WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Senin, 30 Agustus 2010

Kelapa & Durian

Sun, January 31, 2010 8:26:01 PM

Siang hari, saat matahari bersinar memanasi bumi, pohon Kelapa dan pohon Durian saling berbagi pengalaman.

Kelapa menyapa lebih dulu Durian, "Duren, waah seneng banget ya...hari hari ini sejak Desember, kalau tidak salah, dirimu sudah banyak menghasilkan buah, diikat dirimu ke batang pohon, agar tidak jatuh ke tanah, lalu dijual. Waah buahmu harum banget! Apalagi kalau buahmu dicampur susu cair dan es, uihhhh...seger banget rasanya!"

Durian membalas, "Yeee, kelihatannya aku senang ya...nggak tahuuuu...! Aku tuh jadi durian susyaaaaah.. ..!" Kelapa kaget, "Lho, kenapa susyaaah...? Kan dirimu disayangi tuanmu, terus daging buahmu juga disenangi banyak orang!"

Jawab Durian, "Kelapa, apa yang engkau lihat menyenangkan, sebenarnya menyakitkan! Aku tuh disayangi tuanku, karena aku bisa dijual, lalu uangnya bisa untuk beli Black Berry baru, beli sepeda motor, nyicil perumahan, meski sudah punya rumah 3 buah!"

Sahut Kelapa, "Yaaa, jadi dirimu tersinggung karena dirimu dijual begitu?"

Kata Durian, "Iya bener, Kelapa! Aku tuh ingin sebenarnya tidak dijual, bagikanlah aku gratis kepada siapapun yang menginginkan buahku ini. Wajar nggak sih, aku dijual, padahal tuanku itu hanya menanam, semuanya yang memberiku rasa enak, kulit yang kuat, daging yang manis, rasa alkohol yang segar, semuanya dari Tuhan, kan? Tapi kenapa anugerah Tuhan kok dijual?"

Kelapa mengangguk angguk, "Oh iyaa...kenapa begitu ya... apa sebenarnya layak, seorang manusia itu menjual mahal yang bukan hasil jerih payahnya sendiri? Aku apa lagi, lebih menyakitkan sebenarnya. Aku sering berjatuhan sendiri kalau sudah tua, bahkan kalau dipetik pun, langsung dilempar!"

Sahut Durian, "Ya, ternyata kita semua, sama ya merasakan sakit hidup ini, cuma berbeda tempat! Padahal dirimu itu banyak berguna untuk menyedapkan masakan, minyakmu yang murni menjadi penurun kolesterol, bukan. Batangmu berguna untuk tiang penyanggah atap rumah! Batang daunmu juga berguna untuk sapu lidi. Belum lagi serabut kelapamu bisa menjadi pupuk bukan? Bandingkan diriku, setelah dagingku dimakan, bijiku belum tentu dirawat dan ditanam lagi, tapi dibuang ke sampah. Kulitku, juga paling hanya berguna sebagai "kayu bakar" kalau sudah dijemur dan dikeringkan. "

Sahut Kelapa, "Durian, jangan begitu pesimis melihat dirimu sendiri! Kamu melambangkan situasi dunia ini yang kelihatan jelek luarnya belum tentu dalamnya juga jelek. Kulitmu berduri dan tajam, tapi dagingmu luar biasa nikmat rasanya!" Bukankah orang hidup juga begitu? Jangan menomorsatukan penampilan, tapi utamakanlah kualitas batinmu!"

Balas Durian, "Iya benar ya, tapi dirimu juga tidak kalah Kelapa! Engkau bisa jadi lambang pribadi manusia yang dewasa. Akar dan batangmu bisa mengubah air yang hitam dan berbau itu menjadi air yang segar, kan? Luar biasa begitu, sehingga buah kelapamu yang muda pun, bisa menjadi penyembuh dahaga di siang hari begini."

Kelapa tersenyum, "Iya ya..itulah karisma yang diberikan Tuhan kepadaku! Bukankah engkau juga punya karisma yang istimewa? Coba akar dan batangmu bisa mengubah kandungan tanah itu menjadi buah yang beralkohol, manis lagi!"

Lanjut Durian, "Jadi, pantas ya kita bersyukur, agar kita merasa diri ini tidak lagi sakit hati, juga kalau diperlakukan seenaknya sebagai barang komoditi saja!"

Kata Kelapa, "Iya, moga moga, manusia hanya menjual buah-buah kita, tapi jangan sampai manusia itu merendahkan harga diri sesamanya!"

Jawab Durian, "Iya benar, ya...kalau merendahkan kita sih nggak masalah! Wong kita ini sudah memang jadi santapa mereka, bukan?"

Matahari mulai condong ke arah Barat, tanda ia mau bersembunyi lagi, untuk menyinarkan cahayanya di belahan bumi lain. Petang pun mulai tiba.

"Kelapa, aku pamit dulu ya" kata Durian.

Kelapapun menjawah ramah, "Okey Durian, aku juga mau pamitan, sambil menantikan terbitnya Sang Fajar di hari esok."

Sahut Durian, "Iya, Kelapa, malam boleh tiba, tapi fajar pun tidak pernah lupa untuk terbit!"  

write an serayunet-net@yahoogoups.com, 

Tembok Tinggi yang kubuat itu..!

oleh Blasius Full pada 20 April 2010 jam 10:13



Sahabatku,
Saat kita marah, membentak, bicara kasar, memaki-maki sesama kita serumah, teman kita,
anak buah atau pembantu,..di situlah kita sedang mendirikan "tembok tinggi" tanpa jendela
sehingga sesamamu tidak dapat menemui hatimu, melainkan terbentur kepalanya karena ada
tembok di depan matanya. Demikianlah juga dirimu tidak akan ketemu saudaramu karena ada
tembok tinggi. Kapankah engkau akan membongkar tembok itu?

Tembok tinggi yang memisahkan antara aku yang sedang marah dengan saudaraku, hanya
dapat dibongkar dengan "sikap rendah hati". Rendah hati itu bagaikan menggali tanah untuk
membuat sumur agar suatu saat nanti air dapat mengalir ke dalamnya. Menggali tanah itu
"membuat lobang", demikianlah pula "membongkar tembok tinggi", tidak lain adalah
membongkar "gengsi, harga diri yang dibangun begitu tinggi" bagaikan tembok tinggi tanpa
dinding. Saat dibongkar, pastilah engkau kesakitan, karena engkau menjadi orang yang
ditantang "rela tidak dipercaya lagi!"

Menjadi pribadi yang berani "tidak dipercaya", tidak lain seperti Yesus. Cobalah perhatikan, Dia
yang telah mengajar dengan kata dan perbuatan: Ajaran Cinta Kasih dan tindakannya
menyembuhkan, membangkitkan orang mati, membela orang kecil, ternyata Yesus pun tidak
dipercaya sebagai Anak Allah. Namun Yesus tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan
Allah, melainkan "mengosongkan diri" dan taat sebagai hamba sampai mati di salib (Flp 2:5-11)
Yesus tidak membela dirinya bahwa Dia memang benar, tapi Dia memperkenalkan Kebenaran
Sejati yakni dengan "taat di salib". Kebenaran itu kasih tiada habisnya: menyerahkan nyawa
agar umat manusia ditebus. Di salib itulah Yesus kehilangan kesempatan untuk hidup bebas,
nikmat, hebat, dipuji, dan tidak ada lagi kesempatan untuk mengontrol orang lain.

Kalau Yesus saja, yang setara dengan Allah, membiarkan diri-Nya tidak dipercaya, apakah kita
rela untuk tidak dipercaya, tentu setelah kita menunjukkan keutuhan pribadi sebagai orang
beriman. Beranikah menjadi pribadi yang tidak dipercaya, setelah kita berbuat baik: bermurah
hati dalam pelayanan, berbela rasa dengan sesama yang menderita, serta konsisten dalam
kata dan perbuatan?

Semoga hari ini ada banyak tanda cinta Tuhan yang membuat hidupmu terkejut, agar engkau
tertantang makin tumbuh subur jadi dewasa!

Have a nice and blessed today! 

http://towet.files.wordpress.com/2010/01/brickwall.jpg

Kenapa aku disebut "duri"?

oleh Blasius Full pada 23 April 2010 jam 8:03


http://www.shanyahampath.org/wp-content/uploads/2010/01/garden-rose-thorn-300x300.jpg

Apakah karena unjungku lancip dan tajam?
Mengapa banyak orang menghindari diriku?
Padahal, mereka terluka, kalau dengan keras menyentuhku,
tapi kalau lembut juga nggak akan terluka!
Kalau aku tidak menempel dan bersatu dengan tangkai mawar,
aku juga tidak bisa tegak lalu melukai kulit manusia!
Tapi begitukah nasibku sebagai duri,
yang selalu disingkiri karena kehadiranku saja sudah mengancam orang.
Padahal tidak seberapa lukanya kalau tersentuh diriku, orang sudah mabuk kepayang kesakitan.

Aku ragu, bahwa diriku disebut duri, kalau sudah lepas dari tangkai mawar, apalagi kalau dengan pisau tajam aku dibersihkan dari tangkai itu karena aku dianggap pengganggu dan pembuat luka tangan-tangan yang mau menikmati harumnya sekuntum mawar merah!
Coba kalau tidak ada durinya, sudah banyak orang yang memetik bunga, bahkan sebelum mekar sekalipun. Untung ada aku, yang menjaga, agar orang tidak begitu saja memetik dan memotong tangkai ini.

Lagi-lagi, aku mesti bercermin diri, namanya juga sudah duri, lancip dan tajam!
Aku mesti tahu diri, bahwa diriku entah ada atau tidak sudah dihindari orang.
Repotnya, aku prihatin kalau banyak orang sekarang melihat kawan lain itu bagaikan "duri", seperti diriku. Kalau ada teman yang sudah tidak menyenangkan, sudah tidak bisa diajak kerjasama, mudah protes, teman teman itu lalu dianggap "duri duri" dalam komunitas yang mesti disingkirkan!

Aku heran, apakah mereka yang menyingkirkan pernah berterima kasih bahwa orang orang yang dianggap sebagai "duri duri" dalam komunitas, justru merekalah yang sebenarnya mendidik temannya jadi dewasa, jadi kreatif dan berpikir jauh lebih visioner. Meski cara mereka mendidik itu mungkin tidak menyenangkan, tapi "namanya duri" itu membuat orang tertantang maju!

Begitulah hidup ini kenyataannya.! Aku pun sebagai "duri" hanya bisa mengatakan, bisa jadi aku keliru, harus kuakui, kehadiranku tidak membuat orang lain nyaman. Aku berharap pada Tuhan saja, yang mau menerima diriku, kekuranganku, syukurlah kalau orang tertantang karena kehadiranku, tapi minta maaf kalau kehadiranku, sebagai duri ini juga mengganggu kenyamanan saudaraku!

Tuhan, jadikanlah aku tahu diri, bahwa kerap kali aku jadi duri bagi orang lain! Namun, kalau ada duri dalam kebersamaan dengan orang lain, aku tidak akan menyingkirkan duri duri itu!



Tanah Tandus, Saudaraku!

oleh Blasius Full pada 05 Mei 2010 jam 22:59


http://foto.detik.com/images/content/2009/07/21/157/kering1.jpg
Saat minggu pagi aku berjalan jalan di pinggiran sawah yang mulai mengering airnya, tanah tanah pun kelihatan tandus, terdengar suara yang merintih kesakitan. Kudengarkan baik baik, suara rintihan itu datang dari mana, lembut sekali, tapi sayup-sayup datang pergi seiring dengan datangnya angin. Setelah beberapa lama kudengarkan rintihan itu aku mulai bertanya tanya, entahlah kepada siapa. 

"Saudaraku, benarkah engkau merintih? Engkau kesakitan?" tanyaku padanya. Ia pun menjawab, "Iya, aku sedang kesakitan, karena sudah seminggu tidak ada lagi hujan."Aku mulai menebak nebak, dari manakah suara rintihan itu. "Saudaraku, apakah engkau tanah yang kering dan tandus ini?" Suara itu pun dengan cepat menyahut, "Iya, benar, Saudaraku, aku tanah yang sudah mengeras, dan tidak lagi bisa menyerap air." Aku pun bertanya padanya, "Apa yang bisa kubuat?" Tanah itu menjawab, "Engkau bisa berbuat banyak untukku, aku ingin mengatakannya kepadamu, tapi janganlah mengira aku hanya berpikir untuk diriku saja, karena tanah itu berarti seluruh bumi ini, bukan hanya tanah yang sedang tandus ini, tapi juga aku ingin engkau memperhatikan bagian bagian diriku yang sudah subur." Aku mengangguk, "Iya, aku akan menjaga bagianmu yang sudah subur, dan aku ingin mengobati bagianmu yang tandus! Apakah engkau juga tahu obatnya?" 

Tanah itu lalu terdiam sejenak. Dengan suara yang sudah lelah karena kekeringan, ia hanya berucap, "Saudaraku, aku sangat membutuhkan air, tapi tidak hanya untuk sekarang, tapi sampai kapanpun." Aku pun menyahut, "Baik Saudaraku, aku akan mencarikan air ya, menyirammu perlahan lalu meremukkan dirimu agar dirimu jadi seperti tanah yang subur, mudah dicangkul. Tanah Tandus itu menyahut, "Baiklah, Saudaraku, meski aku pasti kesakitan, karena aku yang keras ini akan dihancurkan dengan air. Aku yakin, air itu akan membuatku mudah dilembutkan!" Tanpa terasa, tetes air mata ini berlinangan karena Tanah ini tegar untuk mengalami derita. Balasku, "Saudaraku, aku akan perlahan lahan menyiramkan air padamu, dan pelan pelan akan membongkar "tubuhmu yang keras". Setelah basah, aku akan mencampurkanmu dengan daun daun bambu ya, dengan arang kelapa, agar engkau cepat menjadi tanah yang lunak dan mudah ditanami. Setelah mulai lunak, aku akan menanamimu pohon mangga, pohon rambutan, pohon sukun dan pohon beringin. Pohon pohon itu akan menyimpan air hujan, setiap kali hujan datang dan engkau akan memiliki tabungan air berlimpah."

Tanah Tandus itu pun lalu kelihatan berubah warnanya, mulai coklat ceria, "Saudaraku, teirmakasih, aku boleh berharap padamu! Kunantikan kapan air kirimanmu akan datang." Aku tak tahan menahan haru, karena tanah itu sabar dalam kekeringannya, masih bisa berharap menantikan kiriman air itu. Aku akan secepatnya mengirimkannya. 

"Tuhan, aku ingin menurunkan hujan secepatnya untuk tanah tanah yang tandus, namun aku tak kuasa dan tak mampu untuk membuat air hujan. Ada banyak tanah di negeri yang kering dan mengakibatkan banyak kelaparan. Aku mohon curahkanlah hujan untuk daerah yang gersang dan kering, agar mereka mampu bercocok tanam, dan bertahan hidup. Sadarkanlah kami yang kerap kali tidak menghargai tanah yang subur, namun malah membiarkannya terbengkalai.

Semoga di tahun keprihatinan pertanian, ada banyak kejutan yang membuat orang sungguh sungguh peduli pada tanah tumpa darahnya. 

Janganlah bicara lagi tentang cinta!

oleh Blasius Full pada 06 Mei 2010 jam 21:41

http://www.aero-garden.us/wp-content/uploads/2009/05/seeds-garden.jpg
Begitulah kata terakhir yang dipesankah Sahabatku, Sang Benih, sebelum ia akhirnya meninggal dunia, "Jangan bicara lagi tentang cinta!" Aku mau minta penjelasannya lebih lanjut, tapi tak pernah kudapatkan penjelasan dari mulutnya sendiri, karena kini ia telah bersatu dengan tanah. Tanah yang kutanya pun hanya mengatakan, "Apakah engkau baru kali ini mendengarkan, Sang Benih itu mengatakan, "jangan bicara lagi tentang cinta?" Aku pun menyahut dengan lemah lunglai, "Benar Tanah, aku baru kali ini mendengarkan dia memberikan pesan yang sangat inspiratif tapi juga sangat sulit kumengerti! Kenapa dia bilang begitu? Apakah selama ini aku hanya bicara tentang cinta, tapi dia sebenarnya tidak pernah merasa kucintai?" Tanah itu pun lalu mencoba menjawab, "Sahabatku, aku tidak ingin menjawab pertanyaanmu, ataukah juga menjadi wakil Sang Benih! Tapi bagiku pesan Sang Benih itu, sebenarnya masih bisa berlanjut, "Janganlah bicara lagi tentang cinta, tapi jadikanlah cinta itu menjadi hidupmu, bukan lagi cinta itu terbungkus kata kata manismu!"

Aku terperangah pada Tanah yang sanggup melanjutkan kata-kata Sang Benih. Aku pun lalu tergerak untuk bertanya lagi pada Tanah itu. "Tanah, bagaimana caranya agar aku mampu membuat cinta menjadi hidup?" Sahutnya, "Belajarlah mati, seperti Sang Benih, yang telah mati, akhirnya Dia hidup bukan? Benih apapun butuh kematian, agar tumbuhlah tunas baru lalu perlahan tapi pasti akan jadi tumbuhan dewasa yang matang untuk berbunga dan berbuah!" Aku lega mendengarkan kata kata Tanah itu. "Baik Tanah, aku bisa mengerti! Tapi apa yang harus kumatikan?" Jawab Tanah itu, "Matikanlah dirimu sendiri, dan janganlah merasa dirimu sudah puas dan hebat kalau bisa berkata tentang cinta, padahal engkau hanya bicara, namun engkau belum menjadi kepunyaan Sang Cinta! Kalau engkau sudah jadi kepunyaan Sang Cinta, engkau tidak takut menangggung resiko mati, meski ada banyak serangan, kritikan, bahkan fitnah sekalipun". Aku mengangguk dan tercenung dengan kata kata Sang Tanah ini.

"Tanah terimakasih banyak, aku tak akan bicara lagi tentan cinta, bila hidupku tidaklah menjadi tanda Cinta-Nya". Tanah pun menyahut, "Syukurlah, Sahabatku! Mulailah sekarang, buatlah cinta menjadi hidupmu!

"Hidup Itu menyenangkan"

Mon, April 19, 2010 5:13:37 PM

Sahabat-sahabatku,
"Hidup itu intinya mengenangkan" . Mengenangkan (anamnesis) sebenarnya tidak sekedar bernostalgia dan melamun akan peristiwa yang indah saja, melainkan lebih dari itu, mengenangkan itu tidak lain sebuah jerih payah untuk menjadi "TANDA" agar KENANGAN INDAH itupun menjadi KENYATAAN sekarang ini dalam SUASANA, WAJAH, & PELAKU yang baru. Namun intinya sama sepanjang hidup, yakni "CINTA & KASIH".

"Cinta dan kasih' siapakah yang dikenangkan? Tidak lain dan bukan adalah Cinta dan Kasih Tuhan. Begitu muluk-muluk kah kenangan terindah itu? Bisa jadi orang merasa muluk-muluk! Tapi persis itulah sebuah kenyataan yang kontradiktif, kerap kali kita kurang mengakui kebenaran bahwa KITA DICINTAI TUHAN TANPA SYARAT! Kebenaran itu sulit diakui oleh manusia, dan bahkan ditertawakan, "Benarkah Tuhan mencintai kita tanpa syarat?"

Kesulitan kita mengakui kebenaran itu tumbuh subur dalam keyakinan kita karena kita terbiasa dihargai orang lain kalau kita sukses dalam studi, sudah lulus S-1 Inggris, S-2 Psikologi, lulus S-3 Kimia, sudah jadi dokter, jadi Finance Manager, jadi pastor dan seterusnya. Namun bagaimanakah penghargaan kita terhadap orang cacat, orang miskin, orang pengangguran, orang buta huruf, tidak berprestasi di masyarakat maupun lembaga formal. Lihatlah saja kalau hari hari besar, kebanyakan orang mudik akan saling bercerita dan bertanya, "Wah gimana anak-anakmu sekarang, suamimu dan isterimu?" Jawabannya pasti saling "berlomba" untuk menunjukkan "prestasi". "Anakku sekarang sudah jadi Direktur Bank Swasta di Jakarta! Anakku sekarang punya pacar artis, lho!! Anakku sudah lulus S-2 Psikologi dengan nilai cum laude; calon menantuku nihng perempuan, ya orang Sunda, tapi aduuh pinter pisan ngatur keuangan, sampai dipercaya bossnya jadi pemegang kas perusahaan pipa di Batam! Ehm kalau calon menantuku yang pria nih, lulusan S-2 jurusan pertambangan, pulangnya suka 1 bulan sekali! " Wah seru pokoknya, mereka saling berebut cerita dan merasa harga diri orang tua merasa terangkat (Entah terangkat berapa meter?)

Namun, di antara mereka juga ada orang yang "diam" tidak ikut "bersaing dan berlomba menceritakan prestasi anak-anaknya? Mengapa? Ternyata anak-anak mereka kurang berhasil,bahkan ada yang cacat ganda, ada yang gagal ujian, ada yang bandhel, ada juga yang jadi preman kampung sampai memalukan keluarga, dst".

Begitulah dunia, memberikan penghargaan atas dasar "prestasi yang kelihatan". Lalu mereka akan bilang, "Wah bener bener jadi ORANG,yaaa!! ! Begitulah "namanya ORANG" itu adalah mereka yang berpretasi dan mengangkat harga diri orang tua. (Lhoh...memangnya kalau tidak berprestasi itu BUKAN ORANG, yaaaaa? Iya kaleeeee.... terus apa dong? Monyeeet?) Jadi orang dihargai karena "penampilan fisik, gelar, status, jabatan!" Pertanyaannya adalah apakah Tuhan itu menghargai manusia karena kita berprestasi, bergelar, berstatus dan memiliki jabatan yang menggiurkan? "

Sahabat-Sahabatku,
Martabat dan harga diri kita di mata Tuhan TIDAK TERLETAK pada prestasi, penampilan, dan kekayaan serta status yang kita miliki! Namun, martabat kita itu tidak lain adalah ANAK ALLAH. Tuhan memilih kita menjadi anak-Nya karena kita telah berdosa akibat dosa asal manusia pertama Adam dan Hawa. Kita dicintai karena Tuhan tidak rela diri kita terbelenggu oleh kuasa dosa. Tuhan tidak rela kita menjadi hamba dosa! Maka kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menjadi keprihatinan Tuhan yang mendalam, juga sampai sekarang ini! Itulah Tuhan yang maharahim. Sebagaimana rahim seorang ibu itu selalu memberi makan kepada janin yang dikandungnya tanpa syarat, demikianlah juga, Tuhan mengandung kita yang berdosa, agar kita tetap memiliki kesempatan untuk berubah menjadi makin sempurna! Tuhan yang maharahim itu adalah Tuhan yang bergembira kalau anaknya bertobat. Pertobatan itu bukan dibuat karena orang takut akan hukuman Tuhan, melainkan buatlah karena Tuhan bangga akan anak-Nya yang mau berubah!

Sahabat-sahabatku,
Tuhan yang berbahagia kaerna kita bertobat, Dialah juga yang memberi kebebasan, agar keputusan kita berubah itu sungguh tulus dan tidak terpaksa! Itulah cinta yang penuh resiko, karena manusia bisa saja menolak dan tidak mau taat kepada-Nya. Namun juga, karena dibebaskan, manusia justru memilih sendiri untuk taat kepada-Nya tanpa syarat. Itulah kebebasan yang membuat kita menjadi diri sendiri. Itulah cinta Tuhan yang pantas untuk dikenang!! Karena itu, cinta Tuhan itu dapat dikenang kalau kitapun mampu menjadi TANDA yang hidup dari CINTA TUHAN YANG MEMBEBASKAN. Konkretnya bagaimana?

Konkretnya menjadi Tanda Cinta Tuhan itu tidak sulit! Mudah kalau kita mau! Cobalah selalu belajar "menawarkan" dalam segala hal, kepada pasangan hidup, kepada teman serumah, kepada anak-anak yang sudah remaja. Misalnya, "Mas, apa yang bisa saya bantu?" Pertanyaan itu membuat orang "terbuka untuk meminta tolong, tapi juga terbuka untuk memberi pertolongan tanpa terpaksa, dan orang yang ditolong juga tidak merasa ada pamrih! Pertanyaan itu khas kayaknya untuk karyawan "Customer Service", tapi bukankah model pertanyaan itu juga bisa menjadi "kebiasaan kita setiap hari?"

Menjadi Tanda itu juga dapat mulai mengubah paradigma kita tentang orang cacat, miskin dan tidak berprestasi, dari paradigma "meremehkan" menjadi "mengistimewakan" . Arinya, orang-orang yang dianggap tak berdaya itu justru sebenarnya memiliki "kekuatan untuk dicintai" karena situasi keterbatasannya membuka kesempatan untuk "diperhatikan, dirawat, dan dibantu dalam berbagai macam hal". Dalam kerapuhan dan kelemahannya mereka "mengundang kita untuk terlibat dalam hidupnya". Kalau cara pandang kita seperti itu, akan banyak orang yang dapat kita perhatikan. Itulah saat saat penuh rahmat Tuhan untuk melihat wajah-Nya dalam diri orang yang disingkirkan dunia karena tidak berprestasi.

Moga moga hari ini makin banyak orang mau menjadi TANDA yang hidup, agar CINTA TUHAN menjadi kenyataan! 

write an serayunet-net@yahoogoups.com, 

Minggu, 29 Agustus 2010

Gereja Tua

oleh Blasius Full pada 07 Mei 2010 jam 14:41


http://kfk.kompas.com/system/files/imagecache/sfk_preview_600x600/katedral_di_atas_air.JPG
Masihkah kau ingat waktu di desa
Bercanda bersama disamping gereja
Kala itu kita masih remaja
Yang polos hatinya bercerita

Waktu kini tlah lama berlalu
Sudah sepuluh tahun tak bertemu
Entah dimana kini kau berada
Tak tahu dimana rimbanya

Reff :
Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua
Waktu itu hujan rintik-rintik
Kita berteduh di bawah atapnya
Kita berdiri begitu rapat
Hingga suasana begitu hangat
Tanganmu kupegang erat-erat
Kenangan itu slalu kuingat

Biarpun saat ini kau telah berdua
Itu bukanlah kesalahanmu
Ku hanya ingin dapat bertemu
Bila bertemu puaslah hatiku
Bila bertemu puaslah hatiku
http://www.youtube.com/watch?v=Rfr92Mhi6iI

Mungkinkah iman diwujudkan dalam dunia perdagangan?

oleh Blasius Full pada 08 Mei 2010 jam 12:50



Mungkinkah iman diwujudkan dalam dunia perdagangan? Iman itu memiliki wilayah otonomi sendiri yang dipertanggungjawabkan oleh Gereja,sebagai komunitas umat beriman akan Kristus. Sementara perdagangan juga otonominya ada di dunia ini, yang diwarnai persaingan (kompetitif) yang sangat kuat. Pertanyaannya adalah mungkinkah iman yang ilahi itu memiliki bentuknya dalam dunia perdagangan atau sebaliknya, apakah dalam dunia perdangangan yang "mengelola uang" itu bisa menjadi "kesempatan" untuk mewujudkan nilai-nilai manusiawi yang universal, sebagai perwujudan iman? Di satu pihak, tidak bisa dipungkiri, orang beriman tinggal di dunia, namun tidak berarti juga hidup menurut dunia. Maka bagaimanakah orang beriman tetap hidup di tengah dunia tetapi sanggup menjadi "Bintang Terang"? Itulah "GAP" yang mesti dijembatani, agar iman tidak terasing dari umatnya sendiri, namun iman juga menjadi relevan bagi dunia.

Salah satu "jembatan" yang dapat digunakan untuk mengatasi GAP itu adalah paradigma "Cash Flow Quadrant" yang diciptakan oleh Robert Kiyosaki, bagaimana meningkatkan kesejahteraan baik keuangan personal, dalam rumah tangga maupun dalam sebuah organisasi. Kalau tidak salah, Cash Flow Quadrant ini menjadi paradigma untuk dinamika Credit Union. Sejauh saya tangkap Cash Flow ini menantang orang untuk berpikir lebih jauh, agar mengubah cara pandang kita dari "bekerja untuk uang" menjadi "uang bekerja untuk kita", dari orang yang bekerja dengan gaji dan menjadi konsumen saja menjadi orang yang memiliki kemampuan leader dan kemampuan berinvestasi (hidup produktif dan membangun jaringan, serta kemampuan fun raising). Nilai-nilai itu termasuk dalam kecerdasan finansial yang bersifat universal dan otonom. Nilai itu dapat diwujudkan oleh semua orang dari golongan manapun. Bukankah nilai-nilai itu "dapat menjadi arah" untuk mewujudkan iman di tengah dunia?

Semoga di hari esok ada banyak orang memiliki kecerdasan finansial, agar iman tidak lagi "mandeg" dalam perkataan dan tulisan, melainkan iman itu sungguh sungguh hidup di tengah dunia.

http://alfahaga.com/wp-content/uploads/2009/12/Cashflow_Quadrant.jpg

Main tebak-tebakan!








oleh Blasius Full pada 11 Mei 2010 jam 16:08

Ketika malam minggu kali ini, sahabat karib Panurata dan Jerawati tidak
menghabiskan waktunya jalan-jalan putar kota Moroarto. Tapi menghabiskan
waktunya untuk berbincang-bincang di rumah.

P : Jeng, aku punya tebakan neh.

J : Ah tebakan apa sih...kayak anak kecil aja main tebak-tebakan...

P : Penasaran kan? Tebakannya ini: Kenapa ikan dari laut ternyata rasanya itu
tawar, kalau dimasak atau digoreng tanpa garam? Padahal air laut itu asin.
Bagaimana ikan itu tidak menjadi asin, padahal air yang menjadi tempat
habitatnya asin sungguh?

J : Karena sudah dari takdir ya begitu, Pak.

P : Kalau jawabmu begitu, anak TK pun mah bisa...Jeng...

J : Habis tanya aneh-aneh begitu, kan sudah biasa ikan dari air laut itu ya
tawar rasanya!

P : Jeng, coba sabar dikit gitu. Jeng tahu kan, orang mengasini ikan laut itu,
ikan yang sudah mati atau masih hidup??

J : Ya...malah tanya lagi,...ya jelas ikan mati Kang Mas....

P : Jeng, nah gitu lho....jawab yang enak...aku kan cuma bertanya...jadi ikan
mati itulah ikan yang bisa diasini...

J : Lho Mas...jadi ikan laut itu tawar karena ikan itu tidak mati?

P : Nah tepat jawabanmu,....jadi ikan dari laut itu rasanya pasti tawar dan
tidak asin, meski air laut yang berlimpah ruah itu asin..karena ikan itu
hidup...

J : Terus Mas Panu, maksudnya gimana?

P : Begini Jeng, kalau ikan yang bisa diasini itu ikan yang sudah mati. Jadi
kalau Yesus bersabda, "Kamulah garam dunia!". Bagaimana kita mesti jadi garam
dunia, padahal kita hidup? Apa mungkin?

J : Lho....kita kenyataannya kan hidup, Mas? Terus kalau mau jadi "garam
dunia" berarti harus mati juga?? Kalau kita mati untuk jadi garam dunia, kapan
hidupnya, Mas?

P : Jeng, kalau ikan saja bisa diasini karena mati, apalagi kita. Hanya bisa
menjadi garam, artinya "hidup kita menjadi penyedap bagi hidup orang lain"
seperti garam...kalau kita mati juga. Masalahnya apa artinya mati bagi hidup
beriman..

J : Setahuku, mati itu ya "tidak bergerak, tidak bernafas, jantung berhenti".
Apa ada "mati" jenis lain?

P : Ada Jeng, mati dalam arti "kehilangan nyawa". Coba pernah tidak dengar
sabda Yesus, " Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan
nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
menyelamatkannya." Kehilangan nyawa itu bisa berarti "kehilangan segala sesuatu
yang dianggap istimewa dan sering diperlakukan seperti "nyawa" diri kita, karena
kalau tanpa itu semua kita merasa "sedih, marah, jengkel dsb"

J : Misalnya apa Mas?

P : Misalnya ada banyak orang kecanduan rokok. kalau tidak merokok sehari
saja, sudah marah-marah...jadi "rokok" itulah nyawanya...Tidak nonton sinetron,
juga jadi uring-uringan karena rebutan nonton sepakbola dengan suami dan
anaknya..."sinetron' itu jadi "nyawanya"...."SMS" tidak dibalas jadi murung,
marah, dst...SMS itulah nyawanya....

J : Mas, kalau begitu, aku jadi tersindir nih...ya banyak ya nyawaku di
mana-mana...dan kalau itu semua tidak ada ya...aku kerap marah..gitu...kemarin
aku baru marah gara-gara bunga anggrekku yang hijau tua dipetik ama adikku..jadi
kalau begitu...nyawaku di bunga anggrek ya...

P Nah sudah kenal kan "nyawa" kita....sekarang Yesus meminta kita rela
kehilangan "nyawa" itu..bahkan juga sampai "nyawa" kita sendiri: jiwa dan raga,
kalau ditantang berani mati sampai tetes darah terakhir karena membela iman...

J Iya mas sekarang aku memahami.....

P Kalau kita mau kehilangan hobi, kesenangan nonton TV, tidak punya
kesempatan merokok karena dana minim...di situlah ada kesempatan kita untuk
menjadi tergantung pada Tuhan...kegembiraan sejati bukan pada "hobbi dan
kesenangan kita", tapi hanya pada Tuhan kita boleh berharap.Itulah salib yang
harus kita pikul. Kalau mau memanggul salib...kita akan selamat dan mengalami
kebangkitan...

J Ooo begitu Mas...iya aku makin memahami arti hidup beriman...

P Jadi berani mati kan?

J. Iya berani Mas...

P: okey....aku pun lagi belajar...sama denganmu...tahu kan..."nyawaku" itu di
"tape ketan"...ingat nggak aku sering uring-uringan kalau nggak ada tape ketan
sehari aja...

J Iya Mas....syukurlah mas juga sadar begitu...

Jam sudah pk. 21.00 WIB. Mereka belum makan, lalu Panurata keluar dan teriak
mengundang penjual nasgor "thek-thek" yang lewat di gang samping..

salam hangat,
blasius slamet lasmunadi
http://img198.imageshack.us/i/638442ikanasin4.jpg/

Riyanto, Si Pendiam Yang Turut Membawa SMA St. Agustinus Juara I Rata-rata Nilai Kimia se-Kabupaten Purbalingga

oleh Blasius Full pada 06 Mei 2010 jam 23:40

http://keuskupan-purwokerto.net/files/riyanto.jpg


Kesan pendiam dan pemalu sudah langsung tertangkap ketika pertama kali bertemu dengannya di ruang tamu SMA St. Agustinus Purbalingga, Sabtu (1/5). Tinggi kurus dengan rambut ikal pendek, lengkap dengan seragam batik khas SMA St. Agustinus Purbalingga, dialah Riyanto, peraih nilai rata-rata tertinggi di SMA-nya dan salah satu siswa yang andil menjadikan SMA St. Agustinus Juara I Rata-rata Nilai Kimia se-Kabupaten Purbalingga yaitu 8,21. Riyanto sendiri memperoleh nilai Kimianya 9,5.

Prestasi tersebut bertambah kemilau lagi, karena seluruh kelas XII IPA di SMA St. Agustinus Purbalingga lulus Ujian Akhir Nasional yang diumumkan minggu kemarin. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan, karena banyak pihak yang sampai saat ini memandang sebelah mata terhadap SMA ini dan murid-muridnya.

Riyanto sendiri bukan berasal dari keluarga yang mampu, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai buruh tani, sementara sebagai sulung dari tiga bersaudara dia diharapkan segera bisa bekerja.

”Kedua adik saya laki-laki dan masih duduk di bangku SD, jadi ketika saya tiga tahun lalu lulus SMP sebenarnya tidak akan meneruskan ke SMA, namun tetangga saya, Pak Kirsun yang kini adalah Kades Manduraga, mendorong saya untuk bersekolah di SMA St. Agustinus Purbalingga ini, kebetulan beliau memang alumni SMA ini. Walaupun khawatir saya akhirnya masuk juga” ujar Riyanto ketika ditanya bagaimana bisa bersekolah di SMA St. Agustinus Purbalingga.

Riyanto memang patut khawatir, karena orang tuanya sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya, belum lagi situasi sekolah swasta yang dirasa asing baginya, karena terbiasa bersekolah di sekolah negeri. ”Takut gak ada temannya,” ujarnya singkat.

Pak Pratomohadi selaku Kepala SMA St. Agustinus Purbalingga menambahkan,”Biaya sekolah Riyanto selama tiga tahun di sini sangat terbantu dengan adanya bantuan beasiswa dari BKM ketika di kelas X, sedangkan di kelas XI dan XII mendapat beasiswa prestasi dari Komunitas Gabriel.”

”Saya kan mau ambil pelajaran di sekolahnya, jadi saya tidak ambil pusing, dan saya tetap Muslim dan menunaikan kewajiban saya,” demikian ujarnya saat ditanya bagaimana menyikapi imej SMA St. Agustinus Purbalingga yang oleh sebagian masyarakat lekat dengan Kristianitas. Lanjutnya, Dan ”Ternyata teman-teman di sini sangat kompak, kami sudah seperti saudara. Saya jadi kerasan.”

Untuk menuju ke sekolah, Riyanto awalnya menggunakan sepeda miliknya sendiri. Dengan jarak tempuh 10 km, waktu yang diperlukan untuk mencapai SMA hingga setengah jam. ”Tapi sepeda saya rusak, lalu saya mendapatkan pinjaman dari sekolah hingga tiga tahun sampai lulus,”katanya.

”Kami memang menyediakan sepeda sebagai alat transportasi bagi siswa, walaupun jumlahnya terbatas. Sepeda kami beli dari anggaran sekolah dan donatur khususnya Pastor Paroki Gereja Katolik Purbalingga. Kini ada 15 sepeda yang keseluruhannya sudah terpakai oleh siswa. Sementara total siswa kami 86 anak untuk tahun ajaran 2009/2010,” demikian jelas Kepala Sekolah.

Ada cerita yang mengharukan mengenai sepeda ini, ”Ketika pengumuman kelulusan kemarin, sepeda kan harus dikembalikan, saya dan para guru melihat Riyanto sampai menciumi sepedanya seakan menyatakan rasa terimakasih dan sayangnya. Banyak guru sampai meneteskan air mata haru,” kata Pak Pratomo.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa dengan kondisi keuangan keluarga seperti Riyanto, alat transportasi sepeda yang disediakan sekolah sangat membantunya untuk menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Untuk buku pelajaranpun, para guru membantunya dengan bermacam cara. Bahkan sampai membelikan buku untuknya.

Saat diwawancara, Riyanto ditemani oleh salah seorang sahabatnya Beni Lastaro, salah satu siswa yang juga berprestasi. ”Riyanto memang pendiam dan cenderung pemalu, tapi pintar dan rajin belajar. Dari kelas X selalu ranking 1 dan begitu pun dia tidak sombong dan bahkan selalu mau membimbing teman-temannya yang lain. Tak jarang perpustakaan menjadi tempatnya memberi ’pelajaran ekstra’ untuk temannya. Oh iya, teman saya ini juga jago olahraga lho, dia pernah juara 3 lomba tenis meja se-Kabupaten,” kata Beni mengenai sahabatnya itu.

Beni yang sekarang berprestasi, dahulu pada kelas X merupakan siswa yang kerap melanggar aturan sekolah sehingga seharusnya akan dikeluarkan. ”Kerap saya bolos sekolah. Bisa 30 hari lebih dalam setahun kalau dihitung, karena tiap minggu pasti bolos. Belum lagi pelanggaran lainnya. Saya ’diselamatkan’ oleh Kepala Sekolah dan guru-guru saya. Mereka menantang saya untuk mau berubah, mau mempertimbangkan jasa orangtua yang membiayai saya, dan inilah saya sekarang. Saya mau masuk Sekolah Calon Bintara TNI,” kata Beni mengenai diri dan impiannya.

Lain Beni, lain pula Riyanto. ”Saya hanya mau membahagiakan orang tua saya. Kalau pun ditanya mau kerja di mana, saya hanya punya pikiran akan ikut famili saya di Bekasi yang bekerja di sebuah pabrik kaca. Walaupun dalam hati kecil saya, saya ingin sekolah lagi. Saya sangat berterimakasih kepada sekolah ini, Kepala Sekolah, para guru, dan karyawan untuk segala dukungan dan kebaikan selama di SMA ini,” pungkas Riyanto. (adi)

Sabtu, 28 Agustus 2010

Ingankah engkau membaca tulisanku?

Sun, August 16, 2009 6:17:30 PM

Saudaraku,

Inginkah engkau membaca tulisanku? Kalau engkau ingin membaca tulisanku, kenapa ya? Apakah karena engkau pernah bertemu denganku? Pasti dari antara sekian banyak orang di milis sebagian besar justru belum pernah bertemu, kecuali menemui di layar monitor! Kalau belum pernah ketemu, lantas apakah tulisanku akan menarik untuk dibaca? Atau masihkah tulisanku bisa menarik dibaca bila engkau pernah ketemu dengan diriku, dan ternyata tahu siapa aku, dengan segala kelemahan yang kumiliki, (kelebihan belum tentu ada)? Bisa jadi tulisanku memang tidak menarik bukan? Entah kita pernah ketemu atau tidak? Lantas apa yang paling menentukan agar tulisanku itu menarik untuk engkau baca?

Saudaraku,
Aku bertanya padamu, masihkah engkau berharap bahwa tulisanku menarik? Dalam mimpiku aku bertemu denganmu. "Met, aku tertarik membaca tulisanmu, kalau yang engkau tulis, bukanlah sekedar pikiran dan perkataanmu, tetapi hidupmu itu sendiri! Hidupmu, apapun adanya, yang realistis, entah itu kelemahanmu, kegagalanmu, saat saat frustrasi, saat saat bosan dan jenuh, itulah yang menarik untuk "dibaca".

Saudaraku,
Kalau begitu, apa artinya "hidup yang dibaca"? Engkaupun menjelaskannya padaku, "Met, ..hidup yang dibaca itu, adalah hidup yang dipertanyakan, bukan soal kamu salah atau benar, bukan soal baik atau jahat, melainkan hidup dipertanyakan agar engkau tahu di manakah engkau kini berada? Apakah engkau sekarang berada di jalur yang benar, atau jangan jangan tanpa kausadari, engkau sudah berada di jalur yang keliru! Bila jalur hidup yang engkau lalui sedang keliru, janganlah menyesali keputusan yang sudah engkau buat, tetapi janganlah malu untuk membuat keputusan yang baru, "berbaliklah" dan buatlah keputusan untuk memilih jalur yang benar!

Saudaraku,
"Jalur yang benar" itu sebenarnya seperti apa konkretnya?" . Jalur yang benar itu seperti kereta api yang melaju tepat di atas bantalan rel. Kereta Api itu harus berjalan dengan kecepatan yang teratur dan tidak boleh melebihi batas kecepatan. Kalau melebihi batas kecepatan, roda-roda besi kereta api itu akan "keluar dari rel" alias "anjlok", lalu gerbong bisa terguling, dan tidak lagi terhindarkan penumpang bisa terluka, atau bahkan tewas, dan besarlah kerugian materialnya. Itulah artinya, kalau engkau yakin sedang berada di jalur yang benar, janganlah terlalu yakin, karena pemahaman tentang dirimu sendiri itu terbatas. Engkau tidak mengenal dirimu seluruhnya, melainkan hanya sebagian saja. Siapakah yang mengenal dirimu seluruhnya?

Saudaraku,
"Mengenal diri seluruhnya" itu berarti kesediaan untuk menyingkapkan luka batin, kelemahan, kegagalan, trauma, meskipun juga mengenal diri berarti kerelaan untuk mengakui ada banyak ambisi ambisi yang tidak sehat: tidak mau repot, mau menangnya sendiri dan mengontrol orang lain, maunya dikatakan hebat dan istimewa. Mengenal diri itu tidak bisa dengan "jerih payah pemikiran akal budi saja", melainkan mengenal diri hanya mungkin kalau engkau mengenal "Siapakah Allah yang mengasihimu! " Itulah inti kebenaran hidup sejati: mengenal siapakah Allah yang hidup dalam dirimu dan mengasihi engkau tanpa batas! Allahmu tidak pernah bosan dan jenuh untuk memberimu kepercayaan: agar engkau mampu menggunakan kehendak bebasmu demi kepentingan kerajaan-Nya.

Saudaraku,
Bagaimanakah kita mengenal "Allah" agar kita mampu mengenal diri? Allah dikenal kalau engkau setia mendengarkan suara Sabda-Nya saat engkau membaca Kitab Suci, saat engkau merayakan Ekaristi, namun juga saat engkau mau mengasihi sesamamu sampai berani kehilangan nyawamu. Tidaklah cukup mengenal Allah dengan berdoa, melainkan pula mesti kita berperan sebagai "nabi" yang mendengarkan sabda-Nya, dan menjadi "raja" yang mau melayani dengan murah hati untuk orang yang berada dalam kesulitan hidup. Dalam tindakan itulah engkau semakin mengenal diri: meski hidup kita terpecah, namun kita dipercaya Allah untuk menjadi "citra-Nya", menjadi representasi cinta Allah di tengah dunia, agar dunia makin manusiawi.

Saudaraku,
Terima kasih, engkau telah membuka wawasanku, bahwa "hidup" tidak sekedar dijalani, melainkan "hidup itu mesti dibaca" agar kita tahu arahnya...dan akhir tujuannya.Itulah tanda tanda orang yang memiliki "kemerdekaan sejati": berani hidupnya dibaca, tidak hanya dirinya sendiri, namun juga dibaca orang lain, bahkan oleh dibaca oleh Allah sendiri.

Warm regards!


write an serayunet-net@yahoogoups.com, 
email: lasmunadi_17_pr@yahoo.com

Nggak salah, pohon jambu mete jadi hiasan Natal?




Dec 6, '09 7:26 AM
untuk
Tidak seperti biasanya, Judesanti selalu kelihatan ceria dan banyak cerita. Kali ini dia lebih sering diam. Tanpa diduga, Minggu siang ini, Mas Trimbil datang. "Hai Judes.....apa kabar?" Judesanti kaget, "Hai....Akang...Kumaha damang, aduuh..kasep pisan euy?" Trimbil tersipu-sipu, "Aya aya wae...abdi mah biasa Neng!" Judesanti lalu mempersilahkan duduk. Judesanti masuk ruang makan, mengambil minum "lemon tea", kesukaan Trimbil. "Nih Kang, lemon tea! Suka kan?" Trimbil malu malu, "Iya..makasih ya..!" 


Thok Thok....pintu ruang tamu tiba tiba diketuk, "Mangga....!!" Ternyata Panurata datang bersama Jerawati..! Dengan ramah, Judesanti menyambut tamu mereka. "Waaah...kok bisa bareng nih ke rumahku? Sudah kencan ya...?" Batin Jerawati, "Enak aja kencan!!" Jerawati manyun, sementara Panurata malah tertawa, "Ya Iyalah...tentu kencan dong!!" Sahut Jerawati, "Ngaco...!Jangan dengarkan sandirawa Mas Panu!! Judesanti dan Trimbil tertawa, "Ha ha....mana yang benar nih! Trimbil menyahut, "Kang Panu memang mengakui jujur, atau Neng Jerawati nih yang nggak mau ngaku he he he! Judesanti menimpali, "Oh iya..iyaa beneeer!!" Trimbil menengahi, "Hayo hayo...duduk santai saja...kita ngobrol ngobrol. Biar ngobrol kita enak, mau minum apa nih? Panurata langsung menyahut, "Waaah...tuan rumahnya sudah ganti Mas Trimbil ya...?" Trimbil pun tersenyum, "Lho, aku itu orang hangat....jadi menawarkan minuman, kan minumannya tidak harus ambil ruang makan, tapi aku bisa keluar sebentar nah...cari minuman yang lebih enak ha ha ha...! Untuk mengurangi rasa malu, Judesanti pun ikut nimbrung, "Iyaa tuh...sejak kapan mau jadi pengganti tuan rumah ini!! Sinarieun, euy...lagi dapat gaji ke-13 kaleeee!!" Jerawati menimpali, "Iya ya...biasanya Trimbil mah pelit, kok tiba tiba murah hati...!!" Sahut Panurata, "Waaah...iyaa...jangan jangan..... ada udang di balik bakwan euyyy!!" Trimbil hanya tersenyum, "Terserah, yang penting, aku kan mau berbuat baik untuk kalian semuanya..! Panurata menimpali, "Khususnya untuk siapa ya....??" Sahut Trimbil, "Ada deh...want to know gitu...!!" Jerawati melirik Judesanti, "Waaah...siapa ya...!!" Judesanti hanya mengerdipkan matanya. Trimbil lalu pamitan, "Sudah ya..jangan dibahas lagi, nanti bahasnya..sekarang mau minum apa?" Panurata dan Jerawati pesan Es Shanghai dan Judesanti pesan es durian!" Trimbil lalu berdiri, "Okey, kita makan mie pangsit yang enak ya..!" Trimbil keluar sebentar ke rumah makan "Asyik Coy!", 100 meter dari rumahnya.

Setengah jam kemudian, Trimbil sudah membawa pesanan minuman dan mie pangsit. Sambil makan dan minum mereka terlibat pembicaraan untuk mempersiapkan natal di Paroki St. Jean Mary Vianney, di kota tempat tinggal mereka di Gemah Ripah! Mas Trimbil membuka pembicaraan, "Kebetulan Rm Sinten memberi kepercayaan agar aku jadi koordinator panitia natal tahun ini. Kira kira kalian punya usul nggak nih...?" Jerawati menyahut, "Mas Trimbil, aku punya usul, gimana kalau tahun ini kita tidak usah pakai pohon cemara, tapi kita gunakan pohon jambu mete, Mas!" Panurata, teman specialnya Jerawati membantah, "He he he...lha kok aneh mau pakai jambu mete segalaaa....!Nggak salah tuhh? "
"Sahut Jerawati, "Ya nggaklah ya....makanya dengarkan dulu kata Ibu Guru ini...he he!" Panurata langsung manyun, "Hem yang lagi seneng jadi Ibu Guru...!" Trimbil menimpali, "Ya sudah, kita dengarkan penjelasan Ibu Guru!" 

Jerawati pun langsung menjelaskan, "Pohon Jambu Mete itu, akarnya bisa menyuburkan tanah, juga di tanah yang kadar kapurnya tinggi! Akar tunggangnya lebih dari 3 m dalamnya dan akar-akar penyerap hara menancap sedalam 6 m. Akar penyerap ini mempunyai fungsi menyerap air maupun zat makanan. Dengan akar sedalam begitu, Pohon jambu mete itu bisa hidup di daerah kering sekalipun, karena akarnya akan mudah beradaptasi dan mencari air tanah sendiri. Akibatnya, tanah yang tadinya kering malah bisa basah karena akar pohon jambu mete ini." Panurata tersenyum, "Waaah...ternyata luar biasa yaa...!" Trimbil menimpali, "Maksudmu siapa nih yang luar biasa??" Judesanti langsung menyahut, "Jelas Diajeng Jerawati gitu lhooo, kok pakai nanya segala!" Sahut Trimbil, "Jadi kalau begitu, pohon jambu mete itu bisa menjadi simbol kehadiran Yesus yang mengakar dalam kekeringan hidup manusia akibat dosa!" Sahut Jerawati, "Naaah....benar...seratus untuk Mas Trimbil!" Panurata cuma nyengir, "Hemm.....ternyataa.....!!

" Tanya Judesanti, "Ternyata apa nih Akang Panu...?" Panurata tersenyum, "Ternyata, Jerawati hebat euyyyy....!!" Jerawati tersenyum simpul.."Ya, Iyalaah....siapa aku gitu looh....!!" Panurata menyahut, "Yeeee....kok malah tanya siapa aku!! Habis dipuji kok malah bingung ama dirinya, siapa aku!!!" Judesanti dan Trimbil tertawa, "Ha ha ha, aya aya wae, kang Panu!! Jerawati menimpali, "Biasalah, kalau sudah kalah ide ya begitu deh...cari cari kesempitan untuk ngerjain aku...tapi...yang penting...dia sudah kalah, 1 - 0!!" Panurata pun tidak mau kalah, "Iyeee...yang lagi jadi selebritis di Paroki...!!" Sahut Jerawati, "Iya dong, emang penting buat aku jadi selibritis, yang penting aku kan nggak pernah jadi selibritis! Weeek...!!!" Trimbil menengahi, "Iya sudah...kita teruskan, jadi...kita usulkan ke Romo Sinten, nanti dalam rapat panitya Natal untuk menggunakan "pohon jambu mete!!" Nah, intinya tadi, pohon jambu mete itu punya akar yang luar biasa fungsinya, sanggup tumbuh dan beradaptasi di tanah yang kering (curah hujannya 800-1000mm). Yesus lahir dalam "kekeringan hidup manusia!" Judesanti, Jerawati dan Panurata, mengiyakan, "Okey....!!" Tambah Judesanti, " Tinggal diwujudkan dalam dekorasi, dan persembahan...!!"


Hari sudah sore, kira kira jam 15. Mereka pun lalu menutup perjumpaan mereka yang ser-san (serius tapi santai) dengan doa Koronka. Trimbil, Panurata dan Jerawatipun lalu pulang untuk mempersiapkan rapat Panitia Natal malam ini di Parokinya. 

Saat engkau cemberut

Sun, August 9, 2009 6:55:41 PM
    

Saat engkau cemberut, engkau telah membungkus senyuman ramahmu untuk sahabat dan saudaramu! Padahal Tuhan menaruh harapan, melalui dirimu, saudaramu yang sedih akan merasa nyaman tinggal di hatimu!

Saat engkau muram dan memalingkan wajahmu kepada orang yang berada dalam kesulitan hidupnya, engkau sebenarnya telah menyembunyikan cinta Tuhan yang engkau percayakan kepadamu. Padahal kehadiranmu diharapkan menjadi tanda cinta-Nya yang membawa harapan.

Saat engkau mencari harga dirimu dan takut wibawamu merosot turun, engkau sebenarnya telah membungkus kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Padahal Tuhan mau menganugerahkan rahmat kebijaksanaan: menjadi mulia dalam kerendahan hati, namun engkau tidak mau untuk terluka sebentar saja.

Saat engkau membuang muka kepada temanmu yang telah menjengkelkan dirimu, engkau telah membungkus rapat hatimu yang penuh belas kasih dan pengampunan. Padahal Tuhan sudah memberikan kepadamu mandat untuk mengampuni, yakni tidak menghakiminya lagi, melainkan justru memberikan kesempatan kepadanya untuk berubah. Begitu besar cinta Tuhan, sampai pengampunan pun dipercayakan kepada manusia, agar manusia dengan mudah memaafkan sesamanya!

Saat engkau menolak anakmu untuk bersandar pada bahumu, saat itulah juga engkau kehilangan kesempatan untuk merasakan tangisan, detak jantung anakmu yang mempercayakan hidupnya kepadamu. Begitulah anakmu percaya kepadamu, orang tuanya. Anakmu yakin engkau tidak akan menyakiti hatinya, melukai tubuhnya, melainkan anakmu percaya, engkau orangtuanya akan mendidik dan merawatnya penuh kasih! Tuhan pun percaya dan menaruh harapan kepadamu sebagai orang tua.

Saat engkau menyalahgunakan kehendak bebasmu untuk berbuat dosa, di situlah sebenarnya rahmat belas kasih Tuhan yang maharahim berlimpah limpah. Namun rahmat itu tidak akan dirasakan kalau kita masih "hidup": membela diri terus dengan 1001 alasan yang membenarkan diri sendiri meskipun sudah ditunjukkan kesalahanmu. Kita butuh belajar "mati": kehilangan harga diri, agar kita mampu menemukan rahmat Tuhan yang berbelas kasih kepada orang berdosa. Itulah ibarat, ikan yang hidup di tengah lautan tidak akan menjadi asin meski air lautnya asin.Namun hanya ikan mati yang dapat diasini karena fungsi "self defense mecanism" ikan itu sudah tidak berjalan lagi. Begitulah diri kita sebenarnya. "Kamu adalah garam dunia". Mungkinkah kita akan menjadi garam bila kita tidak "mati"? Kita akan menjadi garam kalau berani kehilangan "sikap membela diri".

Tanah yang subur, mudah dicangkul dan menyerap air apa saja. Tanah itu selalu siap untuk ditanam "biji-bijian" yang menjadi benih tanaman untuk bertunas. Apakah kita ini siap menjadi biji gandum, biji rambutan, biji padi, yang siap ditanam? Tanah itu bisa jadi hidup kita bersama, ada yang tandus, ada yang subur, ada yang dikelilingi semak berduri, atau seperti tanah di atas bebatuan, atau seperti tanah di pinggir jalan? Terhadap orang lain, kita dipanggil menjadi tanah yang subur agar sahabatku, bagaikan biji padi, siap bertunas, tumbuh dan berbuahkan bulir padi yang bermutu. Bagi diri sendiri, kita dipanggil untuk menjadi "biji" yang siap mati untuk ditanam, di manapun kita akan hidup. Tuhanlah yang memberi hidup dan pertumbuhan kepada biji itu...dan kitalah yang dipanggil saling merawat dan memupuk tanah kehidupan bersama.

Semoga hari esok ada banyak kejutan yang membuat hidupmu menjadi tanah yang subur bagi banyak orang! Semoga kita mau menjadi biji padi yang jatuh ke tanah dan mati, agar berlimpah buah padinya saat panen nanti.

write an serayunet-net@yahoogoups.com, 
email: lasmunadi_17_pr@yahoo.com

Jumat, 27 Agustus 2010

Panurata dan Judeswati

Status FB Blasius Full


2 maret 2010, jam 7:14
Pagi ini, Jerawati ketemu Panurata di kantor CU Cikal Bakal, sapanya, "Mas, kok sekarang gendhut, kayak Gajah, "diblangkoni" lagi!" Sahut Panu, "Heh, pagi pagi sudah ngeledhek orang! Biar gendhut, aku kan bangga! Balas Jerawati, "Halah, bangga apa narcis, wong kayak Gajah Diblangkoni!" Panu kaget, "Apaan tuh?" Jawab Jerawati, "Artinya ngomong banyak tapi nggak dijalani!" Panu nyengir, "Enak aja, padahal iya sih!"


8 maret 2010, jam 15:23
Sore ini Panurata menyapu halaman depan rumahnya. Lewatlah Jerawati jalan kaki di depan rumahnya. Tanya Mas Panu, "Jeng, mau kemana, sudah mendung?" Sahut Jerawati, "Emang penting apa, tanya-tanya?" Protes Mas Panu, "Ampyuuuun..juthek banget sih!!" Balas Jerawati, "Biarin juthek, emang dilarang apa? Panu rata aja nggak dilarang!" Mas Panu manyun, "Huuh, dasar! Ditanya baik-baik, malah sewot!"


14 maret 2010, jam 9:57
Sambil menyapu halaman, Panurata bersenandung, "You raise me up so I can stand on mountains. You raise me up to walk on stormy seas..." Tiba-tiba suara Jerawati, "Aduuh, suaranya bagus banget!" Mas Panu menengok, "Eh, Jeng, makasih ya pujianmu!" Sahut Jerawati, "Ye, gak usah GeeR!" Balas Panu, "Kok gitu, sih?" Kata Jerawati, "Suraramu bagus banget, apalagi kalau jadi sirene pemadam kebakaran!" Panu lalu manyun!


19 maret 2010, jam 12:56
Siang ini, Panurata berpapasan dengan Jerawati di Warung Mie Ayam. Sapa Jerawati, "Akang, aduuh sudah 2 mangkok mie? Lapar pisan, euy?" Sahut Panu, "Nih, mau nambah lagi satu mangkok!" Balas Jerawati, "Weleh weleh, masih kurang 2 mangkok?" Sahut Panu, "Tuh kan, padahal aku mau pesan lagi buatmu, eh malah ngledhek! Nggak jadi pesen, ah!" Jawab Jerawati, "Ye, gengsi dong dipesenin dirimu!"


23 maret 2010, jam 19:45
Sore tadi, Jerawati ketemu Panurata di Warung Mie Bakso. Kata Panu, "Jeng, kok senyum-senyum sendiri? Aya naon?" Sahut Jerawati, "Emangnye dilarang apa, senyum sendiri?" Balas Panu, "Ye, dengar dulu, aku cuma bertanya ada apa? Sewot banget sih?" Jawab Jerawati, "Mau tahu, ada apa?" Sahut Panu, "Iya dong!" Kata Jerawati, "Aku senyum, karena dirimu tidak hanya berpanu tapi berjerawati" Panu manyun!


25 maret 2010, jam 11:27
Jerawati ketemu Panurata di Pasar Manis, "Aloww Akang!" Mas Panu kaget, "Hey, Jeng, mau belanja apa nih?" Sahut Jerawati, "Mau beli buntut sapi, gurami, bawal! Buat pesta gitchu!" Jawab Panu, "Jeng, kok boros banget sih?" Balas Jerawati, "Ye, daripada loe, muka boros, euy!!" Balas Panu, "Biarin mukaku boros, daripada wajah bermutu!" Sahut Jerawati, "Maksoed loe, bemuka tua? Enak aja, uuuh!"

Judesanti & Aya!


Dec 6, '09 5:43 PM
untuk
Saat jalan-jalan dengan naik sepeda onthel menuju pastoran St Tarcisius, Judesanti kaget bukan kepalang, ada suara yang memanggil-manggil, "Ayaaaaa.....! Ayaaaa....!" Namaku tuh bukan Aya...sudah ganti, kok dia tahu ya..namaku!" Orang itu lari-lari, dan Judesanti pun berhenti di depan Pasar Anyar, lalu turun dari sepedanya. Orang itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman, "Aya, masih ingat aku?" Dengan bibir manyun, Judesanti menyahut, "Kamu siapa? Kok panggil panggil aku Aya dan menghampiri aku? Aku kan bukan bernama Aya?" Orang itu berbicara pelan, "Iya, kalau aku sudah nggak diingat ya, nggak apa apa! Tapi kalau Aya bukan namamu, kenapa engkau mau berhenti dan menungguku datang? Benar, namamu Aya?" Judesanti masih belum mau mengiyakan, "Bukan, namaku bukan Aya. Namaku Judesanti. Titik! Aku bangga kok dengan namaku sekarang!! Orang itu tidak mau kalah, "Okey, nanti tanyakan saja pada orang tuamu, benar nggak kalau namamu yang sebenarnya itu Aya, bukan Judesanti, seperti sekarang ini!" Lalu Judesanti membalas, "Sebentar, aku tanya namamu siapa, dan tinggal di mana sekarang, kok kenal dengan ayah ibuku? Aku sendiri baru 3 bulan di kota pelajar ini! "Orang itu" hanya memberitahukan alamatnya, "Aku tidak perlu memberitahukan namaku, tapi cukuplah alamatku dan nama orang tuaku! Alamat ku di Jalan Margasatwa 20, berseberangan dengan Gereja St. Tarcisius. Bapakku bernama Senen, Ibuku bernama Legi! Tanya deh, pasti orang tuamu tahu.!! Sambil manyun, Judesanti membalik arah, dan pulang ke rumah. Sambil manyun, dia berterima kasih pada "orang itu". "Okey terimakasih, tapi maaf ya, aku tidak suka dengan orang yang suka merahasiakan nama! Sombong, tauuu!!" Orang itu tersenyum, "Terimakasih, saya minta maaf! Semoga dirimu lebih bahagia nanti dipanggil Aya! Judesanti pun mengayuh sepedanya cepat cepat pulang ke rumah sambil penasaran, masih 500 meter lagi tapi jalan menanjak!



Akhirnya sampai juga di rumah. Judesanti, langsung teriak, "Ibuuuuu.....!! Ibunya, bernama Melati, menyahut, "Ada apa Neng, kok teriak teriak begitu? Kamu kan sudah besar...!" Tanpa menghiraukan teguran ibunya, Judesanti langsung laporan, "Kok tadi aku dipanggil Aya, ama seseorang, Bu? Benar nggak sih, kalau namaku asli itu sebenarnya Aya...? Dengan sabar Ibunya balik bertanya, "Siapa yang bilang?" Sahut Judesanti, "Itu lho Bu, dia ngaku rumahnya Depan Gereja St. Tarcisius, terus anak dari Bapak Senen dan Legi! Ibu Melati lalu tersenyum, "Ohhhh....Neng belum kenal yaa...? Dia itu pastor Sinten...!! Dia lebih tua 15 tahun di atasmu, sekarang umurnya sudah 45 tahun! Waktu kecil, kamu sering main ke rumah dia, sampai umur 3 tahun! Kamu pasti lupa, kan?" Judesanti langsung mengerenyitkan dahi, "Haaaah...pastor, Bu? Dan aku sering main ke rumahnya?" Ibu Melati pun mengiyakan, "Iya bener, dulu kalau sudah main ke rumah Pastor Sinten, kamu nggak mau pulang! Pokoknya kalau belum ketemu dia, kamu masih nunggu, sampai Mas Sinten itu pulang sekolah! Kamu seneng banget kalau diajak main "dakon"." Judesanti nggak sabaran, "Lalu, kenapa aku dipanggil Aya?" Ibu Melati menjawab penuh hati hati, "Begini, dulu kalau Mas Sinten belum muncul, kamu selalu tanya terus ama Ibu Legi atau Pak Senen. Pak, Bu, Aya Mas Sinten? Ayaa? Pokoknya dulu kamu tuh nggak sabaran...tanya terus...Nah suatu saat, Mas Sinten tidak sekolah, tapi sengaja mereka ngeledek kamu! Kamu tanya, "Mas Sinten, aya Ibu?" Bu Legi bilang, "Nggak ada kok...lagi pergi, nggak akan pulang lagi! Terus kamu menangis keras...!! Eeeh ...tiba tiba Mas Sinten tuh teriak.."Ayaaaaaa.....!!" Waaah...kamu langsung peluk Mas Sinten..saking senengnya..!" Sejak saat itu, Mas Sinten suka banget panggil kamu Aya...!!

Judesanti terharu mendengar cerita itu, "Aduh Bu, aku jadi nggak enak hati, tadi habis aku juthek banget...! Nyesel, Bu!" Ibu Melati menenangkan hati Judesanti, " Iya sudah, nanti kalau kita ke Gereja mampir ya ke rumahnya...! Romo Sinten itu lagi ambil cuti 3 bulan setelah pulang studi di luar negeri sana!" Judesanti, "Waah,...berarti pinter ya Bu!" Ibunya mengangguk! "Iya dong, masak jadi pastor, yang dipilih yang nggak pinter!" Sahut Judesanti, "Terus, kenapa aku dipanggil Judesanti?" Ibunya menjawab, "iya, nama itu panggilan ibu, karena kamu tuh Judes banget, tapi ngangenin gitu, kayak iklan itu, nggak ada loe, nggak rame he he he!" Judesanti terus tertawa, "Ha ha ...Ibu bisa aja nih...tapi aku bangga Bu..biarpun aku judes, tapi aku orangnya kan baik hati, Ibu! Nggak sombong, rendah hati dan suka bercocok tanam! He he he...! Ibu Melati tidak tahan mendengarkan omongan anak semata wayangnya itu, "Aduuh aduuh...kamu tuh brondhong banget...!!" Judesanti langsung menyahut, "Wakakakkak...Ibu gauuuuuull pisaaaan!" Ibu Melati pun tidak mau kalah, "Kalau ibumu nggak gaul, mana bisa menghibur dirimu yang super juthek...!!" Judesanti nyengir, "Iya deh Bu. makasih ya Bu...!! Sun Ibu...aku mau ke rumah depan Pastoran ya..cari Romo Sinten, mau minta maaf...! Ibunya mengangguk, "Iya, nah begitu dong, jangan suka malu untuk meminta maaf ya..!" Judesanti pamitan, "Bye Ibu, pergi dulu ya..!" 

Sesampai di rumah Romo Sinten, Judesanti pelan pelan mengetuk pintu,,"Thok Thok Thok!!" Lalu muncullah sosok "orang yang tidak dikenal di jalan tadi!". Judesanti langsung mengulurkan tangannya, "Romo Sinten, minta maaf ya...aku tadi juthek dan marah marah pada Romo!" Romo Sinten mengangguk, sambil tersenyum, "Iya saya maafkan, nggak masalah..Gimana seneng nggak dipanggil Aya lagi?" Judesanti malu tersipu-sipu, "Ehm...mau dong Romo..! Ternyata nama Aya itu tidak hanya sekedar berarti "ada" kan? Tapi bersejarah banget untuk hidupku di masa kecil! " Sahut Rm Sinten, Iya, syukurlah kalau Ibumu sudah cerita. "Terus siapa yang boleh panggil kamu Aya?" Judesanti pun mengerutkan dahi, "Siapa saja deh, Romo, yang penting mereka mau bersahabat denganku!" Rm Sinten menganggukkan kepala, "Okey...minggu depan, dalam pertemuan Mudika, nanti Aya sharing ya..!" Judesanti masih kaget, "Iyaa Romo, aku sudah dipanggil Aya lagi?" Romo Sinten menepuk bahunya, "Iya, Aya, bagus kan namamu itu? Baik ya, saya mau ke pastoran dulu, laporan ke Pastor Paroki, mau minta jatah jadual misa Minggu!" Judesanti pun pamit pulang, "Iya Romo, makasih ya..! Saya pulang dulu, sekali lagi minta maaf, sudah juthek!" Romo Sinten mengangguk, lalu mengantar Aya pulang ke rumah. 

Akhirnya Judesanti pun sekarang berganti nama Aya, seperti masa kecilnya dulu. Dengan penuh senyum ceria, Judesanti pulang ke rumahnya, "Ibuuuu....aku ganti nama aja ya...!" Ibu Melatipun kaget, "Loh, mau ganti nama?" Judesanti menyahut, "Iya..Ibu, aku tadi sudah ketemu Rm Sinten. Aku rasanya lebih senang deh, kalau diganti nama Aya, lebih mudah diingat dan lebih "hangat" gitu rasanya di telinga dan di hati! Ibunya mengangguk. "Tapi bilang dulu dengan Bapakmu juga ya...! " Setelah ayahnya pulang dari dinas luar, mereka pun mendukung pergantian nama. "Aya menjadi nama tua untuk Judesanti".