh kesedihan yang ia
rasakan, padahal sang tikus tidak pernah melakukan tipu
muslihat atau merancang persengkongkolan apapun. Ia hanya
mengetahui sebuah rahasia, bahwa menunggu musibah,
memperkirakan bencana dan was-was terhadap sebuah tragedi
adalah senjata ampuh yang bisa membunuh jagoan pemberani
ataupun sang perkasa yang tidak punya rasa takut.

Jangan pernah menyia-nyiakan waktu

Kebanyakan orang tidak pernah menghiraukan hari-hari yang
dijalaninya, karena sibuk untuk masa depan. Cita-cita telah
membuatnya lupa manisnya kehidupan yang sedang dia jalani.
Yang ada hanyalah ketakutan akan masa depan. Mereka selalu
resah dengan hari-hari yang akan datang.

Mereka selalu berpikir bagaimana seandainya kehilangan
pekerjaan? Bagaimana dia akan memberi makan anak-anak?
Apa yang akan dia katakan kepada teman-teman?
Serta bagaimana nasibnya kemudian?

Kalau kegelisahan mengenai hal-hal tersebut mampu diatasi,
dia akan memikirkan hal-hal lain. Bagaimana seandainya dia
menderita sakit, buta atau kaki buntung? Bagaimana bentuk
tubuhnya nanti? Bagaimana dia akan menanggung semua itu?

Yang ada di dalam kepala hanyalah musibah dan musibah.
Barangkali, mobil yang dinaiki akan mengalami kecelakaan,
barangkali pesawat yang ditumpangi akan jatuh, barangkali
kapal yang ia naiki akan tenggelam dan barangkali saja
bangunan tempat dia tinggal akan runtuh.

Dia pun takut kalau sampai hal-hal yang tidak diinginkan
tersebut terjadi. Orang seperti ini akan menjadi mangsa
empuk serigala buas bernama kegelisahan dan makanan lezat
hantu bernama kesedihan.

sent by haryono99@gmail.com

Suami isteri dipanggil menjadi TANDA kasih setia Allah

Oleh Blasius Full pada 24 Januari 2010 jam 16:38

Dalam rangka kursus persiapan perkawinan, Romo Sinten memberikan sebuah topik, "Suami isteri dipanggil menjadi TANDA kasih setia Allah kepada manusia. Kebetulan saja dua calon pasangan yang saling bersahabat berkesempatan mengikuti kursus bersama sama. Kedua calon pasutri itu, Jerawati & Trimbi, Judesanti & Panurata. Mereka semua rata rata berusia 25-30 tahun. 

Tepat pukul 9 pagi, Minggu ini, Pastor Sinten membuka pertemuan itu dengan meminta Panurata untuk memanjatkan doa pembukaan. Setelah doa pembukaan, Pastor Sinten mulai pembicaraan topik dengan gaya dialog interaktif. 

"Teman teman semua, calon pasutri yang berbahagia, selamat pagi! sambut Rm Sinten.
Para peserta kursus pun langsung menyahut, "Pagiiiii...Romo!!" 
Romo Sinten melanjutkan perbincangan, "Baik, semangat semua! Saya akan mengawali pertemuan ini dengan sebuah pertanyaan. Siapakah yang paling mengasihimu?" Tanpa jeda, Panurata langsung jawab, "Ini dia, calon isteriku, Judesanti, yang paling mengasihiku!!" Judesanti tersipu-sipu malu mendengar jawaban Panurata. Pastor Sinten pun tidak kalah menanggapi, "Maaf Neng Judes, apa bener dikau mengasihi Panurata?" Dengan tenang dan senyum, "Judesanti menanggapi, "Romo, iya bener, saya mengasihi Panurata!" Romo Sinten manggut manggut, "Baiklah! Saya tanya pada Jerawati sekarang!"

Tanya Rm Sinten kepada Jerawati, "Apakah Jeng Jerawati mengasihi Trimbil?" Jerawati nyengir, "Ya iyaaaalaah Romo, wong tinggal 3 bulan lagi mau menikah, kok ditanya mengasihi Trimbil?" Balas Romo Sinten, "Neng Jerawati, sabar ya....jangan sewot dulu, saya cuma tanya lho, apakah Neng Jerawati mengasihi Trimbil?" Jerawati menata duduknya, lalu menjawab lagi, "Iya Romo, aku mencintai Trimbil! Swear....!!" Rm Sinten tertawa, "Aduuh...Neng...kok pakai swear segala! Coba ya..aku cuma tanya, apakah engkau mengasihi Trimbil? Aku tidak bertanya, apakah benar engkau mengasihi Trimbil?" Jerawati mulai cemberut, "Iya deh...Romo! Batin Jerawati, "Romo ini...bawel banget sih!!" 

Romo Sinten lalu melanjutkan dialog, "Baik, minimal dua calon pasutri meenjawab, orang yang paling mengasihimu sekarang adalah calon suami atau calon isterimu. Nah pertanyaan berikutnya, sampai kapankah engkau sebagai suami atau isteri akan mengasihi satu sama lain?" Semua serentak menjawab, "Sampai selamanya Romo, sampai maut memisahkan kita!!" Romo Sinten pun makin antusias bertanya lagi, "Lalu apa jaminanmu, kalau engkau mampu mengasihi pasanganmu ?" Panurata mulai angkat tangan, "Romo, menurut saya begini. Jaminannya ya saya sendiri ini, dengan segala kerapuhanku!" Romo Sinten mulai menyanggah, "Untuk apa kerapuhanmu jadi jaminan? Maksudmu, kalau aku begini rapuhnya, ya terima saja, kan sudah memutuskan untuk menikahiku? Apakah kata kata itu justru, sebuah pembelaan diri yang sebenarnya tidak mau berubah?" Trimbil pun ikut menyahut, "Romo, terus terang saya tidak bisa menjamin. Jujur nih Romo, kalau dompet tipis, tinggal kartu ATM yang barusan kebobolan, belum dapat gaji, saya pasti lebih cenderung untuk stress lalu mudah menyalahkan isteri, cemberut dan mudah marah! Bagi saya, cintaku sebenarnya musiman!" 

Pastor Sinten menanggapi Trimbil, "Wah, jawabanmu sangat jujur, Mas! Saya kaget mendengarkan jawabanmu yang realistis, apa adanya! Begitulah, yang terjadi sebenarnya! Teori kita boleh muluk-muluk, bisa mencintai pasangan untuk selamanya, sampai maut memisahkan. Tetapi, harus kita akui, tidak bisa serta merta kita mencintai sesama tanpa mengenal musim." Judesanti menyahut, "Kalau begitu, siapa Romo yang bisa menjamin cinta kita ini hidup selamanya tanpa mengenal musim? Jawab Pastor Sinten, "Neng Judes, pertanyaanmu sangat bagus! Sebelum menjawab pertanyaanmu, saya ingin bercerita untuk kalian semua. 

"Suatu saat seorang pemuda yang baru mau menikah esok harinya, melihat seorang petani yang sudah setengah tua sedang berjalan di pagi hari sekitar jam 5. Padahal awan sudah gelap, tanda pagi ini mau hujan deras. Dia bertanya, Pak lebih baik pulang saja, daripada ke sawah kehujanan! Petani itu menjawab, "Mas, hujan itu telah jadi cuacaku!" Pemuda itu tidak puas, lalu Tanya lagi, "Pak, kalau kemarau tiba, bagaimana?" Petani itu menyahut, "Hujan saja cuacaku, apalagi kemarau tiba, ya sama saja, itulah cuacaku! Mas, cuaca terang atau hujan sudah menjadi hidupku! Pemuda itu hanya bengong lalu berpikir sebentar, " Iya Pak, ternyata selama ini, saya hidup menurut cuaca, padahal menurut Bapak, cuaca itu adalah hidup Bapak?" Bapak itu hanya tersenyum, "Terima kasih, Nak, sapaan hangatmu pagi ini!"

Pastor Sinten melanjutkan penjelasan, "Siapa yang mau berpendapat?" Panurata angkat tangan, "Saya Romo! Saya merasa belum bisa jadi petani itu karena ada banyak kekuatiran dalam hidupku, sehingga saya kerap kali terpengaruh oleh cuaca sekitar kami, sampai akhirnya kami malah tidak mencintai, tapi malahan saling menyalahkan!" Tanpa komentar balik dari Romo Sinten, Judesanti ikut menanggapi, "Romo, sikap pemuda itu akuuuu bangeeet!" Romo Sinten menanggapi, "Waah, Neng Judes, terima kasih untuk keterbukaan hatimu!" Panurata tersenyum bangga mendengar pengakuan calon isterinya. Terakhir Jerawati pun tidak kalah menanggapi, "Romo, masak sih kita tidak boleh menghindari hujan, dan menunggu terang? Daripada masuk angin, lebih baik tunggu terang baru berangkat! Menurutku, petani itu kok berjiwa pahlawan? Apakah motivasi petani itu jangan jangan mencari pujian!" Panurata melirik Jerawati, "Ehmm, kumat nih temanku satu, judesnya melebihi calon isteriku!" Jerawati pun terasa, langsung melototin Panurata, "Yee, tersindir yaa..?" 

Romo Sinten pun lalu menengahi perbincangan mereka, "Iya bener, Jeng! Ada kemungkinan memang petani itu mencari pujian, tapi yang penting, cerita itu sekedar mau menceritakan, banyak orang mudah luntur komitmennya karena "cuaca di sekitarnya". Petani itu mengajarkan, bagaimana seorang petani tetap komitmen bangun pagi dan pergi ke sawah, meski hari mau hujan sekalipun. Pertanyaanku sekarang, manakah jaminanmu, kalau engkau mau berkomitmen tanpa peduli pada cuaca apapun juga: mau mengasihi satu sama lain saat suka lalu berganti duka, saat hidup menguntungkan tapi kadang berganti dengan kemalangan? Perbandingnnya begini, kalau kita hutang ke pegadaian, tinggal bawa sertifikat tanah, kalung emas, surat berharga lain, pasti kita bisa dapat uang piutang. Nah kalau "mengasihi selamanya sampai maut memisahkan", siapakah yang jadi jaminan?

Para peserta pun akhirnya menjawab, "Dari kami pasti tidak ada jaminan Romo!" Romo Sinten lalu melanjutkan, "Jadi…?? Siapa yang bisa dijadikan jaminan?" Semua peserta menjawab antusias, "Tuhan, Romo, yang bisa jadi jaminan!!" Romo Sinten malah memajukan bibirnya 2 cm sambil berujar, "Haah, Tuhan, yang menjaminmu? Jadi kalau engkau tidak bisa mencintai pasanganmu, siapa yang disalahkan? Tuhan lagi, begitu?" Jerawati angkat tangan, "Romo saya ingin menanggapi pertanyaan nakal itu. Tuhan tidak boleh disalahkan karena kita tidak mampu mengasihi tanpa mengenal musim apapun!" Romo Sinten melanjutkan, "Jadi, kalau begitu tanggapanmu, sebaiknya gimana?"

Panurata pun ikut angkat tangan, "Romo, meski Tuhan tidak boleh disalahkan, tapi bukankah kita harus meminta Tuhan untuk menganugerahkan Roh Kasih-Nya, agar kita mampu mengasihi?" Romo Sinten langsung menyahut, "Naaah, sinarieuun…euy….! Panurata jawab dengan cemerlang!" Panurata langsung senyum tersipu sipu, meski Jerawati jadi cemberut, "Uuh…sok - sokan banget sih dia..!" Romo Sinten tidak melihat cemberutnya Jerawati, "Baik, Mas Panu, itulah sebenarnya letak persoalannya! Roh Kasih Tuhan itu sudah dijanjikan akan diberikan kepada kita, namun menunggu keputusan manusia, yang bebas dan tidak terpaksa! Roh itulah yang memampukan kita untuk selalu mengasihi sesama dalam setiap situasi apapun juga. Masalahnya, apakah kita mau meminta Roh Kasih itu datang menjiwai dan memampukan kehendak bebas kita? Roh Kudus itu tidak otomatis dianugerahkan kepada manusia kalau kita tidak meminta-Nya!" Mas Trimbil & Judesanti kaget, "Waaah kok begitu yaa…!!" Mas Trimbil bertanya, "Bagaimana Romo, kok Allah tidak mencurahkan Roh Kudus secara otomatis. Katanya Allah tahu kebutuhan kita, mengapa tidak langsung diberikan?" Romo Sinten lalu menyahut, "Baik Mas Trimbil, dan semua saja, saya akan kutipkan sabda Yesus dalam Injil Lukas, "Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Lukas 11:10-13). Perhatikanlah, "Ia akan memberikan Roh Kudus, kepada mereka yang memintanya". Jadi begitu besar Tuhan menghargai kehendak bebasmu, sehingga ia menunggu permintaan manusia. Apakah engkau tidak akan meminta Roh itu?"

Romo Sinten melanjutkan penjelasan dengan pertanyaan baru, "Jadi, siapakah yang dapat mengasihi manusia tanpa mengenal musim?" Semua peserta spontan menjawab, "Tuhan, Romo!" Romo Sinten pun langsung menyahut, "Baik, benar jawabanmu! Kalau begitu, siapakah yang akan menjadi tanda kehadiran Tuhan yang mencintai umatnya tanpa mengenal musim? Semua calon pasutri hanya terdiam serius. Spontan Romo Sinten bertanya, "Kenapa kalian diam tidak bergeming?" Judesanti angkat bicara, "Romo, kamilah yang akan menjadi tanda kasih Allah itu bagi suami dan anak-anakku!" Panurata pun menyahut, "Iya, saya mau jadi tanda cinta Tuhan!" Trimbil dan Jerawati pun angkat tangan bersama, "Romo, kami mau jadi tanda itu!" Semua peserta menjawab dengan kesanggupan yang sama. Romo Sinten lalu mengangguk-anggukkan kepala, "Syukur kepada Tuhan, akhirnya teman teman semua mau dipanggil sebagai tanda kehadiran kasih Allah. Bukankah, sakramentalitas perkawinanmu nanti tidak lain terletak dalam kenyataan yang menunjukkan bahwa hidupmu menjadi TANDA kasih Allah! Menjadi TANDA kasih Allah, itu berarti, pertama, mau ambil bagian dalam kisah penciptaan melalui prokreasi, merawat anak dan mendidiknya sampai mereka dewasa. Kedua, kalian tidak saling menghakimi, melainkan mau memberikan kesempatan selalu kepada pasangan dan anak anakmu untuk bangkit dari kelemahannya. Itulah inti mengampuni. Ketiga, kasih Allah itu diwujudkan untuk saling senasib sepenanggungan dalam memanggul penderitaan dan kesulitan hidup bersama sama. " Pastor Sinten lalu bertanya, "Sebagai pertanyaan akhir, siapakah yang paling mengasihi pasanganmu?" 
Mendengar pertanyaan itu, Trimbil & Jerawati tersenyum lalu Jerawati pun menanggapi, "Romo, saya akan berusaha untuk menampilkan hidup yang penuh kasih, agar suami dan anak anakku merasakan cinta Tuhan hadir nyata!". Trimbil pun tersenyum, makin yakin dengan calon isterinya ini. Tidak ketinggalan Panurata dan Judesanti. Panurata pun angkat bicara, "Romo, akulah yang paling akan mengasihi isteriku tercinta ini, sekalipun judes, tapi dia jauh lebih ramah!" Mendengar ungkapan itu Jerawati langsung bereaksi, "Ehem ehem….!!" Trimbil pun menyikut tangan Jerawati, "Kok sewot sih…??" 

Kursus Perkawinan berakhir jam 13. Romo Sinten pun menutup topik "Panggilan suami isteri menjadi tanda kasih Allah" dengan mengungkapkan beberapa kata kunci, " Peran kalian menjadi TANDA kasih Allah akan menjadi kenyataan, kalau kalian saling menciptakan jarak, "space" atau "ruang" agar pasanganmu bisa mengambil keputusan sendiri! "The last but not the least ", selalulah meminta Roh Kasih Allah untuk tinggal dalam jiwa dan ragamu, agar kalian semua sungguh mampu setia mengasihi. Setia itu sikap dasar orang yang mengasihi tanpa mengenal musim. Itulah cinta Tuhan yang tak mengenal musim. Jadikanlah diri kalian selalu menjadi TANDA kasih setia Alah itu!" 
Setelah kata terakhir, giliran Jerawati menutup pertemuan dengan doa penutup. Mereka berempat lalu jalan pulang bersama, sambil masih bercanda satu sama lain.

Kalau engkau mau, kunjungilah dunia musuhmu!

oleh Blasius Full pada 25 Januari 2010 jam 10:58

Sahabatku, 
selamat jumpa di hari esok Selasa 26 Jan 2010! Saat engkau membaca tulisanku, engkau menemukan duniaku. Saat engkau berkomentar status dan noteku, aku pun bertemu dengan duniamu. Bahkan hanya sekedar acung jempol atau membalikkan jempol, kita bertemu "dalam dunia". Duniaku dan duniamu itu bukanlah milik kita yang sesungguhnya, karena kita tidak berkuasa atas dunia kita sendiri. Justru karena tidak berkuasa, baiklah kita saling menengok, kalau boleh, aku ingin tinggal dalam duniamu sebentar, juga kalau engkau menjengkelkan. Aku mau duduk bersamamu, agar merasakan duniamu memang lain. Saat engkau mau duduk bersama dalam dunia orang yang menjengkelkan sekalipun, saat itulah duniamu dikenal oleh musuhmu. Ia mulai mengenal "ada hidup baru" yang selama ini tidak pernah dirasakan. Dia akan merasa ada harapan baru, meski menjengkelkan temannya, masih ada kesempatan untuk membuat hidup makin berarti.

Semoga di hari Selasa esok, ada banyak dunia yang engkau kunjungi, juga kalau dunia itu membuatmu tidak nyaman dan tidak merasa damai. Jadilah pembawa damai bagi dunia musuhmu!

Warm regards

Nice to see you later on Thursday, 28th, January 2010

oleh Blasius Full pada 25 Januari 2010 jam 11:33

Sahabatku, 
Nice to see you later, on Thursday, 28t January 2010
Saat engkau membaca status, membaca note siapapun yang engkau kenal di Facebook, engkau tidak hanya menemukan seonggok huruf tersusun rapi menjadi kata, kalimat, paragraf dan sebuah artikel. Engkau menemukan "mutiara" nilai, ada rasa gembira karena ada email yang dinanti, ada rasa rindu untuk menantikan bergantinya status, ada rasa ingin tahu, kapankah foto profile itu berganti lagi! Di sisi lain, mungkin engkau juga kuatir, dan takut akan penilaian orang yang sudah memberi komentar padamu! Ada kegelisahan karena ada orang yang menyerang pribadi kita, mengkritik kita habis habisan.
Semua perasaan itu bisa jadi akan bermunculan. Namun semua itu hanyalah "cuaca hidup" yang bisa terjadi, bisa tidak. Hidup kita tidak tergantung pada cuaca. Tapi hiduplah dalam "cuaca" itu, kita akan menemukan "keringkihan, namun juga keberanian; ada kekecewaan namun ada kelegaan; ada keputusasaan, namun ada pengharapan". Bagaimanakah mungkin semua itu terjadi, hidup berdampingan dengan segala cuaca yang ada!" Emas itu ditemukan dalam campuran dengan tanah yang lain, barulah kemudian disaring tanah itu, barulah ditemukan butiran emas. Butiran emas kehidupan pun selalu ada, namun kita mesti bertekun untuk membuat "screening" agar melihat emas itu yang bersinar. Emas itu "percikan-percikan" cinta Allah yang selalu menyinari hidupmu. 

Warm regards

Kesepian itu menciptakan "ruang" untuk kehangatan

oleh Blasius Full pada 29 Januari 2010 jam 9:08

Saudaraku, 
Saat engkau kesepian karena banyak teman yang tidak menyapamu, bahkan meninggalkanmu di saat engkau membutuhkan kehadiran seorang sahabat, itulah saatnya engkau mengubah kesepian menjadi kehangatan. Kehangatan yang sejati bukan berasal dari orang lain yang menemanimu, bukan pula dari orang yang begitu memahami persoalanmu. Kehangatan sejati itu berasal dari Allah yang pertama kali telah merengkuhmu saat engkau mengalami kesepian. Kesepianmu bukanlah akhir segala-galanya, dan bukanlah kenyataan hidup satu-satunya yang terjadi pada dirimu. Hidupmu bukanlah kesepian. Kesepian itu hanya salah satu duri,yang membuatmu berpikir, merenung, namun juga memberi kesempatan dirimu terluka. "Pengalaman terluka" itu dibutuhkan agar engkau tumbuh berbuahkan kasih. Tanah yang subur bukanlah tanah yang kuat, bagaikan batu, tapi tanah yang rentan, mudah diambil dan digenggam, mudah dicangkul, dicampur dengan pupuk, dan mudah menyerap air. 
Kesepianmu saat ini ibarat tanah subur yang siap dicangkul dan disiram air segar. Kesepian itu membuat hidupmu terluka, namun "luka" itu tidak lain sebuah "ruang", meski sempit sekali, tapi ruang itu dapat engkau persembahkan kepada Allah. "Allah, aku punya "ruang" untuk-Mu, agar engkau tinggal. Kesepianku telah engkau biarkan hadir, agar terciptalah "ruang bagi-Mu" di dalam hati ini. Tinggallah dalam "ruang hatiku", agar aku mengalami kehangatan kasih-Mu. Engkau yang hangat, selalu menyapaku setiap hari."
Semoga kita mau belajar mengubah kesepian menjadi kehangatan dengan lsaling mendahului untuk menyapa sahabat-sahabat, saudara serumah, pasangan hidup, dan anak anak!

Warung Mie Ayam “Geulis”

oleh Blasius Full pada 06 Februari 2010 jam 10:47

Hari ini, Sabtu, Panurata tidak ke kantor CU Cikal Bakal, tapi menyempatkan diri jalan jalan pagi sendirian. Sementara Judesanti isterinya ada di rumah. Panurata berjalan ke arah alun-alun kecamatan Gemah Ripah. Di seberang jalan alun-alun, ada penjual mie ayam yang rasanya "yahuuut"! Lalu mampirlah Panurata di warung mie ayam, namanya "Geulis" itu. "Bu, langsung 2 mangkok, es jeruk tanpa es satu ya!" Penjual mie ayam itu, Ibu Geulis, langsung menyahut, "Mang, kok es jeruk tanpa es, kumaha atuh? E jeruk gitu?" Panu tertawa, "Iyaaa maaf, Bu, soalnya kebiasaan nih, ngeledek teman!"

Tiba tiba ada suara wanita yang menyahut juga, "Uuuh, dasar Panu, rasain kalau suka usil! Pesen minum tuh yang bener!" kata wanita itu. Panurata membatin, "Kok kayak suara Jerawati!" Panurata menoleh ke sebelah kanan gerobak mie ayam, "Oaaaalah, ternyata dikau, Jerawati! Yeee, kok juthek banget sih!" Sahut Jerawati, "Biarin, emang kalau aku nggak juthek, terus penting buatmu apa?" Balas Panurata, "Aduuuh, marah euy? Dirimu tetap penting buatku, meski juthek begitu!" Jawab Jerawati, "Dengarkan ya, tidak ada sekarang ini jamannya ngeleees! Adanya sekarang itu jaman juthek…!" Sahut Panu, "Iyee, kenapa sih, kok sewot banget, mau makan mie ayam sekalian, atau pesen mie nih?" Balas Jerawati, "Mau makan, atau pesen, kan bukan urusanmu, want to know banget sih?" Panurata masih bisa tersenyum, "Ampyuuun, Jeng! Kalau begitu, aku yang traktir ya!" Jerawati mulai turun otot jidatnya, "Iyee, thanks sobat!"

Panurata lalu mengajak Jerawati duduk, "Jeng, duduk sebentar, ya, 5-10 menit, temani aku makan mie nih!" Jerawati tidak menjawab, tapi langsung duduk, dan bertanya, "Kenapa minta ditemenin, kangen ya?" Panurata langsung "jaim", "Yeee, nggaklah, emang penting kalau aku kangen?" Balas Jerawati, "Yee, GR amat, aku kan cuma tanya, kangen ya? Kalau dikau kangen dengan diriku, emang aku harus juga kangen denganmu? Tak usaaaah, sorry…! Nggak level tauuuu!!" Panurata bengong, "Haaah, terus ngapain dirimu tanya, kangen segala?" Jawab Jerawati, "Emang dilarang hukum apa, kalau aku hanya sekedar bertanya? Coba dengarkan lagunya BCL Tentang Kamu, emang pertanyaan itu harus dijawab?" Balas Panurata, "Tentang Kamu? Lagunya BCL, Bunga Citra Lestari?" Sahut Jerawati, "Nah, tahu kan?" Coba deh, dengarkan ringtoneku!" 

Panu tergoda untuk menanggapi Jerawati, "Jeng berapa no hpmu?" Jawab Jerawati, "satu dualima, dua limapuluh, tiga tujuh lima". Panurata kaget, "He, itu nomer cantik apa?" Jawab Jerawati, "Iye cantik kan, secantik yang punya hp!" Panurata ngakak, "Uuuh,…dasar narcissss…!! Bener nggak nih nomermu?" Jerawati dengan mantap menyahut, "Ya bener dong! Coba miscall aku dengan teriak saja, "satu dualima, dualimapuluh, tiga tujuh lima!" Dan teriaklah Panurata, "Satudualima, dualimapuluh, tigatujuhlima" Lalu terdengarlah lagu BCL, "Bagaimana bila akhirnya ku cinta kau. Dari kekuranganmu hingga lebihmu. Bagaimana bila semua benar terjadi. Mungkin inilah yang terindah." Panurata terkejut, "Haaah…tadi kamu yang nyanyi?" Jerawati cuma nyengir, "Bagus kan, suaraku? Aku rekam suaraku dengan MP4. Jadi tinggal klik, langsung deh HPku bunyi. He he he" Panurata hanya tertawa, "Ehm gitu ya caranya pamer suara?" Jawab Jerawati, "Iya…tapi ingat aku cuma bertanya, tidak butuh jawabanmu. Okey?" Balas Panurata, "Yee, GR banget sih, nggak usah merasa deh, kalau aku mau menjawab pertanyaanmu! Mau bertanya begitu saja, pinjam pertanyaannya BCL! Nggak intelek gitu!" 

Jerawati tidak mau kalah! "Yee, biarin, aku cuma bertanya, dan pertanyaan itu tidak selalu harus dijawab." Panurata balik bertanya, "Lalu siapa yang jawab pertanyaan BCL itu?" Sahut Jerawati, "Yah, tanya lagi, dirimu sudah menjawab pertanyaan BCL atas nama Judesanti kan? Pertanyaanku juga sudah dijawab Trimbil!" Panurata lalu kelihatan kalah, "Iya deeeh…yang sudah bahagia bersama Kakanda Trimbil!!" Sahut Jerawati, "Untung banget deh, aku nggak jadian dengan dirimu. Kalau jadi, yaa..bisa tiap hari cuma sarapan mie ayam terus!" Panurata protes, "Haah, aku jauh lebih untung tau, kalau aku jadian dengan dirimu, aduuuh…hujan local terus tiap hari. Sia sia memberi makan buatmu, tidak jadi daging tapi malah energimu habis untuk judes terus. Meski isteriku namanya Judesanti, tapi dia lebih lemah lembut daripada dirimu!" Jerawati kelihatan mukanya merah, "Uuuh…dasar Panu, kapan sih panumu nggak rata!?" 

Mendengar percakapan mereka berdua, Ibu Geulis tidak tahan untuk nimbrung, "Aduuh, kalian ini sudah berkeluarga kok kayak ABG saja sih! Kalian berdua dulu teman sekelas?" Sahut Jerawati, "Iya Bu, Panurata ini teman sekelasku, tapi usil banget, suka ngumpetin sepatuku, dibawa pulang!" Bu Geulis lalu ingat, "Oh ini Panurata, anaknya Pak Jidat dari kampung Loh Jinawi, bukan? Aduuh, sekarang kumisnya tebal banget?Dulu mah bersih, tanpa kumis!" Jawab Panurata, "Iya bener, Bu! Wah Ibu jadi tahu dong masa kecilku?" Sahut Bu Geulis, "Iya, aku berarti tahu, dulu kamu usil banget, Bapak Ibumu sering cerita. Sekarang kumis tebal begini, kasep pisan euy!!" Panurata tersenyum bangga. Jerawati pun tak tahan untuk iseng, "Wakakakak, GR pisan euy, dibilang kasep pisan. Padahal aku kan paling tidak suka pria berkumis, Bu!" Jawab Bu Geulis, "Iya masing masing pria & wanita itu punya kelebihannya tidak boleh saling membenci. Neng, jangan membenci kumis ya!" Panurata pun merasa dibela, "Iya tuh dengerin nasihat orang tua! Jangan membenci kumis! Kumis itu nggak bersalah, kan Bu!

Bu Geulis lalu mengalihkan pembicaraan, "Iya sudah, sekarang Ibu pingin dengar cerita, tentang kamu Neng. Panurata langsung komentar, " Bu, Jerawati tuh ampyuuun banget lho! Masakan cewek usil banget, Bu! Suka pasang permen karet itu di bangku, kalau di buku catatanku! Padahal kan permen karet sudah dimakan, dikunyah-kunyah, basah air liurnya lagi!" Ibu Geulis tertawa, "Waaah..ternyata seneng ya jadi anak anak nakal! Boleh dulu nakal, tapi sekarang boleh nakal juga, asalkan jangan marah kalau diledek & diusilin. Sahabat itu sampai kapanpun tetap sahabat, kok!" Jawab Jerawati, "Iya Ibu...besok aku ke sini lagi ya Bu, dapat discount kan?" Panurata juga ikutan, "Iya Bu, aku besok siang ya ke sini lagi, gratis kan Bu?" Jerawati sewot, "Yeee, CU-MI, beli dong!!" Panuta tidak terima, "Kamu sendiri saja beli mie ayam minta discount, kan payah banget! Mendingan aku, nggak malu malu, minta gratisan!" Bu Geulis menyahut, "Iya sudah, buat kalian berdua gratis, tapi sebulan sekali ya!" Panurata & Jerawati serentak protes, "Yaaah, Ibu!" 

Jerawati lalu berdiri, "Iya deh Bu, nggak akan minta discount he he he!" Panurata menimpali, "Iya Bu, besok aku akan bayar dua kali lipat ya!" Mereka berdua lalu pamitan. Jawab Bu Geulis, "Iya, makasih banyak ya, jangan kapok ke sini, dan jangan kapok bayar ya!" Jerawati dan Panurata tertawa, "Waah,Ibu bisa aja!!" Panurata pun pamit pada Jerawati, " Thanks ya…sudah menemaniku makan pagi!" Sahut Jerawati, "Iyee, thanks, besok kirim mie ayam ke rumahku ya!" Jawab Panurata, "Inggih, Ndara Putri!" Mereka berdua lalu pergi ke arah berlawanan, pulang ke rumah masing masing untuk malam minggu sendiri sendiri.

Mawar yang ingin menjadi Bakung

oleh Blasius Full pada 30 Januari 2010 jam 8:51

Suatu saat, siang hari, Mawar mencurahkan hatinya kepada Bakung di sebuah kebun yang indah dan segar karena dikelilingi pohon mangga yang besar dan rindang, pohon durian yang sedang lebat buahnya, juga pohon rambutan yang lagi mulai berbunga. 

Mawar bertanya pada Bakung, "Bakung, kenapa kamu hanya berbunga sebulan sekali, tapi harum mewangi kelopakmu, tanpa duri lagi! Kamu cantik dan banyak orang mengagumimu, seluruh dirimu, kelopak, tangkai dan daunmu." Bakung menatap Mawar, katanya, "Mawar, temanku, kenapa engkau bertanya begitu? Apakah engkau ingin menjadi diriku?" Sahut Mawar, "Iya Bakung, aku pingin jadi dirimu saja. Banyak orang mengagumi, karena dikau tidak pilih kasih untuk memberikan aroma wangimu kepada siapapun. Sementara aku ini hanya disenangi orang karena kelopakku dan harum diriku, tapi duri-duriku, siapa yang mau?" Balas Bakung, "Ehmm begitu, tapi aku memberikan harumku pada siapapun, bukan karena diriku, tapi karena Tuhan yang telah menciptakan aku. Aku diberinya tugas hanya berbunga dan membagikan aromaku pada siapapun. Aku sendiri tidak bisa menghentikan aromaku bila ada orang jahat yang mencium kelopakku."Jawab Mawar, "Iyaa Bakung, aku pun begitu, tapi satu ganjalan yang belum engkau katakan, kenapa tangkaiku harus berduri? Kenapa Tuhan memberikan duri itu, sehingga banyak orang menjauhi aku?

Dengan tatapan penuh keramahan, Bakung menenangkan hati Mawar, "Sobatku, jangan terlalu berpikir negatif pada Tuhan, ya! Tuhan menciptakan duri pada tangkaimu bukan untuk membuatmu terasing dan disingkirkan oleh manusia! Justru duri-duri di tangkaimu itu menjadi simbol kehidupan ini, yang tidak selalu mulus, tetapi ada duri-duri kerapuhan, duri masalah, dan sebagainya. Aku pun rapuh, coba saja pegang daunku yang mudah patah, dan roboh kalau kena angin. Kelopakku juga tidak bertahan lama, kena hujan deras, aku sudah tidak tahan untuk tetap tegar. Aku sadar, diriku pun rapuh. Kelopak, daunku juga simbol bagi manusia yang mudah rapuh."

Mendengar kata kata Bakung, Mawar menjadi tenang. "Bakung, terima kasih banyak, engkau memberikan banyak peneguhan untukku. Aku tetap mau jadi simbol hidup manusia. Yang terindah dalam diriku, kelopakku, selalu ada bersama dengan duriku. Begitu juga hidup manusia, selalu ada duri." Sahut Bakung, "Iya Mawar, begitulah hidup manusia! Tuhan menciptakan kita untuk hidup bersama dengan manusia, agar mereka pun sadar, tidak bisa tidak manusia hidup bersama dengan kerapuhannya. Bukankah di balik keindahan kelopakku, ada daunku yang mudah patah dan sobek bila terkena angin kencang dan hujan deras." Kata Mawar, "Iya benar, kelopakmu indah justru berkembang karena daun-daunmu yang rapuh itu sudah bertunas dan menua." Sahut Bakung, "Begitu juga dirimu, keindahan dan keharuman kelopakmu tidak pernah lepas dari tangkaimu yang berduri!" Mawar pun tersenyum lega, "Jadi, aku tidak perlu, kan, berganti menjadi dirimu, Bakung?" Kata Bakung, "Iyaa, tidak perlu! Kita tidak usah saling berganti peran, biarlah engkau menjadi Mawar Berduri, dan aku jadi Bakung yang mudah sobek daunnya!.

Setelah mereka mengatakan itu, Mawar pamitan, "Bakung, terima kasih banyak ya...peneguhanmu! Aku pamit dulu, matahari sudah terbenam. Besok kita ketemu lagi ya!" Bakung mengangguk, "Iya Mawar, terima kasih juga keterbukaanmu! Menjelang fajar merekah, aku akan menyapamu lebih dulu ya!" Mawar dan Bakung lalu beristirahat menantikan Sang Mentari terbit di ufuk Timur.

Rabu, 08 September 2010

Kalajengking

oleh Blasius Full pada 12 April 2010 jam 22:02

Ada seorang India yang melihat seekor kalajengking mengambang berputar-putar di air. Ia memutuskan untuk menolong kalajengking itu keluar dengan mengulurkan jarinya, tetapi kalajengking itu menyengatnya. Orang itu masih tetap berusaha mengeluarkan kalajengking itu keluar dari air, tetapi binatang itu lagi-lagi menyengat dia.

Seorang pejalan kaki yang melihat kejadian itu mendekat dan melarang orang India itu menyelamatkan kalajengking yang terus saja menyengat orang yang mencoba menyelamatkannya. Tetapi orang India itu berkata, "Secara alamiah kalajengking itu menyengat. Secara alamiah saya ini mengasihi. Mengapa saya harus melepaskan naluri alamiah saya untuk mengasihi gara-gara kalajengking itu secara alamiah menyengat saya?"

Jangan berhenti mengasihi,

Jangan menghentikan kebaikan anda, Bahkan meskipun ketika orang-orang lain menyengat anda.
http://i110.photobucket.com/albums/n87/Supaida/Scorpions/DeathStalker.jpg


sumber:http://forumkristen.com/komunitas/index.php?topic=8730.5%3Bwap2

Anak Katak takut dengan tanda hujan











oleh Blasius Full pada 13 April 2010 jam 7:34

Ada kegundahan tersendiri yang dirasakan seekor anak katak ketika langit tiba-tiba gelap. “Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?” ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut.

“Anakku,” ucap sang induk kemudian. “Itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru, itu tanda baik.” jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. “Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu?” tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.

“Anakku. Itu cuma angin,” ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. “Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!” tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.

“Blarrr!!!” suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. “Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!” ucapnya sambil terus memejamkan mata.

“Sabar, anakku!” ucapnya sambil terus membelai. “Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang,” ungkap sang induk katak begitu tenang.

Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, “Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!”
**

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak: jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, insya Allah, akan datang. Bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan.

sumber : Kaskus

http://i427.photobucket.com/albums/pp359/yauhui/theoxandthefrog.gif

Hidup itu Mengenangkan

oleh Blasius Full pada 19 April 2010 jam 17:36

Sahabat-sahabatku, 
"Hidup itu intinya mengenangkan". Mengenangkan (anamnesis) sebenarnya tidak sekedar bernostalgia dan melamun akan peristiwa yang indah saja, melainkan lebih dari itu, mengenangkan itu tidak lain sebuah jerih payah untuk menjadi "TANDA" agar KENANGAN INDAH itupun menjadi KENYATAAN sekarang ini dalam SUASANA, WAJAH, & PELAKU yang baru. Namun intinya sama sepanjang hidup, yakni "CINTA & KASIH". 

"Cinta dan kasih' siapakah yang dikenangkan? Tidak lain dan bukan adalah Cinta dan Kasih Tuhan. Begitu muluk-muluk kah kenangan terindah itu? Bisa jadi orang merasa muluk-muluk! Tapi persis itulah sebuah kenyataan yang kontradiktif, kerap kali kita kurang mengakui kebenaran bahwa KITA DICINTAI TUHAN TANPA SYARAT! Kebenaran itu sulit diakui oleh manusia, dan bahkan ditertawakan, "Benarkah Tuhan mencintai kita tanpa syarat?" 

Kesulitan kita mengakui kebenaran itu tumbuh subur dalam keyakinan kita karena kita terbiasa dihargai orang lain kalau kita sukses dalam studi, sudah lulus S-1 Inggris, S-2 Psikologi, lulus S-3 Kimia, sudah jadi dokter, jadi Finance Manager, jadi pastor dan seterusnya. Namun bagaimanakah penghargaan kita terhadap orang cacat, orang miskin, orang pengangguran, orang buta huruf, tidak berprestasi di masyarakat maupun lembaga formal. Lihatlah saja kalau hari hari besar, kebanyakan orang mudik akan saling bercerita dan bertanya, "Wah gimana anak-anakmu sekarang, suamimu dan isterimu?" Jawabannya pasti saling "berlomba" untuk menunjukkan "prestasi". "Anakku sekarang sudah jadi Direktur Bank Swasta ! Anakku sekarang punya pacar orang terkenal, lho!! Anakku sudah lulus S-2 Psikologi dengan nilai cum laude; calon menantuku nihng perempuan, ya orang Sunda, tapi aduuh pinter pisan ngatur keuangan, sampai dipercaya bossnya jadi pemegang kas perusahaan pipa! Ehm kalau calon menantuku yang pria nih, lulusan S-2 jurusan pertambangan, pulangnya suka 1 bulan sekali! " Wah seru pokoknya, mereka saling berebut cerita dan merasa harga diri orang tua merasa terangkat (Entah terangkat berapa meter?) 

Namun, di antara mereka juga ada orang yang "diam" tidak ikut "bersaing dan berlomba menceritakan prestasi anak-anaknya? Mengapa? Ternyata anak-anak mereka kurang berhasil,bahkan ada yang cacat ganda, ada yang gagal ujian, ada yang bandhel, ada juga yang jadi preman kampung sampai memalukan keluarga, dst". 

Begitulah dunia, memberikan penghargaan atas dasar "prestasi yang kelihatan". Lalu mereka akan bilang, "Wah bener bener jadi ORANG,yaaa!!! Begitulah "namanya ORANG" itu adalah mereka yang berpretasi dan mengangkat harga diri orang tua. (Lhoh...memangnya kalau tidak berprestasi itu BUKAN ORANG, yaaaaa? Iya kaleeeee....terus apa dong? Monyeeet?) Jadi orang dihargai karena "penampilan fisik, gelar, status, jabatan!" Pertanyaannya adalah apakah Tuhan itu menghargai manusia karena kita berprestasi, bergelar, berstatus dan memiliki jabatan yang menggiurkan?" 

Sahabat-Sahabatku, 
Martabat dan harga diri kita di mata Tuhan TIDAK TERLETAK pada prestasi, penampilan, dan kekayaan serta status yang kita miliki! Namun, martabat kita itu tidak lain adalah ANAK ALLAH. Tuhan memilih kita menjadi anak-Nya karena kita telah berdosa akibat dosa asal manusia pertama Adam dan Hawa. Kita dicintai karena Tuhan tidak rela diri kita terbelenggu oleh kuasa dosa. Tuhan tidak rela kita menjadi hamba dosa! Maka kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menjadi keprihatinan Tuhan yang mendalam, juga sampai sekarang ini! Itulah Tuhan yang maharahim. Sebagaimana rahim seorang ibu itu selalu memberi makan kepada janin yang dikandungnya tanpa syarat, demikianlah juga, Tuhan mengandung kita yang berdosa, agar kita tetap memiliki kesempatan untuk berubah menjadi makin sempurna! Tuhan yang maharahim itu adalah Tuhan yang bergembira kalau anaknya bertobat. Pertobatan itu bukan dibuat karena orang takut akan hukuman Tuhan, melainkan buatlah karena Tuhan bangga akan anak-Nya yang mau berubah! 

Sahabat-sahabatku, 
Tuhan yang berbahagia kaerna kita bertobat, Dialah juga yang memberi kebebasan, agar keputusan kita berubah itu sungguh tulus dan tidak terpaksa! Itulah cinta yang penuh resiko, karena manusia bisa saja menolak dan tidak mau taat kepada-Nya. Namun juga, karena dibebaskan, manusia justru memilih sendiri untuk taat kepada-Nya tanpa syarat. Itulah kebebasan yang membuat kita menjadi diri sendiri. Itulah cinta Tuhan yang pantas untuk dikenang!! Karena itu, cinta Tuhan itu dapat dikenang kalau kitapun mampu menjadi TANDA yang hidup dari CINTA TUHAN YANG MEMBEBASKAN. Konkretnya bagaimana? 

Konkretnya menjadi Tanda Cinta Tuhan itu tidak sulit! Mudah kalau kita mau! Cobalah selalu belajar "menawarkan" dalam segala hal, kepada pasangan hidup, kepada teman serumah, kepada anak-anak yang sudah remaja. Misalnya, "Mas, apa yang bisa saya bantu?" Pertanyaan itu membuat orang "terbuka untuk meminta tolong, tapi juga terbuka untuk memberi pertolongan tanpa terpaksa, dan orang yang ditolong juga tidak merasa ada pamrih! Pertanyaan itu khas kayaknya untuk karyawan "Customer Service", tapi bukankah model pertanyaan itu juga bisa menjadi "kebiasaan kita setiap hari?" 

Menjadi Tanda itu juga dapat mulai mengubah paradigma kita tentang orang cacat, miskin dan tidak berprestasi, dari paradigma "meremehkan" menjadi "mengistimewakan". Arinya, orang-orang yang dianggap tak berdaya itu justru sebenarnya memiliki "kekuatan untuk dicintai" karena situasi keterbatasannya membuka kesempatan untuk "diperhatikan, dirawat, dan dibantu dalam berbagai macam hal". Dalam kerapuhan dan kelemahannya mereka "mengundang kita untuk terlibat dalam hidupnya". Kalau cara pandang kita seperti itu, akan banyak orang yang dapat kita perhatikan. Itulah saat saat penuh rahmat Tuhan untuk melihat wajah-Nya dalam diri orang yang disingkirkan dunia karena tidak berprestasi. 

Moga moga hari ini makin banyak orang mau menjadi TANDA yang hidup, agar CINTA TUHAN menjadi kenyataan! 
http://suzumushi.files.wordpress.com/2009/03/rel-kereta-api.jpg
 ·  · Bagikan

Sabtu, 04 September 2010

Bola Jabulani curhat





Blasius Full Malam ini Bola Jabulani curhat, "Aku kok selalu jadi korban ya, ditendang ke sana kemari, lalu gooal! Aku sakit banget ditendang keras begitu, eh malah banyak orang berteriak-teria! Apalagi pagi ini, jangan salahkan aku kalau Belanda kalah. Tapi berikan pujian padaku, kalau Belanda menang! Kalau Spanyol menang, aku jauh lebih bangga, tapi jangan salahkan aku lagi, kalau Spanyol kalah!"


July 11 at 9:06pm  · Comment · Like


Nikolaus Yosep yang pasti ga ada yang kalah dan menang, smg yg ada kegembiraan dr sebuah permainan.
July 11 at 9:39pm · Like 

Galih Sita Adinta Holland...!
July 11 at 9:39pm · Like 

Dwi Novandari Chatarina sungguh .....ini suatu penghiburan bagi mereka yg kalah taruhan....sugeng dalu romo Blas......BD.
July 11 at 9:41pm · Like · 

Vera Hwan hahaha rm pinter deh ... ngga belanda ngga spanyol ... yg penting menikmati permainan ... seru kan ???
July 12 at 3:52am · Like · 

Ellot Restuwati hikshikshiks,jagoanku kalah jew Mo.Tapi tetep okey koq,walo kalah.Belanda tetep menang walo kalah.
July 12 at 4:42am · Like · 

Galih Sita Adinta ‎@bu Ellot: sependapat...tetap ada kemenangan dlm kekalahan..xixixi..
July 12 at 5:13am · Like 

Rona Maria Aku sih Romo jagoanku menang Spanyol....hehehe kali kurang doa mo...GBU
July 12 at 6:59am · Like 

Asteria Susi Romo..... kalah menang khan dan harus di syukuri...............kalau tidak menang ya kalah, kalau tidak kalah ya menang...........h eh ehe
July 12 at 10:50am · Like · 
Bottom of Form