WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Sabtu, 25 September 2010

Haruskah pasangan suami isteri, orang tua & anak, berkomunikasi satu dengan yang lain?

oleh Blasius Full pada 14 Januari 2010 jam 9:07

Sahabat-Sahabatku, 

Haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu berkomunikasi, berdialog satu dengan yang lain? Pertanyaannya sama, haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu saling mencintai? 

1. Komunikasi itu pilihan bukan keharusan
"Keharusan" itu sebuah istilah untuk menunjukkan "paksaan yang begitu kuat datang dari luar pribadi, dan saya terpaksa melakukannya karena tidak tahan berada dalam tekanan! Mencintai, termasuk, komunikasi, bukanlah sebuah tindakan yang datang dari luar, melainkan tindakan yang lahir dari kedalaman batin. "Kedalaman batin" itu tidak lain adalah "suara hati" yang sudah kaya dengan berbagai macam nilai yang begitu mengesan sehingga suara hati itu menggerakkan orang untuk proaktif: inisiatif keluar dari dirinya sendri. "Keluar dari diri sendiri" itu berarti kesediaan untuk memikirkan pertumbuhan orang lain: apa masalah yang sedang dihadapinya, kesulitan apa saja, yang bisa dibantu; manakah kebutuhan hidup yang bisa disokong bersama dan seterusnya. "Keluar dari diri sendiri" itu tidak lain, tidak menggunakan "kacamata diri sendiri" untuk menilai orang lain, melainkan temuilah orang itu, dan kalau boleh, bertanyalah, agar engkau menemukan kesempatan untuk terlibat. Itulah inti komunikasi: keluar dari diri sendiri: mulai dengan senyum, menyapa, bertanya, murah hati: apa yang bisa kubantu. Sapaan itu akan menciptakan relasi yang memungkinkan orang lain, juga tidak sungkan untuk terlibat dalam hidup kita.

2. Menciptakan kesempatan untuk terlibat
Menciptakan kesempatan untuk terlibat, sebenarnya salah satu bentuk ketrampilan komunikasi dalam perkawinan dan keluarga. Komunikasi yang menciptakan kesempatan itu berpangkal dari kesediaan untuk mengungkapkan perasaaan sendiri secara jujur, dan belajar untuk menanggung resiko juga ditolak. Misalnya begini, ungkapan hati seorang istri, "Mas, pagi ini, aku merasa tertekan dan terbebani untuk bangun pagi dan masak. Meskipun aku tahu, itulah tugas yang mesti kulakukan. Tapi mengapa rasanya, pagi tadi aku merasa sangat terpaksa, dan merasa beban banget!" 

Mendengarkan "ungkapan" perasaan isteri begitu, tanggapan seorang suami "A" bisa begini, "Kapan kamu mau bergairah dan bersemangat untuk bangun pagi dan masak! Siapa yang menekan, siapa yang memaksa? Aku pun tidak memaksamu, dan tidak melarangmu untuk bangun siang. Salah siapa, kok kamu bangun pagi dan masak, padahal aku juga tidak pernah mengatur ini dan itu! Jadi isteri kok seperti diawasi, jangan jangan luka batin dengan ayahmu, tapi malah aku yang seolah olah jadi sumber masalahmu". Apakah reaksi seorang isteri yang perasaan hatinya dikomentari ketus begitu? Bisa membayangkan sendiri, kan?

Suami "B" mungkin menjawab begini, "Iya Dhe, saya bisa memahami kalau kamu tertekan atau terpaksa, meski tidak ada siapapun yang memaksa. Aku pun tidak memaksamu. Pekerjaan rumah tangga itu tiap hari ada dan membosankan. Wajarlah kalau engkau merasa bosan, jenuh, apalagi mungkin karena kerja sendirian. Bisa jadi aku malah yang keliru, karena aku bangun jam 6.30 sementara dirimu sudah bangun 4.30. Saat dikau repot, aku malah tidur ya..!" Apa kira kira tanggapan isterinya? 

Saya yakin, tanggapan suami "B" akan sangat membuat hati itu nyaman dan merasa dicintai, karena "Suami B" itu tidak menyalahkan, melainkan memahami, malahan berusaha untuk mengakui diri, bisa jadi dirinya juga bersalah karena bangun kesiangan. Ungkapan hati isterinya menjadi sebuah teguran, tapi sekaligus juga membuat suaminya tahu, manakah kesempatan untuk mengasihi istrinya, yakni "zonakritis ": pada pagi hari: menyiapkan makanan, menyelesaikan pekerjaan RT yang semalam tertunda, dan belum lagi ank-anak juga butuh persiapan sekolah dst.

Semakin kita berani mengatakan "perasaan yang sedang kritis", kita akan belajar menciptakan kesempatan bagi orang lain untuk tumbuh. Di sisi lain, pasangan hidup itu mesti tertantang untuk menanggapi dan mengatasi zona kritis itu. Bahkan bisa jadi zona kritis itu terjadi karena sikap pasangannya yang kurang mendukung. Dengan kata lain, kesulitan pasangan hidup, atau kesulitan anak-anak tidak selalu bersumber dari mereka sendiri, melainkan juga bisa jadi karena "aku" terlibat mempersulit hidup orang lain. Bagaimanakah kita mampu jadi orang yang mempermudah hidup orang lain?

3. Mempermudah hidup orang lain (jadi fasilitator)
Agar kita mampu jadi fasiltator bagi orang lain, baiklah kita belajar untuk "mengatakan perasaan hati kita sejujurnya pada pasangan hidup dan anak-anak". Namun juga belajar untuk memahami perasaan orang lain yang sedang terluka, kecewa, bosan dst, tanpa menghakimi dan menyalahkannya! Akan tetapi belajarlah untuk menempatkan diri dalam suasana hati orang lain, dan lebih baik mengatakan, "bisa jadi aku juga ikut bersalah", daripada mengatakan, "Susah atau senang kan dibuat dirimu sendiri, kok malah aku yang disalahkan!" Ungkapan yang terakhir itu tidak akan menyuburkan komunikasi, malahan akan memperparah komunikasi. Iorang yang masih mencari kesalahan orang lain, itulah orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Padahal, hanyalah orang yang sanggup merumuskan perasaannya sendiri dengan baik, akan mampu untuk memahami perasaan orang lain.

Semoga ada banyak keluarga, pasutri, orang tua dan anak yang tumbuh subur relasinya karena mampu mengolah perasaan hatinya menjadi kesempatan terindah untuk terlibat dalam hidup satu sama lain.

Tidak ada komentar: