WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Jumat, 27 Agustus 2010

Warung Mie Ayam "Geulis"


Feb 6, '10 12:06 AM
untuk
Hari ini, Sabtu, Panurata tidak ke kantor CU Cikal Bakal, tapi menyempatkan diri jalan jalan pagi sendirian. Sementara Judesanti isterinya ada di rumah. Panurata berjalan ke arah alun-alun kecamatan Gemah Ripah. Di seberang jalan alun-alun, ada penjual mie ayam yang rasanya "yahuuut"! Lalu mampirlah Panurata di warung mie ayam, namanya "Geulis" itu. "Bu, langsung 2 mangkok, es jeruk tanpa es satu ya!" Penjual mie ayam itu, Ibu Geulis, langsung menyahut, "Mang, kok es jeruk tanpa es, kumaha atuh? E jeruk gitu?” Panu tertawa, “Iyaaa maaf, Bu, soalnya kebiasaan nih, ngeledek teman!”



Tiba tiba ada suara wanita yang menyahut juga, “Uuuh, dasar Panu, rasain kalau suka usil! Pesen minum tuh yang bener!” kata wanita itu. Panurata membatin, “Kok kayak suara Jerawati!” Panurata menoleh ke sebelah kanan gerobak mie ayam, “Oaaaalah, ternyata dikau, Jerawati! Yeee, kok juthek banget sih!” Sahut Jerawati, “Biarin, emang kalau aku nggak juthek, terus penting buatmu apa?” Balas Panurata, “Aduuuh, marah euy? Dirimu tetap penting buatku, meski juthek begitu!” Jawab Jerawati, “Dengarkan ya, tidak ada sekarang ini jamannya ngeleees! Adanya sekarang itu jaman juthek…!” Sahut Panu, “Iyee, kenapa sih, kok sewot banget, mau makan mie ayam sekalian, atau pesen mie nih?” Balas Jerawati, “Mau makan, atau pesen, kan bukan urusanmu, want to know banget sih?” Panurata masih bisa tersenyum, “Ampyuuun, Jeng! Kalau begitu, aku yang traktir ya!” Jerawati mulai turun otot jidatnya, “Iyee, thanks sobat!”



Panurata lalu mengajak Jerawati duduk, “Jeng, duduk sebentar, ya, 5-10 menit, temani aku makan mie nih!” Jerawati tidak menjawab, tapi langsung duduk, dan bertanya, “Kenapa minta ditemenin, kangen ya?” Panurata langsung “jaim”, “Yeee, nggaklah, emang penting kalau aku kangen?” Balas Jerawati, “Yee, GR amat, aku kan cuma tanya, kangen ya? Kalau dikau kangen dengan diriku, emang aku harus juga kangen denganmu? Tak usaaaah, sorry…! Nggak level tauuuu!!” Panurata bengong, “Haaah, terus ngapain dirimu tanya, kangen segala?” Jawab Jerawati, “Emang dilarang hukum apa, kalau aku hanya sekedar bertanya? Coba dengarkan lagunya BCL Tentang Kamu, emang pertanyaan itu harus dijawab?” Balas Panurata, “Tentang Kamu? Lagunya BCL, Bunga Citra Lestari?” Sahut Jerawati, “Nah, tahu kan?” Coba deh, dengarkan ringtoneku!” 

Panu tergoda untuk menanggapi Jerawati, “Jeng berapa no hpmu?” Jawab Jerawati, “satu dualima, dua limapuluh, tiga tujuh lima”. Panurata kaget, “He, itu nomer cantik apa?” Jawab Jerawati, “Iye cantik kan, secantik yang punya hp!” Panurata ngakak, “Uuuh,…dasar narcissss…!! Bener nggak nih nomermu?” Jerawati dengan mantap menyahut, “Ya bener dong! Coba miscall aku dengan teriak saja, “satu dualima, dualimapuluh, tiga tujuh lima!” Dan teriaklah Panurata, “Satudualima, dualimapuluh, tigatujuhlima” Lalu terdengarlah lagu BCL, “Bagaimana bila akhirnya ku cinta kau. Dari kekuranganmu hingga lebihmu. Bagaimana bila semua benar terjadi. Mungkin inilah yang terindah.” Panurata terkejut, “Haaah…tadi kamu yang nyanyi?” Jerawati cuma nyengir, “Bagus kan, suaraku? Aku rekam suaraku dengan MP4. Jadi tinggal klik, langsung deh HPku bunyi. He he he” Panurata hanya tertawa, “Ehm gitu ya caranya pamer suara?” Jawab Jerawati, “Iya…tapi ingat aku cuma bertanya, tidak butuh jawabanmu. Okey?” Balas Panurata, “Yee, GR banget sih, nggak usah merasa deh, kalau aku mau menjawab pertanyaanmu! Mau bertanya begitu saja, pinjam pertanyaannya BCL! Nggak intelek gitu!” 

Jerawati tidak mau kalah! “Yee, biarin, aku cuma bertanya, dan pertanyaan itu tidak selalu harus dijawab.” Panurata balik bertanya, “Lalu siapa yang jawab pertanyaan BCL itu?” Sahut Jerawati, “Yah, tanya lagi, dirimu sudah menjawab pertanyaan BCL atas nama Judesanti kan? Pertanyaanku juga sudah dijawab Trimbil!” Panurata lalu kelihatan kalah, “Iya deeeh…yang sudah bahagia bersama Kakanda Trimbil!!” Sahut Jerawati, “Untung banget deh, aku nggak jadian dengan dirimu. Kalau jadi, yaa..bisa tiap hari cuma sarapan mie ayam terus!” Panurata protes, “Haah, aku jauh lebih untung tau, kalau aku jadian dengan dirimu, aduuuh…hujan local terus tiap hari. Sia sia memberi makan buatmu, tidak jadi daging tapi malah energimu habis untuk judes terus. Meski isteriku namanya Judesanti, tapi dia lebih lemah lembut daripada dirimu!” Jerawati kelihatan mukanya merah, “Uuuh…dasar Panu, kapan sih panumu nggak rata!?” 

Mendengar percakapan mereka berdua, Ibu Geulis tidak tahan untuk nimbrung, "Aduuh, kalian ini sudah berkeluarga kok kayak ABG saja sih! Kalian berdua dulu teman sekelas?" Sahut Jerawati, "Iya Bu, Panurata ini teman sekelasku, tapi usil banget, suka ngumpetin sepatuku, dibawa pulang!" Bu Geulis lalu ingat, "Oh ini Panurata, anaknya Pak Jidat dari kampung Loh Jinawi, bukan? Aduuh, sekarang kumisnya tebal banget?Dulu mah bersih, tanpa kumis!" Jawab Panurata, "Iya bener, Bu! Wah Ibu jadi tahu dong masa kecilku?" Sahut Bu Geulis, "Iya, aku berarti tahu, dulu kamu usil banget, Bapak Ibumu sering cerita. Sekarang kumis tebal begini, kasep pisan euy!!" Panurata tersenyum bangga. Jerawati pun tak tahan untuk iseng, "Wakakakak, GR pisan euy, dibilang kasep pisan. Padahal aku kan paling tidak suka pria berkumis, Bu!" Jawab Bu Geulis, "Iya masing masing pria & wanita itu punya kelebihannya tidak boleh saling membenci. Neng, jangan membenci kumis ya!" Panurata pun merasa dibela, "Iya tuh dengerin nasihat orang tua! Jangan membenci kumis! Kumis itu nggak bersalah, kan Bu! 

Bu Geulis lalu mengalihkan pembicaraan, "Iya sudah, sekarang Ibu pingin dengar cerita, tentang kamu Neng. Panurata langsung komentar, " Bu, Jerawati tuh ampyuuun banget lho! Masakan cewek usil banget, Bu! Suka pasang permen karet itu di bangku, kalau di buku catatanku! Padahal kan permen karet sudah dimakan, dikunyah-kunyah, basah air liurnya lagi!" Ibu Geulis tertawa, "Waaah..ternyata seneng ya jadi anak anak nakal! Boleh dulu nakal, tapi sekarang boleh nakal juga, asalkan jangan marah kalau diledek & diusilin. Sahabat itu sampai kapanpun tetap sahabat, kok!" Jawab Jerawati, "Iya Ibu...besok aku ke sini lagi ya Bu, dapat discount kan?" Panurata juga ikutan, "Iya Bu, aku besok siang ya ke sini lagi, gratis kan Bu?" Jerawati sewot, "Yeee, CU-MI, beli dong!!" Panuta tidak terima, "Kamu sendiri saja beli mie ayam minta discount, kan payah banget! Mendingan aku, nggak malu malu, minta gratisan!" Bu Geulis menyahut, "Iya sudah, buat kalian berdua gratis, tapi sebulan sekali ya!" Panurata & Jerawati serentak protes, "Yaaah, Ibu!" 

Jerawati lalu berdiri, "Iya deh Bu, nggak akan minta discount he he he!" Panurata menimpali, "Iya Bu, besok aku akan bayar dua kali lipat ya!" Mereka berdua lalu pamitan. Jawab Bu Geulis, "Iya, makasih banyak ya, jangan kapok ke sini, dan jangan kapok bayar ya!" Jerawati dan Panurata tertawa, "Waah,Ibu bisa aja!!" Panurata pun pamit pada Jerawati, " Thanks ya…sudah menemaniku makan pagi!” Sahut Jerawati, “Iyee, thanks, besok kirim mie ayam ke rumahku ya!” Jawab Panurata, “Inggih, Ndara Putri!” Mereka berdua lalu pergi ke arah berlawanan, pulang ke rumah masing masing untuk malam minggu sendiri sendiri.

Kamis, 26 Agustus 2010

Menanam sebuah "pohon" dalam diriku


Mar 4, 2008
Apa artinya menanam sebuah pohon? Dari manakah bibit itu kan kudapat. Kira-kira pohon apakah yang bisa menjadi berkat bagi saudaraku? Barangkali orang membutuhkan agar dalam diriku tumbuh pohon kesempatan, a tree of chance, di mana orang memiliki kesempatan yang makin utuh, untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan pohon itu, semoga makin banyak orang dapat kubantu mencari "kesempatan" untuk berkembang, juga kalau "kesempatan" itu rasanya pahit, bentuknya tidak bagus, bahkan kadang menyakitkan. Bibit pohon itu hanya dimiliki oleh Bapa, yakni Roh Kudus yang menjiwai setiap orang karena Yesus yang bangkit. Maka a tree of chance itu sudah ditanam bibitnya dalam hatiku dan hatimu. Karena itu, marilah hidup untuk menciptakan kesempatan yang memungkinkan satu sama lain tumbuh makin sempurna!

Pizza Hut: benarkah menyegarkan relasi?




Nov 4, '08 5:21 PM
untuk
Belum lama ini, sahabatku begitu ceria. Harapan yang dinantikan akhirnya terjadi juga. Jerawati namanya. Begitulah, tidak menyangka, relasi dengan Panurata akhirnya kembali segar, meski  masih ada senyum kecut di bibirnya yang tebal.! Relasi itu kembali segar, sejak Jerawati mengirimkan Pizza Hut kesenangan Panurata!

Namun benarkah, Pizza Hut itu meluluhkan hati Panurata yang sempat dendam pada Jerawati? Kalau begitu, rendahkah harga diri Jerawati, sehingga ia dimaafkan karena kirim Pizza? Ataukah Pizza itu memberikan "kegembiraan" untuk Panurata yang sedang kesepian? Menurutku kalau itu benar benar terjadi, nilai pengampunan hanya diukur materialistis banget...jangan jangan senyum itu senyum matrek. Orang mengampuni kok karena hobbynya dipenuhi...Waaaah! Atau biarlah meski matrek, toh akhirnya bisa tersenyum?

Rasa-rasanya...Jerawati tetap "diacungi jempol" karena ia tidak lagi gengsi untuk memberi pizza itu kepada Panurata meski  rasanya "sakit hati" itu belum sungguh sungguh hilang. Namun, itulah sebuah usaha yang luar biasa untuk "membuat komunikasi" tercipta kembali. Dia berharap, pizza itu menjadi sebuah "tali kasih" yang menyambung kembali relasi yang sudah terpatah terpatah. Itulah tanda Jerawati mulai matang sebagai pribadi.

Begitulah juga harapan untuk Pannurata. Semoga Panurata tidak mengampuni hanya gara gara  hanya diberi pizza itu, tapi ia mengampuni dengan tulus hati..Dengan tulus hati itu, berarti ia tidak lagi memandang Jerawati dengan kacamatanya sendiri. Ia tidak lagi menghakimi, melainkan percaya bahwa orang yang bersalah itu mampu tumbuh dan berkembang makin baik!

Bukankah Tuhan memberikan wewenang kepada manusia untuk mengampuni, "Ampunilah dosa kami seperti kami pun mengampuni sesama kami!"

Have a nice today!


Sabtu, 21 Agustus 2010

Jangan pernah lelah untuk mencintai sesama

August 21, 2010 - Posted by kang tajib
undefined
Ba’da Salah Tarwih, 20 Agustus 2010, di pelataran rumah saya,  di pinggir sawah. Enampuluhan teman dari berbagai (latar) agama dan mazhab duduk melingkar saling bergantian menyampaikan pengalamannya pernah berteman dengan Romo Slamet yang beberapa waktu lalu dipanggil Tuhan..
Romo itu orang yang jujur dan tekun, kata Romo Sumanto. Dia berjuang untuk bisa jadi romo, dan selalu  gagal. Tapi karena kejujuran dan ketekunannya, dia akhirnya sukses. Sepanjang umurnya, dia abdikan hidupnya untuk pelayanan umat. Dan dia pun bisa mepertanggungjawabkan semua model pengabdian itu.
Romo itu orang yang susah dipahami, dan kami yang telat mikir baru paham setelah kejadian, kata Atmaji. Contohnya dalam pembuatan dekorasi suatu acara. Biasanya kami hanya membikin dengan kertas atau gabus. Tapi romo menginginkan yang aneh-aneh, seperti pake daun ini dan itu, pohon ini dan itu. Kami pikir itu terlalu berlebihan. Tapi begitu jadi, romo menceritakan mengapa mesti demikian. Bahwa dekorasi pake pohon-pohon itu akan bisa menjadikan kita lebih mencintai alam.
Romo juga seorang yang tidak mempedulikan dirinya bila membantu orang lain. Wawan menceritakan dirinya saat acara di tempat yang dingin. Romo itu punya penyakit asma, dan ketika itu  sedang parah-parahnya. Tapi ketika kami tanya apa romo bisa membantu kami di acara itu, romo bilang siap tanpa mempedulikan kesehatannya.
Romo itu hidup bukan di dunia yang penuh dengan tepuk tangan, tapi totalitasnya dalam melayani  umat luar biasa. Tokoh agama lain perlulah belajar banyak dari beliau. Saya salut walau saya tidak banyak bergaul dengan dirinya, kata abduh dari Muhammadiyah.
Semangat berbagi romo luar biasa. Saya kira cuma saya yang banyak diberi ilmu oleh beliau, kata Ari, eh ternyata semua orang memang diberi hal serupa. Iin juga membenarkan semangat berbagi itu dalam kontek pendidikan anak dan keluarga. Juga Supra menjelaskan pengalaman tentang pelajaran mengenai analisa masalah yang dipelajari dari romo.
Romo itu orang yang luar biasa, walau pun dia Katolik dan saya Muslim tapi saya merasa dia sebagai bapak saya sendiri, kata Supra.
Dan banyak lagi pernyataan teman-teman di malam itu. Teman-teman tidak hanya katolik, tapi juga Muslim dan lainnya. Pernyataan berupa pengalaman setelah berteman dengan romo Slamet. Yang meninggal beberapa hari lalu, di umurnya yang masih muda, 42 tahun. Dan mereka merasa kehilangan dengan berpulangnya romo ke pangkuan Tuhan.
Ya, acara yang dimoderatori kang kholid itu memang untuk mengenang Romo Slamet. Seorang katolik yang hidupnya, khususnya saat di Kebumen antara 2004-2009, tidak pernah membuat sekat-sekat keagamaan dalam mencintai sesama. Ya, romo adalah orang yang tanpa lelah sepanjang hidupnya, khususnya saat di Kebumen, untuk mencintai sesama. Cinta yang diujudkan dalam bentuk memberdayakan orang-orang di sekitarnya.
Acara bertajuk “Jangan Pernah Lelah untuk Mencintai Sesama” malam itu ditutup dengan doa, untuk kedamaian romo juga untuk semua yang hadir agar mendapatkan semangat untuk bisa melajutkan semangat romo, untuk terus jangan lelah mencintai sesama demi hidup yang lebih bermartabat. Amin.

Jumat, 20 Agustus 2010

Makan Bersama

Posted by andrie in Rm. Blasius Slamet Lasmunadi Pr on 02 3rd, 2009


Hari Minggu siang yang lalu, Trimbil dan isterinya berkunjung ke rumah Panurata. “Thok-thok-thok….” Trimbil mengetuk pintu rumah sahabat karibnya sejak SD Wara Wiri di Kutoageng. “Mangga, mangga….Waah…janur gunung Mas….!”sapa Panurata dengan penuh senyuman menerima tamunya, yang datang jauh jauh dari tetangga desa Wara Wiri. “Iya Mas, ini kebetulan kan minggu, apa salahnya kami berkunjung!” balas Mas Trimbil. Lalu Judesanti, isteri Panurata pun ikut keluar, “Weeeelaaah…Jeng Jerawati …tumben…kumaha damang?” Jerawati pun membalas dengan logat Sundanya, “Pangestu, Jeng.! Ngomong-ngomong, kita pakai Indonesia saja ya…kasihan Mas Trimbil dan Panurata nanti tidak tahu bahasa kita..ha ha ha…! Mereka mah jawa pisan..!” Panurata, tuan rumah agak tidak terima, “Iye iye….kita mah masih Jawa tulen…masih tinggal di Jawa eh…ngatain kita Jawa banget…yeeee!!” Mereka berempat pun lalu tertawa bersamaan. Lalu Panurata tiba-tiba mengajak mereka makan, “Yuk kita ngobrol sambil makan saja…! Ibu sudah menyiapkan Ayam kampung rasa jahe..!” Trimbil dan isterinya saling berpandangan, “Haah..ayam jahe?” Judesanti memandang Trimbil dan isterinya yang kelihatan heran…”Kok makan ama ayam jahe?” Trimbil pun memberanikan diri bertanya, “Mas Panu, bener tuh ayam dimasak pakai bumbu jahe saja…? Mas Panu tidak mau menjawab, tapi melempar pada isterinya, Judesanti, “Bu, tolong dijelaskan…siapa tahu mereka akan buat ayam jahe juga..lho nanti dan kita tinggal makan he hehe”.”Iya Mas,” seru Judessanti “Begini lho, resep membuat ayam jahe.
“Ayam jahe ini ayam kampung biasa. Setelah dicuci dibersihkan lalu dikeringkan di atas api sebentar. Enaknya pakai api arang, tapi ya…kalau mau praktis…pakai api kompor gas juga boleh deh..daripada pakai kompor minyak..kan minyaknya dah habis…!”…Lalu setelah nggak basah, ayam ini direndam dengan arak merah, terbuat dari sari tape ketan. kira kira…sampai 3 perempat botol…nah satu ayam sedang ini diberi bawang putiih 10-15 siung besar, yang ditumbuk kasar. Setelah itu berilah jahe 3 potongan besar, tapi jahe itu dibakar dulu, biar keluar minyaknya.! Kalau mau sedap lagi, berilah 3-5 potongan pangkal serai yang sudah ditumbuk kasar. Setelah itu, taruhlah ayam yang direndam arak itu dengan bumbu tadi, tempatkan di panci kecil atau mangkok besar, dan kukuslah sekitar 45 menit. Setelah itu angkat lalu makanlah dengan sambal kecap ..!”
Panurata pun lalu menyahut, “Nah, setelah mendengar penjelasan juru masak kita, kita cicipi ya..” Trimbil pun lalu menyela, “Mas, doa dulu dong!” Dengan sigapnya Judesanti pun lalu tanggap, “Iya Pak …lupa neh…mari kita berdoa,”Tuhan terimakasih atas perjumpaan kami siang ini, berkatilah makanan ini agar menguatkan kami untuk memuliakan nama-Mu. Demi Kristus pengantara kami!” Lalu mulailah mereka makan bersama.
Di tengah makan, Trimbil pun membuka pembicaraan, “Wah..Mas Panu, ternyata enak juga ya masakan isterimu…meski daging ayam ini tidak asin, tapi rasanya ehmm panas jahe dan nikmat ..! Jerawati pun tidak kalah memuji Judesanti, “Wah…enak pisaaan…!” Judesanti tersenyum bangga, “Iya makasih lho pujian Mas Trimbil dan Jeng Jerawati..saya jadi maluuu, tapi biasa saja kok!” Panurata pun menyela, “Inilah namanya makan bersama, kan?” Trimbil pun tidak begitu saja mengiyakan, “Lho,kita kan sudah makan bersama…lha biasanya…apa kita nggak makan bersama? Apa bedanya di sini dan di rumah sendiri? Apa bedanya makan dengan keluarga sendiri dan dengan keluarga orang lain?” Jerawati mulai mencoba berpendapat, “Gini lho,Mas, maksudnya, makan bersama itu ya pasti gembira, apapun yang kita makan ini sederhana, tapi hati ikut bergembira…! Coba kalau kita makan di rumah, kan kita sering diam, dan jarang tertawa seperti sekarang, kan?” Trimbil melotot, ‘Wah…jangan buka kartu gitu dong..itu rahasia keluarga!” Jerawati nggak mau kalah, “Pak, mumpung ada contoh yang baik bagaimana makan bersama…kan kita bisa juga makan bersama dengan gembira!” Panurata pun ikut tersenyum, “ya sudah, kok malah perang dunia, nanti saja di rumah kalau mau perang dunia he he he!” Judesanti juga mulai menambah pendapat Panurata, “Begini lho, kita itu berusaha gembira, karena ya…ini semua kan rejeki dari Tuhan, Pak, makin sederhana kita memasak, makin kita merasa hidup itu penuh anugerah, tapi kalau kita pinginnya masak yang bumbunya serba enak, lha nanti kan kita malah nggak bisa gembira.!” Trimbil lalu menyahut, “Bener Jeng, nanti saya coba akan bergembira kalau makan bersama dengan isteriku tercinta ini, karena yang masak bukan tetangga sebelah, tapi karena isteriku! Panurata mengiyakan, “nah begitu dong…jadi bergembiralah waktu makan bersama, jangan dilihat sayurnya, tapi siapa yang diajak makan, dan siapa yang mempersiapkannya…!
Tanpa terasa, mereka sudah kekenyangan makan siang, apalagi ada es buah. Tapi waktu sudah jam tiga siang. Trimbil pun mulai pamitan, “Mas Panu dan Jeng Judes, kami mau pamit, terima kasih sudah bisa makan bersama dengan gembira, dan yang penting dapat resep baru..ayam jahe..!” Mas Panu pun membalas, “Iya terima kasih banyak sudah berkunjung, saya pun jadi ikut gembira…padahal tadi pagi baru saja isteri saya ini marah marah!” Judesanti lalu menyela, “Wah…Mas..jAwas! Jangan memulai peperangan!’ Pak Trimbil dan Jerawati tertawa mendengarkan omongan Juedesanti, “Jeng Judes lho, aya aya wae!” Panurata hanya tersipu sipu malu, “Begitulah, isteri saya ini..pinter masak sih, tapi…” Trimbil lalu jadi penasaran, “Tapi apa to….?” Jerawati menepuk punggung suaminya, “Sudah Pak, nggak usah ingin tahu…rahasia keluarga !!” Panurata dan Judesanti hanya tersenyum..! Mereka pun berjalan sambil keluar jalan mengantar tamu mereka
Minggu itu, berakhir dengan kegembiraan untuk keluarga Trimbil Jerawati dan Panurata Judesanti. Moga moga makan bersama memang menjadi kegembiraan bukan tekanan!

ROMO BLASIUS SLAMET YANG KUKENAL



Ditulis Oleh paulus suminarto   

Image















 

Mgr Julianus Sunarka memimpin misa requiem.


Yayasan. Suasana duka terasa dalam Perayaan Misa Requiem untuk mendoakan jenasah Romo Blasius Slamet Lasmunadi Pr. Misa Requiem yang dipimpin langsung oleh Mgr Julianus Sunarka didampingi oleh Pst Siswantoko, Pr (Pastor Paroki Katedral) dan Pst Boni Abas (Pimpinan Dekanat Tengah) dihadiri oleh para pastor, rohaniwan-rohaniwati, umat yang berasal dari dalam dan luar kota, serta banyak  para pelajar dari SD-SMP-SMA Bruderan dan SMP Susteran, sehingga tidak tertampung seluruhnya di dalam gedung gereja. Di awal misa, Mgr. Julianus Sunarka mengingatkan pentingnya bersyukur atas usia yang diberikan karena kita memiliki waktu untuk menyempurnakan diri. “Kenapa Saya, Romo Yohanes, Romo Carolus, Romo Hadi, Romo Kirdi yang sudah tua-tua ini bukan yang dipanggil Tuhan? Apa artinya?” tanya Monsignour dalam kata pembukaannya.
Image
Romo Blasius Slamet saat misa di salah satu lingkungan.

Lebih jauh dalam kotbahnya, Bapak Uskup Purwokerto itu mengungkapkan keteladanan dari Pribadi Romo Slamet yang perlu direnungkan bersama. Ada tiga hal – menurut Mgr Sunarka - yang patut diteladani dari Romo Slamet ini. Pertama, Romo Slamet adalah teladan bagi orang yang tidak pernah mundur dalam menggapai cita-cita. Berulang kali Romo Slamet gagal melanjutkan studi imamatnya selama di seminari. Namun, dia tidak pernah mundur, bahkan terus berusaha dan akhirnya tercapai. “Uskup Paskalis yang mau menerimanya bisa dikatakan menjadi titik terang bagi Romo Slamet.” kata Mgr Sunarka. Kedua, Romo Slamet adalah teladan dalam ketaatan dan kesetiaan melaksanakan tugas perutusanya. “Romo Slamet melaksanakan tugas itu dengan memanggul salib yang berat. Tidak jarang ia berbicara dengan saya secara pribadi akan arti pentingnya tugas yang Saya berikan untuk mewartakan kabar gembira. ” kata Uskup.  Ketiga, teladan dalam perjuangan seorang imam dalam menghayati selibat/kemurnian yang memang tidak mudah, karena harus selalu berusaha menolak hawa nafsu.

Image

Anak-anak SMP Susteran bersiap mengikuti misa requiem didampingi Sr Renildis, OP dan bapak Ibu guru.

Kepergian Romo Slamet meninggalkan duka bagi semua yang mengenalnya. Ia adalah sosok pribadi seorang imam yang sederhana dalam sikap, rendah hati, dan tulus dalam pergaulan dengan siapapun juga. Hal ini terungkap dari pengalaman Mrs. Irma – salah seorang guru TK St Yosep – yang beberapa hari yang lalu menceritakan pengalamannya kepada redaksi. “Saya kenal Romo Slamet, sejak Beliau masih frater. Tahun 2000, ketika Pelayanan di Stasi Kaliurang, Purbalingga,  menjadi tempat saya berjumpa dengan Romo yang pertama kali. Meski, pertemuan di Purbalingga itu hanya beberapa bulan saja, saya melihat Romo sesekali merasakan sesak nafas, saat memimpin ibadat.  
Image
Romo menerima persembahan anak-anak.
  
Beberapa tahun kemudian setelah tidak bertemu, saya bertemu lagi di stasi yang sama pada bulan April. Namun, saat itu Romo Slamet sudah berubah sekali. Badannya bertambah gemuk. Beliau memimpin misa dengan bersemangat, meski tidak mengenakan sepatu atau sandal. Seusai misa di sakristi, Beliau mengatakan bahwa kakinya sakit sekali, kalau memakai sepatu atau sandal. Itu semua, karena serangan asam urat dan kolesterol yang sangat tinggi.
Yang paling mengesan bagiku adalah semangat dan kesetiaannya untuk memimpin misa dalam keadaan sakit. Sesekali saya melihat tangannya menahan berat tubuhnya di meja altar. Keringatnya selalu bercucuran, sehingga Beliau harus membawa sapu tangan sampai empat buah. Tulisan-tulisannya di facebook sangat bagus. Bukan hanya karena saya dapat chating, melainkan juga karena renungan yang dituliskan Romo sering menjadi inspirasi batinku setiap hari.
Selamat jalan Romo Slamet! Dalam sakitMu, Engkau tetap setia untuk bekerja dan memberikan pelayanan pada Tuhan dan Umatnya. Terimakasih.” tutur Mrs Irma mengenang sosok Imam yang dikaguminya.
Image
Romo Blasius memberkati anak-anak dalam misa Pesta Santo Dominikus 8 Agustus 2009.