WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Jumat, 22 Oktober 2010

Menurut Lini “Mo Met: Sahabat, Gembala, Endorser”

Sumber : http://lini.via-lattea.org/mo-met-sahabat-gembala-endorser

Jumat, 13 Agustus 2010, jam 22.25.

Baru saja aku hendak mematikan komputer. Ini waktunya untuk tidur. Besok harus siap jam 6 pagi untuk menyiapkan Si Sulung berangkat ke Indonesian Robotics Olympiad (IRO) 2010. Tiba-tiba, ponselku berdering. Tertera “Ratih Tjandra”. Ada apa ya? Sudah lama Ratih tidak meneleponku.

“Ya, Tih?”

“Lin, Romo Slamet meninggal.”

“Hah?? Serius lo??”

“Iya! Ini lagi kroscek ke mana-mana.”

“Belum lama ya, Tih, lu bilang Mo Slamet diangkat jadi Ketua Komisi Kateketik Purwokerto. Belum lama juga gue ketemu dia di rumah duka waktu Tantenya Danny meninggal…”

Meluncurlah berbagai nostalgia kami dengan (alm) Rm. Slamet. Tidak lama, telepon ditutup.

Kucoba kroscek ke Mgr. Pujasumarta. Telepon mati. Mungkin baru istirahat setelah pulang dari sidang KWI. Kucoba telepon Rm. Anton, Ekonom Keuskupan Bandung. Rm. Anton malah baru dengar kabar itu dariku

Aku masih melongo. Selang beberapa menit, datang pesan singkat ke ponselku, tertera “Rm. Indra Sanjaya”. Kutelepon Mo Indra.

“Ya, Pakde?”

“Lin, apa betul Rm. Slamet meninggal?”

“Kata Ratih begitu.”

“Padahal aku baru merencanakan proyek sama Romo Slamet…”

Sambil bertelepon, kubuka kedua akun Facebook Rm. Slamet. Sudah ada beberapa ucapan belasungkawa di dindingnya. Tidak salah lagi.

Kutelepon seorang Tante di Purbalingga. Ternyata Tanteku malah baru dengar juga kabarnya. Besok pagi ia akan langsung ke RS. Elisabeth. Sementara itu, ponselku berbunyi lagi. Tertera “Intan Amrin”. Ganti kutelepon Intan.

“Lin, Mo Slamet meninggal?”

“Tadi pertama Ratih yang telepon, katanya sih begitu. Barusan juga telepon Mo Indra, ”

“Padahal gue kepingin banget ketemu sama dia, selalu tertunda…”

Kemudian, aku diberitahu oleh beberapa teman lewat YM: Rm. Adam Soen, Imelda Wijaya, Yovita Wijaya, dan Anie.

Yovita bilang, “Lin, sedih gue… romo baikkk buangett sama gueee… “

Rm. Adam bilang, “Wahhhh Jerawati and Panuroto nggak berlanjut nichh…”

Di jendela sebelah, masuk surel dari Ratna Ariani. “Lini, Romo Slamet sudah pulang kerumah Bapa, gw sedih bangetttt”

Aku sampai detik ini masih merinding, terhenyak, kehabisan kata-kata, mendadak tak bisa tidur padahal besok harus bangun pagi.

Aku ingat ketika pertama kali bertemu dua tahun lalu. Ia baru saja selesai pertemuan (kalau tidak salah Karina-Caritas Indonesia). Kuantar ia ke kantornya Mbak Ibnurini di Jl. MT Haryono.

Aku ingat ketika ia mengirimkan komentar atas bukuku.

Review dari B. Slamet Lasmunadi, Kebumen

Lini, menurutku buku ini memiliki “makna belajar”:

1. Belajar untuk “menerima sejarah hidup” dengan suka dan dukanya.

Membaca tulisanmu itu mengasyikkan tapi sekaligus membuat jantungku berdebar karena baru kali ini aku membaca sebuah “kisah pengakuan sejarah hidup”: entah yang terang dan gelap, dikemas dalam sebuah buku “sejarah”. “Life is opened”, membutuhkan kerendahan hati, siap untuk diremehkan, siap untuk ditolak, bahkan siap untuk dinilai “buruk”. Keberanian untuk menyingkapkan “diri pribadi” itu, rasa rasaku itulah sebuah wujud “penyaliban diri” karena tidak ada gengsi yang dipertahankan, tidak ada lagi kesempatan untuk mencari “pujian” dan juga tidak lagi “ada kesempatan untuk dikatakan orang saleh”.

2. Dengan menulis “My life is open”, rasaku itu sebuah pengalaman untuk ‘belajar mati”. Mematikan diri, yakni tidak lagi mempertahankan dan mencari cari “segala yang istimewa”. Dengan tulisanmu, dirimu dinilai apa adanya, tidak butuuh lagi penilaian…alangkah indahnya, buku itu pun menjadi sebuah “kisah kasih bagi Tuhan” dalam hidup doamu.

3. Dengan menulis “kisah hidup” yang terang dan gelap itu, aku merasa tergerak untuk belajar “berlatih’ tidak perlu membela diriku dengan masa suramku…Itulah pelatihan yang membuat orang bisa “belajar realistis” dalam hidup: belajar untuk juga tidak mencari kesalahan orang lain, melainkan malah belajar “mencari kesalahan dalam diriku” agar aku tahu manakah yang harus kuubah.

4. Menulis “sejarah hidup’ akhirnya menjadi ungkapan iman penuh syukur kepada Tuhan, meski ada kegelapan dalam hidup ini, toh Sang Terang itu tetap bernyala, kecil api itu barangkali, namun tetap bisa membuat panasnya badan, agar bertahan dalam situasi dunia yang penuh ‘manusia dingin’, tidak bergairah untuk hidup.

5. Rasaku, siapapun yang terliibat dalam hidupmu, akan ikut bahagia, “aku menjadi bagian sejarah hidupmu”..ternyata “kegelapan pun bisa menjadi terang” bagi orang lain…bukumu yang “opened’ itu tentu akan memberi inspirasi banyak orang yang gagal, dan takut menerima diri.., dan tulisanmu menguatkan aku juga sebagai imam, hidup itu “belajar apa adanya’!

Lini. selamat ya…aku ikut bahagia…campur berdebar…dan campur terharu… karena …. aku…. (dalam batin…)

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Kebumen, Jawa Tengah

Aku ingat ketika kami kerap chatting malam-malam.

Aku ingat ketika kami kerap berkirim pesan singkat.

Aku ingat ketika ia meneleponku untuk membantu Ratna Ariani membuat blognya.

Aku ingat ketika ia marah padaku tanpa alasan yang jelas. Mungkin saat itu asma atau asam uratnya sedang kambuh.

Aku ingat ketika ia bergabung dengan Yuk Nulis!

Aku ingat pernah marah padanya soal penyakit asam uratnya yang kerap kambuh setahun lalu. “Romo, kalau ada umat yang masakin pakai santan ya ditegor dong!”

“Lini, namanya umat sudah capek masak, ya diterima aja. Menghargai gitu.”

“Ya gak bisa! Kalau umat mau Romonya sehat harus tau Romonya pantang apa. Kalau mau Romonya sakit itu lain soal!”

Sejak itu, aku tak pernah bahas lagi soal asam uratnya.

Aku ingat ketika tahun lalu mudik Natal dan mengajaknya makan bakmi paling top se-Purwokerto, bakmi kegemarannya sejak kecil. Saat itu Rm. Slamet sudah pindah ke Purwokerto.

Aku ingat ketika akhir Juni lalu bertemu dengannya di rumah duka di Purbalingga saat pemakaman Tantenya Danny. Kami berbincang cukup lama. Kutanyakan lagi soal asam uratnya.

Aku ingat ketika mengirimkan naskah buku “Surat Cinta buat Gembala”.

Salah satu semangat hidup yang saya terima dari umat adalah pengakuan bahwa saya masih manusia yang berada dalam proses “menjadi” imam yag sejati. Buku ini rasanya memaparkan berbagai sisi hidup seorang imam dari kacamata umat, yang memandang imamnya “secara manusiawi”. Saya yakin buku ini sangat inspiratif dan tetap segar, agar dengan membaca buku ini, para imam pun tertantang untuk tetap memiliki harapan meski jatuh-bangun mengusahakan kesetiaan terhadap panggilannya. (Blasius Slamet Lasmunadi, Pr. Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Purwokerto)

Aku ingat, lebih dari ingat, kami—POLAR (Panjikristo, aku, Anang Yb, Rini Giri)—belum sempat mengirimkan buku “Surat Cinta buat Gembala” untuknya.

Romo Slamet,

Maaf aku pernah marah padamu.

Maaf aku pernah membuatmu marah padaku.

Maaf kami belum sempat mengirimkan buku untukmu.

Kami kehilangan wajah ceriamu.

Kami kehilangan semangat rendah hatimu.

Kami kehilangan serial Jerawati dan Panurata-mu.

Masih banyak dari kami yang ingin bertemu muka denganmu.

Masih banyak dari kami yang ingin berbuat sesuatu bersamamu.

Masih banyak dari kami yang ingin berdoa bersamamu.

Bagi para gembala yang telah mengabdikan hidupnya agi para domba hingga akhir hayat, rengkuhlah mereka dalam pelukan kudus-Mu di kehidupan kekal.

(Doa untuk Para Gembala, dari buku Surat Cinta buat Gembala oleh POLAR)

Rm. Blasius Slamet Lasmunadi, Pr. Meninggal hari ini, Jumat, 13 Agustus 2010 jam 21.30 di RS Elisabeth Purwokerto dalam usia . Misa requiem dilakukan hari Senin, 16 Agustus 2010 jam 10.00 di Katedral Purwokerto. Jenazah dimakamkan di Kaliori, Purwokerto.

Tidak ada komentar: