WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Selasa, 05 Oktober 2010

Tujuh cara mematikan ide team kerja, Tujuh cara menyuburkan ide team kerjamu!

oleh Blasius Full pada 11 Januari 2010 jam 0:07

Dear all, 

Salah satu kekhasan pemimpin yang baik, justru harus mengenal, kapan kita bisa mematikan ide kreatif seorang teman atau team kerjamu. Dengan mengenal caranya, engkau akan menemukan cara baru untuk menyuburkan ide kreatif dari anggota team kerjamu! Caranya mudah untuk mematikan ide anggota team kerjamu:

1. Janganlah menatap matanya, tetapi lihatlah barang di sekitarnya, atau tunduk saja saat dia mengajak engkau bicara!

2. Katakanlah padanya, "Siapa yang tanya, penting apa idemu buatku?" 

3. Tempatkanlah ide temanmu itu dengan cara "brainstorming": Emang idemu itu satu-satunya yang benar apa? Masih banyak ide bagus lainnya daripada idemu sendiri! Misalnya temanmu sedang menampilkan ide kreatifnya untuk menghias dekorasi manten. Dia membuat dekorasi manten yang bernuansa pegunungan lengkap dengan air terjunnya. Kalau engkau mau mematikan idenya, katakan saja, "Emang kamu sendiri apa yang punya ide seperti itu, aku pun punya, tapi aku nggak suka pamer seperti dirimu!"

4. Ber-SMS-lah terus selama dia berbicara, dan cukup tanggapi dengan kata, "Oh iya, baguslah! Ehmm Begitu...?" 

5. Setiap kali dia berbicara tentang idenya, Anda tidak perlu tanya tentang idenya yang bagus dan kreatif, tapi ajukanlah terus ceritamu sendiri untuk menandingi idenya! Misalnya temanmu sedang punya ide untuk membuat gerakan penghijauan di tanah bukit yang tandus. Temanmu mengajukan usul untuk tanam pohon Jambu Mete. Kamu tidak perlu tanya, kenapa mesti Jambu Mete, tapi langsung saja katakan idemu yang baru. Aku yakin ideku lebih baik, tidak perlu tanam jambu mete, tapi tanamlah pohon beringin, pasti tumbuh subur, dan air akan terserap banyak. Emang pohon jambu mete bisa menjamin tanah jadi subur, apa?

6. Cobalah Anda selalu mencari kata-kata yang dia lontarkan, dan alihkanlah kata kata kunci menjadi titik tolak untuk tertawa. Misalnya, temanmu bicara, "Jadilah sumur yang dicari ember, jangan jadi ember yang mencari sumur terus!" Alihkanlah ide temanmu itu dengan membelokkan kata "ember". "Ya jelas saja, jangan jadi embeeeer...!! Itu sih saya sudah tahu, nggak usah sok menasihati deh...!!" 

7. Tertawalah Anda saat Anda menanggapi idenya. Dia mengemukakan ide "Fund Raising". Mudah saja, untuk meningkatkan uang saku mahasiswa, "Anda tidak perlu cari uang, tapi cukuplah mengurangi jatah rokok, dari sebungkus sehari, jadikanlah sebungkus untuk 12 hari! Uang yang biasa untuk beli rokok sebungkus per hari, masukkanlah ke celengan!" Tanggapilah usul itu dengan tertawa, "Ha ha ha ha, biasalah orang yang tidak pernah ngerokok itu tahunya cuma teori, emang enak apa orang nggak merokok, sakit dan pusing Mas...jadi nggak usah deh...fund raising dengan cara matiraga begituan...kuno...!!

Sekarang, setelah tahu 7 cara yang mudah untuk mematikan ide kreatif anggota team kerjamu, cobalah 7 langkah itu jadikan langkah yang positif:

1. Tataplah wajah dan pandangannya saat dia berbicara serius untuk menceritakan gagasannya yang kreatif! Janganlah mencoba untuk memindahkan pandanganmu ke tempat lain.

2. Katakan kepadanya, "Apapun pendapatmu, pasti akan memperkaya team kerja kita, ayo ceritakan saja, siapa tahu berguna untuk kinerja kita!"

3. Janganlah membuat brainstorming yang menempatkan idenya itu seolah-olah ide yang terjelek, melainkan buatlah brainstorming yang menempatkan idenya itu berkaitan dengan ide ide orang terkenal, ide ide orang pinter lainnya sehingga ia merasa diteguhkan, idenya itu sungguh memang bisa dipertanggungjawabkan.

4. Simpanlah HP-mu, dan tidak perlu angkat telp atau ber SMS ria saat diajak bicara. Tunjukkanlah bahwa orang itu dan idenya sangat penting untuk kinerja teammu.

5. Berusahalah untuk memperdalam ide kreatif yang sudah dilontarkan anggota team kerja, dan tidak perlu memperdebatkan idenya itu dengan idemu sendiri, melainkan terulah bertanya, sambil mencari referensi yang bagus, sehingga ia merasa idenya terdukung.

6. Janganlah membelokkan kata kata kunci sebagai bahan untuk "guyonan" atau "bercanda", karena engkau akan dinilai sebagai pribadi yang suka meremehkan. Namun cobalah merumuskan kata kata kunci itu dan ulangilah di depan dia, agar dia merasakan gagasannya itu sangat penting.

7. Janganlah tertawa, bila dia sedang bicara, melainkan dengarkanlah dengan baik gagasannya yang bagus itu, lalu carilah nilainya yang positif, jangan mencari sisi negatifnya dulu. Semua gagasan akan punya kelebihan dan kelemahan, tapi carilah positifnya dulu!

Semoga ada banyak pemimpin yang tahu menghargai anggota team kerjanya, sehingga ada banyak orang tertantang untuk tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri!

Warm regards!

Sabtu, 25 September 2010

Kado "Katak" untuk Jerawati

oleh Blasius Full pada 12 Januari 2010 jam 11:32

Hari Selasa ini, Panurata datang ke kantor CU Cikal Bakal agak terlambat. Biasanya jam 8 pagi, Panurata selalu sudah "stand by" di kantornya sebagai Direktur CU. Baru seperempat jam duduk, Panurata sudah mulai menguap, "Huaaaah...". Batinnya, "Ngantuk banget, rasanya kok capek banget!" Tiba-tiba, .."Thok-thok-thok...pintu dikethuk, Sekretarisnya, Kenes, masuk, "Pak, ada tamu, cantik orangnya, pingin ketemu Bapak!" Sahut Panurata, "Tanyakan dulu, apa perlunya!" Kenespun mengangguk, "Baik Pak!" 

Kenes tanya pada tamunya, "Mbak, Bapak pingin tahu apa kepentingannya?" Wanita cantik itu menjawab dengan ketus, "Katakan saja, aku musuh bebuyutannya!" Kenes agak ketakutan mendengar kata kata wanita cantik itu. Kenes melapor, "Pak, wanita cantik itu hanya bilang, aku musuh bebuyutannya!" Panurata langsung berdiri, "Hah.....!!!" Panurata langsung cepat jalan keluar dan berdiri diam sebentar dari sela-sela pintu ruang tamu. "Halaaaaah....wong pesek hidung begitu kok dikatakan cantik, Nes ...! Ternyata, hanya tetanggaku...! Aku pikir pendatang baru..!" Panurata tanpa gairah lalu menemui "sang tamu".

Sang tamu, wanita cantik itu pun berdiri dan menyalami Panurata, "Akang...aduuh, kaget ya...he he he!" Sahut Panurata, "Aku pikir wanita cantik, halah halah ternyata dirimu, tetanggaku, musuhku lagi! Yaah...nggak ada variasi blasssss....!! Hanya seorang Jeee raaa waaa tiiiiii!!! Ampyuuuuun.....!!!" Jerawati pun mulai protes, "Ooooo...jadi begitu ya...sekarang aku sudah tidak diharapkan lagi datang bertemu denganmu?? Sudah punya kecengan baru ya....!!" Balas Panurata, "Iya dong, lelaki gitu looh...masakan kalah ama wanita ha ha ha ha!!" Jerawati protes "Heeh...maap...aku mah nggak akan kalah denganmu! Ntar tunggu tanggal mainnya!" Tanpa basa basi Panurata membalas, "Yeee, pembalasan lebih kejam daripada pembunuhan!" Sahut Jerawati, "Bukan begitu, itu kan kata kata orang yang kalaaah? Iya kan? Tidak membalas itu lebih kejam daripada membalas...!! Weeeksss...!! Balas Panurata, "Dasaaaar....kapan nih mau membalasku?" Jerawati protes, "Yee...want to know aja...rahasia dong!!" Jawab Panurata, "Okey deh...aku tunggu pembalasanmu, kalau tidak membalas berarti nggak jadi teman lagi!!" Jerawati kaget, "Haaah...ngancam niiih....!!" Sahut Panurata, "Biarin, sekali kali ngancam Ibu Jerawati alias Nyonya Trimbil he he he!!" Jerawati pun tersenyum kecut, "Yeee...maraaaah yaa...! Okey...karena dikau marah, aku pulang ya...terima kasih banyak sudah bertengkar denganku!" Panurata terbengong, "Haah, jadi datang kesini, kepentinganmu mau bertengkar denganku?"

Sambil berdiri mau pamit, Jerawati menjawab, "Iyaa, kalau dikau tidak diajak bertengkar, ngantuk terus kan? Karena sudah nggak ngantuk, aku pulang, mau masak nih!" Panurata tidak komentar, "Iya sudah, terima kasih ya, lain kali nggak usah datang ya...!! Jawab Jerawati, "Okey, maksudmu nggak usah datang kalau sekali saja kan?" Sahut Panurata, "Dasaar....orang itu kalau sudah kena virus TEPE TEPE, ada ada saja sih!!" Jerawati jalan kaki meninggalkan kantor CU tanpa mengomentari omelan Panurata terakhir.

Jerawati pulang, namun dia mampir dulu di Supermarket untuk membeli keperluan rumah tangga bulan ini. Akhirnya pukul 15, Jerawati sampai di rumah. Tiba-tiba Jerawati kaget campur heran karenai mendapatkan sebuah kado yang terbungkus rapi, kertas pembungkusnya pun bagus bergambar mawar merah! Dia membolak balik kado itu, ringan tapi kok dalamnya ada suatu yang rasanya berjalan ke sana kemari. Jerawati penasaran. Dia menemukan sebuah kartu ucapan, bertuliskan begini, "Jerawati, terimakasih, engkau mau datang ke kantorku. Bagimu, bertengkar denganku itu penting. Aku rasa begitu juga, kalau tidak bertengkar denganmu, otakku ini sulit kreatif. Sebagai tanda terimakasihku, terimalah kado ini. Buka baik baik ya..dan rasakanlah, betapa aku bangga kita tetap bisa bertengkar!" Jerawati tersenyum, "Waaah...berhasil ternyata menaklukan Panurata, sampai dia mengucapkan terima kasih segala!" Jerawati pun mencari "cutter" dan buru buru membuka kado itu dengan menyobek bungkusnya lebih dulu. Isolasi yang menutup kardus itu dipotong, lalu dibuka pelan-pelan, dan..."Waaaaaaaaauwwwwww", Jerawati teriak sekuat kuatnya karena seekor katak langsung melompat dan menempel di baju Jerawati! Sambil terengah engah, Jerawati duduk, "Sial!! Siaaaal!!! Kurangajar..tahu aku takut ama katak, eh...malah dikerjain dulu..!!"

Lagi jengkel jengkelnya, telp rumah berdering..."Kriiiinggg...Kriiiiiiiiiiiinng!" Sambil nafas terengah engah, Jerawati terima telp, "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Sahut penelpon, "Apakah Anda butuh bantuan membuka kado bergambar mawar merah?" Jerawati langsung teriak, "Siaaaaalaaan...Akang Panuuuu...awaaaaas yaaa...!! Tahu nggak ....aku mau mati rasanya, tauuuu....!!" Panurata tertawa, "Jadi lebih baik membalas dulu, daripada keduluan kekekekekke!!! Sahut Jerawati, "Dasar laki-laki, pinter banget ngakalin perempuan ya!! Panurata nggak terima, "Yeee....tapi dirimu suka kan?" Sahut Jerawati, "Nggak suka!! Pokoknya aku mau balas, sampai dirimu tak berkutik!!" Jawab Panurata, "Iyee...siap Jeng...ha ha ha! Thanks ya sudah membuka kadoku...!! Jerawati sambil sewot menjawab, "Yeeee...nggak usah terimakasih!! Pokoknya aku kali ini tidak akan keduluan kamu lagi! Okey..aku mau masak, sudah sore!" Sahut Panurata, "Okey, met masak, jangan marah ya, ntar masakanmu nggak enak lho!" Jawab Jerawati,"Iya ya...Akang...uuuh...! Jerawati langsung menutup gagang telpon.

Sambil duduk baca koran, Jerawati membatin, "Aduuh...ada orang kok kayak Panurata, coba kalau jumlahnya ada 2 saja di Apotek-ku, apa nggak jadi trouble maker. Di rumah, Panurata pun sambil minum kopi ginseng berujar, "Kalau ada nasabah CU, 2 orang saja kayak Jerawati, apa CU nggak malah tambah bangkrut?

Haruskah pasangan suami isteri, orang tua & anak, berkomunikasi satu dengan yang lain?

oleh Blasius Full pada 14 Januari 2010 jam 9:07

Sahabat-Sahabatku, 

Haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu berkomunikasi, berdialog satu dengan yang lain? Pertanyaannya sama, haruskah suami isteri, orang tua dan anak itu saling mencintai? 

1. Komunikasi itu pilihan bukan keharusan
"Keharusan" itu sebuah istilah untuk menunjukkan "paksaan yang begitu kuat datang dari luar pribadi, dan saya terpaksa melakukannya karena tidak tahan berada dalam tekanan! Mencintai, termasuk, komunikasi, bukanlah sebuah tindakan yang datang dari luar, melainkan tindakan yang lahir dari kedalaman batin. "Kedalaman batin" itu tidak lain adalah "suara hati" yang sudah kaya dengan berbagai macam nilai yang begitu mengesan sehingga suara hati itu menggerakkan orang untuk proaktif: inisiatif keluar dari dirinya sendri. "Keluar dari diri sendiri" itu berarti kesediaan untuk memikirkan pertumbuhan orang lain: apa masalah yang sedang dihadapinya, kesulitan apa saja, yang bisa dibantu; manakah kebutuhan hidup yang bisa disokong bersama dan seterusnya. "Keluar dari diri sendiri" itu tidak lain, tidak menggunakan "kacamata diri sendiri" untuk menilai orang lain, melainkan temuilah orang itu, dan kalau boleh, bertanyalah, agar engkau menemukan kesempatan untuk terlibat. Itulah inti komunikasi: keluar dari diri sendiri: mulai dengan senyum, menyapa, bertanya, murah hati: apa yang bisa kubantu. Sapaan itu akan menciptakan relasi yang memungkinkan orang lain, juga tidak sungkan untuk terlibat dalam hidup kita.

2. Menciptakan kesempatan untuk terlibat
Menciptakan kesempatan untuk terlibat, sebenarnya salah satu bentuk ketrampilan komunikasi dalam perkawinan dan keluarga. Komunikasi yang menciptakan kesempatan itu berpangkal dari kesediaan untuk mengungkapkan perasaaan sendiri secara jujur, dan belajar untuk menanggung resiko juga ditolak. Misalnya begini, ungkapan hati seorang istri, "Mas, pagi ini, aku merasa tertekan dan terbebani untuk bangun pagi dan masak. Meskipun aku tahu, itulah tugas yang mesti kulakukan. Tapi mengapa rasanya, pagi tadi aku merasa sangat terpaksa, dan merasa beban banget!" 

Mendengarkan "ungkapan" perasaan isteri begitu, tanggapan seorang suami "A" bisa begini, "Kapan kamu mau bergairah dan bersemangat untuk bangun pagi dan masak! Siapa yang menekan, siapa yang memaksa? Aku pun tidak memaksamu, dan tidak melarangmu untuk bangun siang. Salah siapa, kok kamu bangun pagi dan masak, padahal aku juga tidak pernah mengatur ini dan itu! Jadi isteri kok seperti diawasi, jangan jangan luka batin dengan ayahmu, tapi malah aku yang seolah olah jadi sumber masalahmu". Apakah reaksi seorang isteri yang perasaan hatinya dikomentari ketus begitu? Bisa membayangkan sendiri, kan?

Suami "B" mungkin menjawab begini, "Iya Dhe, saya bisa memahami kalau kamu tertekan atau terpaksa, meski tidak ada siapapun yang memaksa. Aku pun tidak memaksamu. Pekerjaan rumah tangga itu tiap hari ada dan membosankan. Wajarlah kalau engkau merasa bosan, jenuh, apalagi mungkin karena kerja sendirian. Bisa jadi aku malah yang keliru, karena aku bangun jam 6.30 sementara dirimu sudah bangun 4.30. Saat dikau repot, aku malah tidur ya..!" Apa kira kira tanggapan isterinya? 

Saya yakin, tanggapan suami "B" akan sangat membuat hati itu nyaman dan merasa dicintai, karena "Suami B" itu tidak menyalahkan, melainkan memahami, malahan berusaha untuk mengakui diri, bisa jadi dirinya juga bersalah karena bangun kesiangan. Ungkapan hati isterinya menjadi sebuah teguran, tapi sekaligus juga membuat suaminya tahu, manakah kesempatan untuk mengasihi istrinya, yakni "zonakritis ": pada pagi hari: menyiapkan makanan, menyelesaikan pekerjaan RT yang semalam tertunda, dan belum lagi ank-anak juga butuh persiapan sekolah dst.

Semakin kita berani mengatakan "perasaan yang sedang kritis", kita akan belajar menciptakan kesempatan bagi orang lain untuk tumbuh. Di sisi lain, pasangan hidup itu mesti tertantang untuk menanggapi dan mengatasi zona kritis itu. Bahkan bisa jadi zona kritis itu terjadi karena sikap pasangannya yang kurang mendukung. Dengan kata lain, kesulitan pasangan hidup, atau kesulitan anak-anak tidak selalu bersumber dari mereka sendiri, melainkan juga bisa jadi karena "aku" terlibat mempersulit hidup orang lain. Bagaimanakah kita mampu jadi orang yang mempermudah hidup orang lain?

3. Mempermudah hidup orang lain (jadi fasilitator)
Agar kita mampu jadi fasiltator bagi orang lain, baiklah kita belajar untuk "mengatakan perasaan hati kita sejujurnya pada pasangan hidup dan anak-anak". Namun juga belajar untuk memahami perasaan orang lain yang sedang terluka, kecewa, bosan dst, tanpa menghakimi dan menyalahkannya! Akan tetapi belajarlah untuk menempatkan diri dalam suasana hati orang lain, dan lebih baik mengatakan, "bisa jadi aku juga ikut bersalah", daripada mengatakan, "Susah atau senang kan dibuat dirimu sendiri, kok malah aku yang disalahkan!" Ungkapan yang terakhir itu tidak akan menyuburkan komunikasi, malahan akan memperparah komunikasi. Iorang yang masih mencari kesalahan orang lain, itulah orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Padahal, hanyalah orang yang sanggup merumuskan perasaannya sendiri dengan baik, akan mampu untuk memahami perasaan orang lain.

Semoga ada banyak keluarga, pasutri, orang tua dan anak yang tumbuh subur relasinya karena mampu mengolah perasaan hatinya menjadi kesempatan terindah untuk terlibat dalam hidup satu sama lain.

Manakah yang lebih menakutkan, menguatirkan, mencemaskan & menggelisahkan?

oleh Blasius Full pada 18 Januari 2010 jam 5:17

Sahabatku,

Banyak orang begitu takut dinilai penampilannya, sampai dia bingung untuk memilih baju yang akan dipakainya. Dia bingung karena takut, apa kata orang kalau warna baju dan celana tidak "serasi", alias tidak "matching". Tapi orang tidak merasa takut untuk mengomentari cara penampilan orang lain, dan merasa biasa saja kalau menghakimi menurut kacamatanya sendiri. Padahal, apa yang dikatakan untuk mengadili orang lain, berlaku juga untuk diri kita.

Banyak orang begitu takut kalau tidak mampu memberi kado "amlop" saat hajatan pengantin tetangga, saudara atau kenalannya. Orang takut, harga dirinya mau dikemanakan kalau ketahuan tidak memberi kado, apalagi orang itu masih punya anak perempuan yang siap nikah. Bagaimana nanti jadinya kalau aku tidak memberi "amplop", pastilah juga nanti aku tidak diberi. Wah bisa repot kalau aku tidak memberi, nanti aku sudah menghabiskan puluhan juta untuk hajatan, tapi malah nggak bisa mengembalikan uang itu. Begitulah orang lebih takut tidak memberi kado kepada orang hajatan manten, tapi dia tetap bisa "cuek" kalau tidak memberi "sumbangan" untuk orang yang sedang berkabung. 

Banyak orang begitu takut ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya karena ia tidak lagi bisa bicara banyak hal tentang acara televisi. Karena itu banyak ibu rumah tangga tidak mau kehilangan sahabatnya dengan cara "rajin" nonton TV. Namun orang tidak merasa cemas, kalau dirinya belum berdoa, dan merasa biasa saja, seperti tidak membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. 

Banyak orang sekarang ini tidak merasa gelisah kalau dirinya tidak menyempatkan waktu untuk berdoa! Namun betapa gelisahnya orang itu kalau listrik mati dan tidak dapat menonton acara televisi dan bermain internet. 

Banyak orang merasa tidak gelisah kalau tidak membawa buku doa ke Gereja. namun betapa gelisahnya saat HPnya ketinggalan. Karena itu lebih baik putar balik, dan ambil HP di rumah. Daripada HP ketinggalan di rumah, lebih baik bagi dia pulang ke rumah untuk ambil HP,meskipun akhirnya datang misa terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali (begitukah pembenarannya??)

Banyak orang takut menderita untuk "mati raga". Berapa banyak orang yang sulit untuk berhenti merokok. Mereka jauh lebih berani menanggung resiko "dengan merokok". Padahal mereka tahu akibat merokok bisa kanker paru-paru, serangan jantung dan sesak nafas. Mereka lebih mudah mengeluarkan uang untuk rokok namun lebih sulit untuk menabung dengan jumlah uang yang sama. Kalau sehari saja habis 1 bungkus rokok @ Rp.10.000, dikalikan 31 hari = Rp 310.000 Kalau 12 bulan? Rp 3.620.000. Kalau 5 tahun saja? Ternyata uang yang dikumpulkan cukup beli satu sepeda motor, bukan? Begitulah cukuplah orang mau berkomitmen matiraga sebentar, orang bisa menjadi "kecukupan". Namun apa yang terjadi?

Akhirnya, 
berbagai hal yang dianggap menakutkan,menguatirkan, mencemaskan & menggelisahkan sebenarnya. sebuah kesempatan terindah untuk selalu mengundan hadirnya Roh Kudus, Roh Kasih-Nya, agar kita dapat mengubah ketakutan menjadi keberanian, kekuatiran menjadi harapan, kegelisahan menjadi kedamaian. Kalau keterbatasan itu tidak diolah, akibatnya terbukalah kemungkinan untuk mudah jadi penakut, trouble maker, pribadi yang suka menyalahkan orang lain Persoalannya adalah bagaimanakah mengubah, "Kekuatiran, kecemasan & kegelisahan" itu menjadi "harapan baru?"

Harapan baru itu akan menjadi kenyataan kalau orang berani "mati raga", yakni berkomitmen mau kehilangan kesempatan untuk menikmati segala yang menyenangkan. Komitmen yang tangguh pastilah tercipta karena karakter yang kuat, keterampilan & pengetahuan yang mencukupi. Semoga hari ini, terjadilah mukjijat, air berubah menjadi anggur. Hidup yang serba penuh ketakutan, kecemasan, kekuatiran, diubah oleh darah-Nya itu menjadi hidup penuh harapan. Harapan itu tidak lain kesediaan untuk terus berani melangkah di hari esok, juga kalau ada banyak ketidakpastian hidup. Dalam ketidakpastian itulah, kita akan tertantang untuk lebih mengandalkan Allah daripada mengandalkan manusia dan dunia ini. 

Semoga hari ini ada banyak tanda pengharapan di sela sela berbagai macam masalah dan kesulitan hidup yang sedang kita hadapi bersama. 

Warm regards

Inti komunikasi antara suami-isteri & antara orangtua -anak!

oleh Blasius Full pada 18 Januari 2010 jam 21:00

Sahabat-sahabatku terkasih, 

Melanjutkan artikel yang terdahulu, "apa yang tidak perlu diprioritaskan dalam komunikasi suami isteri, orang tua & anak-anak, saya menawarkan gagasan inti komunikasi dalam perspektif "pemberian diri". Apakah sebenarnya inti komunikasi suami isteri, orang tua dan anak, antar saudara serumah (termasuk dalam sebuah komunitas biara sekalipun)? Inti komunikasi itu tidak terletak pada "perkataan" kita yang harafiah kita ucapkan saja, melainkan terletak dalam kesatuan "tindakan memberikan diri". Apa artinya "memberikan diri?"

1. Memberikan diri itu tidak identik dengan "perbuatan baik"
Banyak orang mengartikan tindakan "memberikan diri" itu sebagai perbuatan baik, sebagai kewajiban yang sudah semestinya dijalankan sebagai suami, isteri, atau anak, atau sebagai anggota komunitas. "Memberikan diri" itu pertama tama berarti sebuah kerelaan untuk kehilangan "apa yang paling kuanggap istimewa!" Apa yang istimewa dalam diri kita? Bisa jadi yang istimewa itu bisa berupa "perasaan gengsi", ambisi untuk disanjung, dipuji, diistimewakan, dan ambisi untuk mengontrol orang lain, ambisi untuk mematahkan pendapat orang lain dengan berbagai argumen yang hebat, ambisi untuk menikmati fasilitas sampai orang lain pun sesama saudara tidak boleh ikut menggunakannya. 
Kalau kita kenal "apa yang istimewa" dalam diri kita, itulah yang mesti kita lepaskan. Kita akan melepaskan "yang istimewa" kalau kita berani untuk "MENCIPTAKAN KESEMPATAN" untuk ditolak, dikecewakan, diremehkan, dikritik. Kesempatan itu diciptakan dengan gaya hidup yang "MENAWARKAN". Misalnya, "Mas, mau minta tolong, apa bisa antar saya ke pasar Manis, sebentar? Dhe, apa Mas bisa minta dibuatkan kopi manis? Nak, tadi masakan ibu, enak atau tidak?" Pertanyaan-pertanyaan macam itu membuka kemungkinan, orang yang kita mintai tolong, akan menolak dengan berbagai alasan, "Aku capek, berangkat sendiri saja! Kenapa sih nggak bisa buat kopi sendiri, kan punya tangan punya kaki! Ah masakan Ibu, nggak enak, enakan masakan Mbok Tun". Dengan cara "MENAWARKAN" itulah, terjadi kemungkinan kita ini mengalami "kekecewaan, penolakan, bahkan diremehkan" oleh pasangan sendiri, atau anak sendiri. Pada saat itulah, Anda mengalami "kehilangan keinginan diistimewakan, dipuji, atau disanjung! Dengan model komunikasi begitu, kita sebenarnya mulai belajar "MEMBERIKAN DIRI". Fokusnya bukan pada perbuatan baik, melainkan fokusnya pada gaya komunikasi yang "MENAWARKAN". 

2. "Memberikan diri" itu tidak lain aktualisasi kehendak bebas sebagai anak Allah 
Orang yang mau memberikan dirinya sebenarnya mengaktualisasikan kehendak bebasnya sebagai anak Allah. Kehendak bebas itu tidak digunakan untuk berbuat dosa melainkan justru untuk berani bermatiraga (menyangkal diri) agar terwujudlah pemberian diri bagi sesamanya. Kehendak bebas itulah yang dianugerahkan Tuhan saat peristiwa misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Kehendak bebas itu dapat diwujudkan justru hanya dalam "keterbatasan", atau dalam "keterikatan" yang jelas. Suami isteri, karena terikat janji pernikahannya, mereka bebas untuk saling mengasihi satu sama lain secara total. Artinya, jelaslah prioritas mengasihi sesama itu bukan "sekedar sesama", tapi sesama itu adalah pasangan hidupnya dan anak-anaknya, karena perkawinan selalu terbuka akan keturunan. Demi prioritas kasih itulah, lalu pilihan tindakan suami isteri, orang tua terhadap anaknya juga mesti dipilih atas dasar titik pijak prioritas itu. 

Misalnya, saat muda, seorang ayah senang sekali mancing, kemanapun cari berbagai macam kolam pemancingan. Kesenangan itu tidak dapat dipenuhi sepenuhnya dalam hidup berkeluarga. Apakah dengan demikian keluarga membatasi hobi? Bukan itu masalahnya, tapi kalau ayah ibu yakin dirinya dipanggil untuk mencintai total anaknya, maka "memancing" itu mesti menjadi urutan terbelakang! Itulah resiko yang harus ditanggung karena memprioritaskan cinta kepada keluarga. Kalau ayah itu lebih suka memancing daripada menemani anaknya belajar, itu berarti "memancing" jauh lebih berharga daripada "seorang anak".

Demikian juga seorang ibu, tidak bisa nonton acara TV terus menerus, sementara anaknya minta makan. Ibu itu akan berhenti nonton TV karena anaknya mesti nomer satu dicintai. Kalau ibu itu nonton TV terus, lalu anaknya disuruh makan mie instan saja, itu berarti "ibu itu lebih cinta TV" daripada anaknya. 

3. Memberikan diri itu rela memperkenalkan "isi hatinya" terdalam kepada pasangan hidup atau anak-anaknya.
Saat masih muda, suami isteri dulu senang berdebat & saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Setelah hidup berkeluarga, cara berpikirnya mesti diubah, bukan memperdebatkan siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan belajar untuk mengungkapkan perasaan hatinya. Misalnya, pagi hari, seorang suami itu bangun jam 7 pagi, sementara isterinya sudah mondar mandir kerepotan mempersiapkan masakan, memandikan anak, membantu mengenakan pakaian, sampai bahkan menyuapi mereka makan. Lalu setelah itu isterinya masih mengantar ke sekolah. Sementara suaminya dengan tenang masih tidur. Situasi itu bisa memicu konflik yang berkepanjangan. Isteri yang punya "cinta" akan mengatakan begini, "Mas, aku pingin mengungkapkan kekecewaanku. Pagi tadi aku merasa kecewa, karena Mas tidak bangun pagi, padahal terdengar sekali, keributanku berkata-kata keras, dan membentak kepada anak anak. Aku merasa bekerja sendiri. Apakah yang salah dari diriku, sampai Mas tidak mau bangun dan menemaniku untuk membereskan pekerjaan rumah tangga pagi tadi?" 
Menghadapi suami yang bangun siang, seorang istri yang kurang "cintanya", akan cepat reaktif dan marah, "Kenapa sih, bangun jam 7, apa nggak tahu, aku kerepotan! Katamu aku isterimu, dan kamu suamiku, tapi mana buktinya? Kamu malah tidur enak enak, sementara aku banting tulang sana sini!" 
Suami yang punya "cinta" akan mengatakan begini, "Baik Dhe, saya minta maaf ya, saya akui bagaimanapun diriku salah, karena tidak bicara denganmu kenapa aku bangun sampai jam 7, sehingga menyusahkan dirimu. Tadi pagi aku pusing sekali! Salahku, aku diam saja, tidak mengatakan sakitku padamu!
Suami yang kurang "cinta" akan langsung bereaksi, "Emang nggak boleh apa bangun siang, siapa yang melarang? Ini rumah juga rumah gue, bukan rumahmu! Nggak usah marah marah deh! Emang hebat apa kalau sudah bisa marah marah ama suami?"

JADI...
Begitulah rasanya "komunikasi pertama tama" bukan soal hanya perkataan baik, halus atau lembut, melainkan apakah kita memiliki "cinta" itu? Kalau kita tidak memiliki cinta itu, baiklah kita meminta "Roh Cinta", yakni Roh Allah sendiri agar menaburkan benih benih cinta itu kepada kita semua, agar komunikasi kita tidak didasarkan sekedar pada "penting atau tidak", tapi didasarkan pada keyakinan, Allah pun mencintai pasanganku, suami isteri, & anak anak! Akhirnya inti komunikasi suami isteri & anak-anak bukan pada "perkataan" melainkan terutama pada "sikap batin".

Semoga tumbuhlah semakin banyak keluarga keluarga yang bersedia saling memberikan diri, agar kasih Allah menjadi nyata di tengah dunia ini.

Sang Dadu

oleh Blasius Full pada 20 Januari 2010 jam 0:06

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk di sana. Seorang wanita empat puluhan duduk kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku yang telah ribuan kali kulewati.

Puluhan tahun yang lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu sudah ada di sana.
Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang kelontong. Ketika itu mobil berhenti di depan kiosnya dan wanita itu datang menghanpiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah Ananda dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah. Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca, saya tak lagi menemui wanita itu.

Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang sama di dalamnya.
Bedanya, kali ini tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis. Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.

sent by haryono99@gmail.com
Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan. Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang keras.

Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap bertahan di sana? Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.

Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih surat kabar dan mulai membaca-baca.
Nanda, keponakan saya itu, kemudian berkata, "Ayo jalan!
Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai-selesai."

Saya tersadar. Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia.
Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.

Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama sekolah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya.
Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu (dan mmeprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan.

Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah lah yang mengatur. Dan disitulah Nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu. Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana.

Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu. Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.

Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali.
Optimislah bahwa di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yg optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.