WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Jumat, 20 Agustus 2010

Belajarlah mati, agar hidup makin ekaristis

oleh Blasius Full pada 14 Mei 2010 jam 6:24

http://s.ytimg.com/vi/cqLxUExgZVQ/0.jpg

Ketika Romo Aloysius Sinten Pr, sebagai Pastor Paroki yang baru di
Moroarto, dalam kesempatan pertemuan para pengurus lingkungan dan
stasi, beberapa orang mengusulkan Pastor Paroki untuk rajin mengunjungi
keluarga-keluarga yang sudah "cuti" mingguan, bulanan bahkan tahunan
untuk merayakan ekaristi. Pak Trimbil, begitulah panggilannya,
mengatakan begini, "Romo, mereka yang "cuti" itu akan kembali rajin
merayakan ekaristi mingguan kalau Romo yang memperingatkan!! Kami yakin,
dalam hal ini kami membutuhkan pastor sebagai pihak yang berwenang
mengingatkan!!" Demikianlah juga hal senada juga diutarakan oleh hampir
semua pengurus lingkungan, tidak ketinggalan tim Liturginya.
Dengan nada rendah dan suara lembut, Pastor Sinten menanggapi usulan
mereka begini, "Saudari-saudara, itulah wajah hidup menggereja kita!
Kita mau sungguh-sungguh menghayati hidup beriman, misalnya dalam
perayaan Ekaristi saja, masih dibutuhkan seorang yang berperan menjadi
"pengawas"! Kalau ada yang mengawasi, kita takut, lalu mau berbuat!!
Nah...jangan-jangan....sambil tertawa Pastor Sinten mengatakan, "Wah,
kalau saya yang datang dan memperingatkan mereka lalu mereka akhirnya
mau ke Gereja tiap Minggu, jangan-jangan saya bukan jadi pastor, tetapi
malah jadi "anjing herder"...!! " Para pengurus lingkungan dan stasi
tersenyum kecut mendengar tanggapan Romo Sinten yang lucu tapi juga
"nyata". Lagi, Pastor Sinten menambahkan, "Nah, Bagaimanakah umat akan
tumbuh dan berkembang dalam iman kalau saya menjadi orang yang ditakuti?
Bagaimanakah mungkin kasih kepada Allah dan sesama akan tumbuh subur
dalam suasana yang penuh ketakutan??"
Kisah pendek tadi menunjukkan ada kekurangmengertian umat dalam
menentukan motivasi dalam merayakan ekaristi. Kekurangmengertian itu
berpengaruh pada persiapan maupun pelaksanaan Ekaristi. Akhirnya tidak
dapat dipungkiri, amat dipertanyakan pengaruh Ekaristi dalam kehidupan
mereka setiap hari.
Dengan situasi itu muncul sebuah keprihatinan, bagaimanakah umat
kristiani mampu menghayati Ekaristi sebagai puncak dan sumber hidup
berimannya? Keprihatinan itu saya tanggapi dalam suasana tahun Ekaristi
2004-2005 yang dibuka oleh Paus Yohanes Paulus II dengan Surat
Apostoliknya, "Mane nobiscum Domine" (Tinggallah bersama kami, ya Tuhan)

A. Motivasi umat untuk merayakan Ekaristi
Dengan berkelakar, Pastor Sinten menunjukkan bahwa dirinya tidak mau
diperlakukan sebagai "pengawas" umat dalam hidup beriman. Di balik
kelakarnya itu, dia mau mengajak umat untuk memikirkan kembali secara
menyeluruh, bahwa hidup beriman itu tumbuh dan berkembang bukan dalam
"keterpaksaan berbuat karena ketakutan terhadap otoritas Gereja"
melainkan supaya hidup beriman tumbuh dalam kebebasan sebagai anak-anak
Allah. Setiap orang yang dibaptis dipercaya Allah untuk mencintai
seperti Allah mencintai karena manusia diciptakan menurut citra-Nya.
Karena itu manusia dianugerahi akalbudi dan kebebasan. Itulah sebabnya
manusia berhak untuk menentukan hidupnya, termasuk keputusan untuk
merayakan Ekaristi mesti dibuat dalam kebebasan. Itulah yang akan
membahagiakan manusia, "Berbahagialah orang yang tidak melihat namun
percaya".
"Ketersembunyian" Allah yang kita imani itu sebenarnya terkandung
kehendak ilahi agar manusia sungguh-sungguh dengan tulus hati dan penuh
kebebasan tanpa dipaksa siapapun, mau mempercayakan hidup dan masa
depannya kepada Allah. Kenyataan ini rasanya pantas disadari supaya
orang dapat mengambil keputusan iman dengan penuh tanggung jawab.
Demikianlah juga, alasan untuk merayakan ekaristi juga mesti
sungguh-sungguh dibuat dengan ketulusan hati tanpa terpaksa, termasuk
juga tidak sekedar memenuhi kewajiban.
Dalam suasana "kebebasan", orang akan belajar untuk menangkap makna
perayaan Ekaristi sebagai puncak dan sumber hidup orang beriman (bdk.
Konsitusi Liturgi 10). Sebagaimana puncak didahului dengan bukit yang
landai, terus menaik, demikianlah juga perayaan Ekaristi menuntut sebuah
persiapan "menuju puncak" Bagaimana persiapan menuju puncak itu dibuat?
Di lain pihak, bagaimanakah kita merayakan Ekaristi agar sungguh
Ekaristi dapat menjadi "sumber" bagi umat beriman sehingga mereka
memiliki daya kekuatan untuk mewujudkan persatuannya dengan Kristus
melalui santapan tubuh dan darah-Nya dalam kehidupan setiap hari. Dengan
menyantap tubuh dan darah Kristus, kita dipersatukan Roh Kudus dengan
hidup Kristus yang ilahi. Karena itu kita pun diutus untuk hidup seturut
gaya hidup Kristus, sehati dan seperasaan dengan-Nya.

B. Persiapan menuju "puncak"
Persiapan yang kerap kali terjadi adalah persiapan "ala kadarnya".
Artinya kerap terjadi dalam keluarga-keluarga itu pertengkaran
kecil-kecil seperti rebutan mandi, bingung memilih baju, waktu yang
mepet untuk berangkat, bingung memilih angkutan: naik mobil pribadi,
naik motor, jalan kaki, atau naik becak, dst. Belum lagi di Gereja kerap
kali belum siap misdinar, lector, prodiakon, koornya, para petugas
tatalaksana dsb. Apapun persiapan yang direncanakan kadang-kadang
menjadi persiapan yang "diwarnai ketergesa-gesaan, rasa marah, mangkel,
dan bingung".
Persiapan itu tidak hanya fisik melainkan juga persiapan lahir batin.
Olah batin itu tidak serta merta terjadi sebelum Ekaristi, melainkan
sebuah "peziarahan hidup". Dalam peziarahan itu, salah satu sikap hidup
yang mewarnai dunia adalah "ketidakkonsistenan" antara kata dan
perbuatan, antara niat baik dan tingkah laku. Ketidakkonsistenan itu
dikatakan oleh Santo Paulus sebagai tanda adanya kekuasaan dosa." Sebab
apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku
kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku
perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku
menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi
yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku (Rom 7:14-16)
Ketidakkonsistenan itu membuat pribadi manusia mendua hati. Di satu
pihak dengan mulut ia mengakui Yesus Kristus adalah Tuhan. Di lain
pihak, ketika berhadapan dengan situasi hidup yang konkret dengan
segala tantangan dan persoalannya, manusia bisa berbalik dari Tuhan.
Situasi hidup yang konkret itu menggerakkan diri kita untuk membuat
sebuah pilihan. Pilihan itu ada karena di satu sisi kita memiliki
kecenderungan dosa, yakni (1) ambisi untuk selalu menikmati
segala-galanya tanpa usaha (instant) : cepat, nikmat, sesedikit mungkin
usaha. (2) ambisi untuk menjadi terkenal, popular, dipuji dan
diistimewakan, karena sungguh-sungguh menjadi orang yang hebat,
pahlawan, "superman, superwoman", dan bisa segalanya, (3) ambisi untuk
berkuasa atas hidup orang lain supaya bisa memiliki segala-galanya.
Godaan untuk mencapai ambisi menjadi hebat dialami Yesus setelah
berpuasa 40 hari, yakni menjadi tukang sulap untuk mengubah batu menjadi
roti. Ambisi untuk dikatakan orang hebat dan "allround" adalah
pengalaman Yesus digoda turun dari bubungan Bait Allah. Ambisi untuk
menjadi kuasa akan terpenuhi asalkan Yesus mau menyembah Iblis. Ketiga
ambisi yang ditawarkan Iblis ternyata ditanggapi dengan penolakan Yesus
yang sungguh tegas dan berwibawa. Yesus mampu menolak dengan tegas
berkat kesatuannya dengan Roh Allah Bapa-Nya. Persoalannya adalah
mengapa kita tidak mampu menolak godaan itu sebagaimana sikap Yesus?.
Ketidakmampuan untuk bersikap tegas terhadap kecenderungan dosa berakar
dalam kuasa dosa yang membuat hati orang terpecah-pecah. Namun pribadi
yang terpecah itu tidak menjadi alasan untuk merayakan Ekaristi. Justru
keterpecahan itu sungguh menjadi istimewa di hadapan Allah, seperti kata
pemazmur, "Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati
yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." Dalam
keterpecahan itulah, dengan mengugkapkan "Tuhan, kasihanilah kami", kita
mau menyingkapkan keretakan pribadi manusia di hadapan Allah, supaya
Allah sendiri mengubah hatiku menjadi hati yang lemah lembut dan rendah
hati sehingga siap untuk mendengarkan sabda Allah.

C. Perhentian sebelum berjalan menuju puncak: "mendengarkan sabda Tuhan"
(Liturgi Sabda)
Dalam Liturgi Sabda, para lector, pemazmur dan terutama Imam, menjadi
tanda kehadiran Kristus yang bersabda. Melalui para petugas liturgi
itu, Kristus mau meneguhkan iman bahwa Allah sungguh nyata mengasihi
manusia walaupun manusia jatuh bangun dalam dosa. Allah tidak pernah
menyesal mencintai manusia. Karena itulah Allah mengutus Putera-Nya
Yesus Kristus untuk menjadi manusia, dan tinggal bersama kita: mengalami
kematian manusia melalui sengsara dan wafat-Nya. Sebaliknya juga
pewartaan sabda Tuhan dalam homili mengajak kita untuk mengenal
bagaimana umat Allah dalam PL dan PB menanggapi cinta Tuhan. Semoga
berkat pewartaan itu, umat tergerak untuk menanggapi sabda Tuhan dengan
melaksanakannya dalam hidup sehari-hari.
Melaksanakan sabda Tuhan itu berarti: menjadikan Sabda Tuhan sebagai
arah hidup, pedoman dan visinya. Sebagai arah hidup, Sabda Tuhan
dijadikan dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan hidup: sikap,
tindakan dan gaya hidup kita. Dengan mendengarkan sabda Tuhan, orang
digerakkan untuk menaruh kepercayaan kepada Dia yang telah lebih dahulu
mengasihi kita.
Di situlah peran imam dalam Liturgi Sabda, sebagai tanda kehadiran
Kristus yang merayakan Ekaristi bersama Gereja-Nya (in persona Christi),
menjadi peneguh iman sekaligus dengan homilinya ia mengajak umat untuk
mewujudkan sabda Tuhan itu menjadi kenyataan, agar "bukan hanya menjadi
pendengar melainkan menjadi pelaksana sabda Tuhan". Dengan kata lain
setelah mendengar sabda Tuhan itu, merekapun akan mengundang Tuhan,
"Tinggallah bersama-sama dengan kami ya Tuhan" (bdk. Luk 24:39)

D. Jalan terus sebelum mencapai puncak justru karena "percaya"
Sebelum orang mencapai puncak gunung dibutuhkan pengharapan. Demikianlah
juga persatuan dengan Kristus dalam Ekaristi menuntut sebuah
pengharapan. Dasar pengharapan itu adalah percaya. Percaya itu bukan
sekedar usaha dan niat baik manusia melainkan sebuah anugerah Roh Kudus.
Percaya tidak menuntut bukti melainkan kesediaan untuk "melompat dalam
ketidakpastian": berani melangkah dalam ketidakpastian karena mengenal
siapakah "Pribadi yang kuandalkan".
Kenyataannya dalam hidup, siapakah yang kuajak untuk tinggal bersama
dengan diriku?? Siapakah yang kupercayai?? Kalau orang menerima HP saat
Misa berlangsung, siapakah sebenarnya yang menjiwai hidupnya: HP atau
Tuhan yang sedang hadir? Rapat penentuan pertemuan pendalaman iman,
Kitab Suci, Misa Lingkungan, bahkan acara keluargapun banyak ditentukan
oleh "jenis dan macam acaran televisi" Kalau acara TV itu menarik, lebih
baik menunda acara lain, meskipun acara yang ditunda itu penting
sekalipun! Acara TV bisa menjadi "tuhan" atau "dewa" jaman sekarang yang
"dipercaya manusia untuk menentukan arah hidupnya". Jadi, siapakah yang
kuajak untuk "tinggal bersama-sama dengan kami"? Sekedar bertanya, pada
diriku sendiri dulu.

E. Sikap yang percaya pasti kan berlanjut untuk menyerahkan diri.
Keyakinan untuk mengundang Tuhan tinggal bersama diungkapkan dalam
"Credo-Aku percaya dan Doa Umat". Keyakinan umat itulah yang
dipersembahkan kepada Allah dengan perantaraan Kristus yang menyerahkan
diri-Nya penuh syukur kepada Bapa. Maka, dalam persiapan persembahan,
kita diajak untuk menyerahkan diri. "Persembahan" itu berarti
"penyerahan diri" (English: to offer, Latin: offertorium), yakni
mengubah pusat hidup dan jaminan masa depan kita dari diri sendiri
menuju kepada Allah dengan segala resiko: membiarkan Allah berkarya.
"Jadikanlah aku bola-Mu, yang bisa Engkau sepak ke sana kemari" (St.
Teresia Kanak-Kanak Yesus). Dengan kata lain, "mengosongkan diri":
melepaskan segala sesuatu yang istimewa menurutku, dan mau mengikatkan
diri kepada Tuhan. Sikap hidup itulah yang akan diperbaharui dan
ditegaskan kembali dalam Doa Syukur Agung. Maka Kristus mengajak kita
untuk memperbaharui sekaligus menyegarkan komitmen kita untuk menjadi
pengikut Kristus yang mau menyangkal diri, memikul salib, dan
menyerahkan nyawa demi kepentingan kerajaan-Nya.
Dalam DSA Kristus berdoa kepada Bapa untuk mengutus Roh Kudus, agar
menguduskan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Perubahan itu
bukanlah perubahan artifisial, melainkan sungguh perubahan hakekat
seperti kain merah putih yang disusun atas bawah seperti bendera kita.
Kain itu bukan sekedar bendera melainkan melambangkan "bangsa dan negara
Indonesia". Demikianlah juga, roti dan anggur yang diubah oleh Roh Kudus
yang dimohon Kristus kepada Bapa menjadi Tubuh dan Darah Kristus,
bukanlah sekedar roti dan anggur, melainkan sungguh sudah berubah
hakekat dan jati dirinya, yakni Tubuh dan Darah Kristus.
Tubuh dan Darah Kristus itu dipercayakan kepada orang beriman untuk
dimakan dan diminum. Itu berarti Tuhan mau mempercayakan diri-Nya,
seluruh hidup, keinginan, perasaan, kehendak dan sabda-Nya, bahkan
Roh-Nya kepada kita semua. Namun apakah sungguh saya menerima
kepercayaan itu? Cukupkah dengan mengatakan "Amin" selesailah sudah?

F. Setelah perayaan Ekaristi, apakah yang mesti kubuat?
Dengan menyatakan "Amin" setiap kali menyambut tubuh dan darah Kristus,
sebenarnya kita menyatakan sungguh-sungguh bersedia untuk mati dan
bangkit bersama Kristus. Di sinilah saatnya kita mesti belajar mati
dengan Kristus, agar kelak bangkit bersama dengan-Nya? Untuk
menjelaskan "belajar mati", kita akan membaca kisah di bawah ini.
Dalam sebuah katekese liturgi di Lingkungan Andreas Paroki
Sugih Arta untuk menyambut Tahun Ekaristi, Rm. Sinten mengawali
perjumpaannya dengan sebuah teka-teki, "Kenapa ikan di laut rasanya
tidak asin padahal air laut rasanya asin? Coba saja, kalau Bapak atau
Ibu memasak ikan laut yang segar, kemudian masakan itu tidak usah
diberi garam cukup, apakah ikan itu sudah terasa asin? Ternyata, ikan
itu rasanya tawar bukan?" Para Bapak, Ibu dan kaum muda yang ikut dalam
katekese liturgi ini pun mengiyakan kata-kata Rm. Sinten. Tapi
pertanyaan yang sederhana dan tidak terpikir itu, rupa-rupanya sulit
dijawab. Rm Sinten tetap memberi kesempatan kepada umat untuk menjawab,
"Mengapa terjadi begitu, air yang asin dan berlimpah ruah itu tidak
mampu mengasini ikan-ikan kecil, apalagi ikan-ikan besar pun tidak
terasa asin.? Akhirnya Mas Gantheng pun mengangkat tangannya, "Romo,
singkat saja, ya semua itu karena sudah takdir!!" Rm Sinten pun
menganggukkan kepala, "Iya takdir, tapi untuk apa dipertanyakan kalau
kejadian itu takdir?" Jeng Mloes, wanita tengah baya, Ketua Tim Liturgi
Paroki Sugiharta pun tak ketinggalan, "Romo, karena Tuhan sudah
menciptakan laut dan seisinya memang seperti itu, jadi untuk apa
dipertanyakan, bukankah kita mau bicara soal Ekaristi dan hidup
sehari-hari? Kok malah tanya yang aneh-aneh! Mendengar pendapat Jeng
Mloes, Rm Sinten yang masih balita hanya diam dan tidak menanggapi. Dia
lalu melanjutkan pembicaraan!!
"Coba perhatikan, ikan yang bisa diasini itu ikan macam apa?"
tanya Rm. Sinten. Dengan serentak umatpu menyahut, "Ikan mati".
"Jadi..." kata Rm. Sinten dengan mantapnya" ....ikan di laut itu tawar
rasanya karena apa?" Kali ini umat langsung berteriak, "Karena
hiduup!!!" Dengan penuh semangat Rm, Sinten bertanya lagiKalau begitu,
apa yang mesti kita buat kalau Yesus bersabda, "Kamu adalah garam dunia!
Jadi, mungkinkah kita menjadi garam dunia kalau kita tidak mati??" "Mati
berarti kehilangan identitas, kehilangan nyawa, berani kehilangan harga
diri dan ketenaran, kekuasaan dan harta, masa depan. Itulah yang
disalibkan Yesus. Dengan disalib itu Yesus pun menggenapi sabda-Nya, "
Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia
tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak
buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya,
tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan
memeliharanya untuk hidup yang kekal (Yoh 12:24-25).
Kutipan itu makin menjelaskan makna kebangkitan Yesus dari
antara orang mati. Kebangkitan-Nya menegaskan sabda-Nya bahwa awal
kehidupan itu adalah kerelaan untuk mati yakni mau memilih kehilangan
nyawa, kata Yesus, bagaikan biji gandum yang mati, tetapi tumbuh menjadi
tumbuhan gandum dan berbuah banyak. Pertanyaannya adalah "manakah nyawa"
kita?
Nyawa kita bukan sekedar pengertian "nyawa" yang identik
dengan jiwa, tetapi barangkali "nyawa" berarti "sebuah keterikatan
emosional dengan segala sesuatu" sampai "ikatan itu mengendalikan arah
hidup saya". Misalnya, suatu saat Ibu Agnes memarahi anaknya, Bejo, yang
baru berumur 5 tahun karena ia memecahkan gelas saat belajar mencuci.
Akhirnya Bejo dicubit pahanya sampai menangis. Kejadian itu menunjukkan
bukankah harga sebuah gelas kadang-kadang lebih tinggi daripada martabat
pribadi manusia?

Sebagai kesimpulan, Rm. Sinten merumuskan sebuah pertanyaan
refleksif, "adakah Sakramen Ekaristi menjadi Sakramen kasih yang hidup
di tengah keluarga kalau kenyataannya gaya hidupnya tidak searah dengan
gaya hidup Kristus yang diwarnai kasih?
Setelah pertanyaan dilontarkan, lalu hening dan memanjatkan
doa spontan. Akhirnya acara pertemuan katekese liturgi itu ditutup
dengan doa dan berkat dari Rm Sinten. Mereka pulang dengan kelegaan
namun juga tantangan baru yang menyegarkan.

G. Perutusan dari altar ke pelataran
Kisah "pertemuan katekese liturgi" tadi memberikan wawasan yang baru,
bahwa hidup beriman itu tidak hanya berhenti di perayaan iman seputar
altar melainkan perayaan iman semestinya dilaksanakan di "pelataran"
artinya dalam hidup yang konkret di tengah dunia. Dengan gaya hidup
macam itulah, kita digerakkan untuk "belajar mati" , yakni mau
melepaskan ambisi untuk menjadi hebat, terkenal, berkuasa. Dengan
"belajar mati" kita lalu selalu siap untuk memulai tindakan mencintai
seperti Allah mencintai, yakni
(1) memelihara hidup, yakni ketekunan
memperjuangkan hidup harian keluarga, komunitas, menjaga kelestarian
tanah dan lingkungan hidup, dsb. ; 
(2) mau mengampuni ( memberikan
kesempatan orang lain untuk tumbuh dan berkembang, dengan latihan
berpikir positif (yakni tidak menilai dan menghakimi) dan
(3) menjadi tanda pengharapan bagi orang yang putus asa, miskin, lemah, kecil dan
tersingkir.



H. Peluang untuk "katekese liturgi"
Di balik kekurangkonsistenan itu ada "sebuah jalan pemikiran" yang cenderung memisahkan "perayaan iman" dan "perwujudannya". Kesenjangan inilah rasanya sebuah "peluang" yang tidak pernah habis untuk diisi dengan "katekese liturgi", agar liturgi kita tidak hanya seputar altar melainkan liturgi kita sampai di pelataran. Ekaristi tidak sekedar ceremonial agung, megah, dan "sacrum", melainkan
Ekaristi akan menjadi "sakramen kasih Allah yang hidup" justru dalam tindakan orang beriman yang membagi-bagikan hidup bagi sesama sebagaimana dilambangkan Kristus dengan "memecah-mecahkan roti" dan "dibagi-bagikan kepada para murid-Nya". Saat "pemecahan itulah" Kristus dikenal kedua murid dari Emaus.

I. Akhir kata
Penghayatan Ekaristi itu diarahkan agar orang semakin mampu
memperkenalkan Yesus itu Kristus. Yesus itu sungguh Mesias yang
menyelamatkan manusia bukan melalui gerak menaik: kekuasaan, kekuatan
dan popularitas, melainkan dengan gerak turun: penderitaan dan wafat-Nya
di kayu salib. Tindakan itulah yang diterima Allah dengan
membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Hidup Kristus itulah yang
senyatanya diperkenalkan umat beriman dalam seluruh hidupnya: mengasihi
seperti Kristus mengasihi kita tanpa syarat!! Itulah Ekaristi yang
hidup!!

Semoga Kristus yang bertindak merayakan Ekaristi bersama dengan
Gereja-Nya menggerakkan hati dan budi kita untuk menjadikan hidup kita
makin nampak ekaristis, yakni menampilkan wajah Kristus dalam dunia!

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Tidak ada komentar: