WELCOME....

Ketidaksempurnaan hutan di lereng gunung menjadi pemandangan yang indah karena dilihat dari kejauhan. Ketidaksempurnaan manusia pun menjadi indah kalau kita bersedia menciptakan "jarak", agar jelas perbedaan antara engkau dan aku. Allah pun membuat "jarak" dengan manusia, yakni dengan menganugerahkan kehendak bebas untuk mengasihi, bukan untuk berbuat dosa! Jarak yang dibangun menuntut resiko ditolak

Jumat, 22 Oktober 2010

Menurut Lini “Mo Met: Sahabat, Gembala, Endorser”

Sumber : http://lini.via-lattea.org/mo-met-sahabat-gembala-endorser

Jumat, 13 Agustus 2010, jam 22.25.

Baru saja aku hendak mematikan komputer. Ini waktunya untuk tidur. Besok harus siap jam 6 pagi untuk menyiapkan Si Sulung berangkat ke Indonesian Robotics Olympiad (IRO) 2010. Tiba-tiba, ponselku berdering. Tertera “Ratih Tjandra”. Ada apa ya? Sudah lama Ratih tidak meneleponku.

“Ya, Tih?”

“Lin, Romo Slamet meninggal.”

“Hah?? Serius lo??”

“Iya! Ini lagi kroscek ke mana-mana.”

“Belum lama ya, Tih, lu bilang Mo Slamet diangkat jadi Ketua Komisi Kateketik Purwokerto. Belum lama juga gue ketemu dia di rumah duka waktu Tantenya Danny meninggal…”

Meluncurlah berbagai nostalgia kami dengan (alm) Rm. Slamet. Tidak lama, telepon ditutup.

Kucoba kroscek ke Mgr. Pujasumarta. Telepon mati. Mungkin baru istirahat setelah pulang dari sidang KWI. Kucoba telepon Rm. Anton, Ekonom Keuskupan Bandung. Rm. Anton malah baru dengar kabar itu dariku

Aku masih melongo. Selang beberapa menit, datang pesan singkat ke ponselku, tertera “Rm. Indra Sanjaya”. Kutelepon Mo Indra.

“Ya, Pakde?”

“Lin, apa betul Rm. Slamet meninggal?”

“Kata Ratih begitu.”

“Padahal aku baru merencanakan proyek sama Romo Slamet…”

Sambil bertelepon, kubuka kedua akun Facebook Rm. Slamet. Sudah ada beberapa ucapan belasungkawa di dindingnya. Tidak salah lagi.

Kutelepon seorang Tante di Purbalingga. Ternyata Tanteku malah baru dengar juga kabarnya. Besok pagi ia akan langsung ke RS. Elisabeth. Sementara itu, ponselku berbunyi lagi. Tertera “Intan Amrin”. Ganti kutelepon Intan.

“Lin, Mo Slamet meninggal?”

“Tadi pertama Ratih yang telepon, katanya sih begitu. Barusan juga telepon Mo Indra, ”

“Padahal gue kepingin banget ketemu sama dia, selalu tertunda…”

Kemudian, aku diberitahu oleh beberapa teman lewat YM: Rm. Adam Soen, Imelda Wijaya, Yovita Wijaya, dan Anie.

Yovita bilang, “Lin, sedih gue… romo baikkk buangett sama gueee… “

Rm. Adam bilang, “Wahhhh Jerawati and Panuroto nggak berlanjut nichh…”

Di jendela sebelah, masuk surel dari Ratna Ariani. “Lini, Romo Slamet sudah pulang kerumah Bapa, gw sedih bangetttt”

Aku sampai detik ini masih merinding, terhenyak, kehabisan kata-kata, mendadak tak bisa tidur padahal besok harus bangun pagi.

Aku ingat ketika pertama kali bertemu dua tahun lalu. Ia baru saja selesai pertemuan (kalau tidak salah Karina-Caritas Indonesia). Kuantar ia ke kantornya Mbak Ibnurini di Jl. MT Haryono.

Aku ingat ketika ia mengirimkan komentar atas bukuku.

Review dari B. Slamet Lasmunadi, Kebumen

Lini, menurutku buku ini memiliki “makna belajar”:

1. Belajar untuk “menerima sejarah hidup” dengan suka dan dukanya.

Membaca tulisanmu itu mengasyikkan tapi sekaligus membuat jantungku berdebar karena baru kali ini aku membaca sebuah “kisah pengakuan sejarah hidup”: entah yang terang dan gelap, dikemas dalam sebuah buku “sejarah”. “Life is opened”, membutuhkan kerendahan hati, siap untuk diremehkan, siap untuk ditolak, bahkan siap untuk dinilai “buruk”. Keberanian untuk menyingkapkan “diri pribadi” itu, rasa rasaku itulah sebuah wujud “penyaliban diri” karena tidak ada gengsi yang dipertahankan, tidak ada lagi kesempatan untuk mencari “pujian” dan juga tidak lagi “ada kesempatan untuk dikatakan orang saleh”.

2. Dengan menulis “My life is open”, rasaku itu sebuah pengalaman untuk ‘belajar mati”. Mematikan diri, yakni tidak lagi mempertahankan dan mencari cari “segala yang istimewa”. Dengan tulisanmu, dirimu dinilai apa adanya, tidak butuuh lagi penilaian…alangkah indahnya, buku itu pun menjadi sebuah “kisah kasih bagi Tuhan” dalam hidup doamu.

3. Dengan menulis “kisah hidup” yang terang dan gelap itu, aku merasa tergerak untuk belajar “berlatih’ tidak perlu membela diriku dengan masa suramku…Itulah pelatihan yang membuat orang bisa “belajar realistis” dalam hidup: belajar untuk juga tidak mencari kesalahan orang lain, melainkan malah belajar “mencari kesalahan dalam diriku” agar aku tahu manakah yang harus kuubah.

4. Menulis “sejarah hidup’ akhirnya menjadi ungkapan iman penuh syukur kepada Tuhan, meski ada kegelapan dalam hidup ini, toh Sang Terang itu tetap bernyala, kecil api itu barangkali, namun tetap bisa membuat panasnya badan, agar bertahan dalam situasi dunia yang penuh ‘manusia dingin’, tidak bergairah untuk hidup.

5. Rasaku, siapapun yang terliibat dalam hidupmu, akan ikut bahagia, “aku menjadi bagian sejarah hidupmu”..ternyata “kegelapan pun bisa menjadi terang” bagi orang lain…bukumu yang “opened’ itu tentu akan memberi inspirasi banyak orang yang gagal, dan takut menerima diri.., dan tulisanmu menguatkan aku juga sebagai imam, hidup itu “belajar apa adanya’!

Lini. selamat ya…aku ikut bahagia…campur berdebar…dan campur terharu… karena …. aku…. (dalam batin…)

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr

Kebumen, Jawa Tengah

Aku ingat ketika kami kerap chatting malam-malam.

Aku ingat ketika kami kerap berkirim pesan singkat.

Aku ingat ketika ia meneleponku untuk membantu Ratna Ariani membuat blognya.

Aku ingat ketika ia marah padaku tanpa alasan yang jelas. Mungkin saat itu asma atau asam uratnya sedang kambuh.

Aku ingat ketika ia bergabung dengan Yuk Nulis!

Aku ingat pernah marah padanya soal penyakit asam uratnya yang kerap kambuh setahun lalu. “Romo, kalau ada umat yang masakin pakai santan ya ditegor dong!”

“Lini, namanya umat sudah capek masak, ya diterima aja. Menghargai gitu.”

“Ya gak bisa! Kalau umat mau Romonya sehat harus tau Romonya pantang apa. Kalau mau Romonya sakit itu lain soal!”

Sejak itu, aku tak pernah bahas lagi soal asam uratnya.

Aku ingat ketika tahun lalu mudik Natal dan mengajaknya makan bakmi paling top se-Purwokerto, bakmi kegemarannya sejak kecil. Saat itu Rm. Slamet sudah pindah ke Purwokerto.

Aku ingat ketika akhir Juni lalu bertemu dengannya di rumah duka di Purbalingga saat pemakaman Tantenya Danny. Kami berbincang cukup lama. Kutanyakan lagi soal asam uratnya.

Aku ingat ketika mengirimkan naskah buku “Surat Cinta buat Gembala”.

Salah satu semangat hidup yang saya terima dari umat adalah pengakuan bahwa saya masih manusia yang berada dalam proses “menjadi” imam yag sejati. Buku ini rasanya memaparkan berbagai sisi hidup seorang imam dari kacamata umat, yang memandang imamnya “secara manusiawi”. Saya yakin buku ini sangat inspiratif dan tetap segar, agar dengan membaca buku ini, para imam pun tertantang untuk tetap memiliki harapan meski jatuh-bangun mengusahakan kesetiaan terhadap panggilannya. (Blasius Slamet Lasmunadi, Pr. Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Purwokerto)

Aku ingat, lebih dari ingat, kami—POLAR (Panjikristo, aku, Anang Yb, Rini Giri)—belum sempat mengirimkan buku “Surat Cinta buat Gembala” untuknya.

Romo Slamet,

Maaf aku pernah marah padamu.

Maaf aku pernah membuatmu marah padaku.

Maaf kami belum sempat mengirimkan buku untukmu.

Kami kehilangan wajah ceriamu.

Kami kehilangan semangat rendah hatimu.

Kami kehilangan serial Jerawati dan Panurata-mu.

Masih banyak dari kami yang ingin bertemu muka denganmu.

Masih banyak dari kami yang ingin berbuat sesuatu bersamamu.

Masih banyak dari kami yang ingin berdoa bersamamu.

Bagi para gembala yang telah mengabdikan hidupnya agi para domba hingga akhir hayat, rengkuhlah mereka dalam pelukan kudus-Mu di kehidupan kekal.

(Doa untuk Para Gembala, dari buku Surat Cinta buat Gembala oleh POLAR)

Rm. Blasius Slamet Lasmunadi, Pr. Meninggal hari ini, Jumat, 13 Agustus 2010 jam 21.30 di RS Elisabeth Purwokerto dalam usia . Misa requiem dilakukan hari Senin, 16 Agustus 2010 jam 10.00 di Katedral Purwokerto. Jenazah dimakamkan di Kaliori, Purwokerto.

Selasa, 05 Oktober 2010

Pastor Sinten bicara tentang Pendidikan Anak

oleh Blasius Full pada 05 Januari 2010 jam 5:49

Dalam sebuah kesempatan rekoleksi untuk mempersiapkan Natal, Pastor Sinten mengajukan beberapa model pendidikan anak kepada umat yang antusias mengikutinya, termasuk Panurata, Jerawati, dan Judesanti. Pastor Sinten mengatakan begini, "Cobalah Bapak Ibu pikirkan, manakah pendidikan anak yang terbaik menurut Anda?
Model pertama, pendidikan anak dalam Keluarga Trimbil. Pasutri Trimbil selalu berusaha untuk membuat anaknya Kevin bisa mandiri. Karena itu setelah Kevin bisa berjalan dan berbicara lancar, Trimbil selalu meminta Kevin ambil minum sendiri, dan membentak-bentak, "Ambil sendiri dong, kalau minum, kan adhe Kevin punya kaki untuk berjalan, dan punya tangan untuk mengambil!" Kevin berlatih tiap hari begitu, setiap kali dia minta tolong pada papa atau maminya, "Pa, Mam...aku minta minum..haus...!!" Jawaban mereka selalu sama! "Papa Mama sudah bilang Kevin, jangan cengeng, jangan manja, Kevin mesti ambil sendiri, kan sudah diajari ambil air dari dispenser! Kevin punya tangan dan punya kaki kan?" Trimbilwati pun memperlakukan anaknya sama dengan Trimbil suaminya.
Lalu Pastor Sinten melanjutkan, "Model kedua, keluarga Trendi, anaknya David selalu ditawari oleh papa maminya kalau mau makan atau minum. Maminya, Keren, sering bilang begini, "David, piring dan nasimu mau diambilkan atau ambil sendiri? Lauknya...ambil sendiri? David bilang, "Mam, sekarang aku minta diambilin ya....besok aku ambil sendiri, boleh kan Mam?" Maminya menyahut, "David, sekarang Mami ambilkan, besok juga tidak dilarang David minta tolong Mami!" Trendi juga memperlakukan David sama seperti isterinya.
Model ketiga, keluarga Lindung, yang begitu "memanjakan" anaknya, Sony. Lindung sering bilang begini, "Sony, nanti tidak boleh ambil piring dan nasi sendiri ya..! Harus Papi atau Mami yang ambilkan, kalau kamu yang ambil, nanti bisa tumpah, dan lagi kamu kalau ambil nasi sering berjatuhan di mana mana, apalagi ambil sayur, kuahnya sering tumpah! Nah supaya meja tetap bersih, pokoknya Sony tidak boleh ambil sendiri ya!! "Sony diam dan tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu saat, Sony ketahuan ambil sayur sendiri karena minta tambah, tiba-tiba ada bentakan dari Maminya, Lingga, isteri Lindung, "Sony...Sony, tahu tidak, coba lihat, kuah sayur tercecer di mana mana. Mami itu capek sayang, bersih-bersih meja terus tiap hari! Kamu kan punya mulut, minta tolong dong, ama Mami atau Papi."
Setelah menceritakan 3 kasus itu, Pastor Sinten mengajukan pertanyaan, manakah model pendidikan anak yang kira-kira bisa membuat anak mampu belajar ambil keputusan sendiri? Siapa yang memilih model keluarga pertama: Keluarga Trimbil? Dari 80an peserta, hampir setengahnya memilih model Trimbil. Dengan alasan, Trimbil benar, mengajarkan kemandirian kepada anak!
Siapa memilih model keluarga kedua: Trendi dan Keren? Ada sekitar 20 orang yang memilih. Alasan mereka, meskipun sederhana pilihan yang harus diputuskan, tapi Trendi dan Keren membuat anaknya mandiri, tapi juga tidak mengalami kekerasan (bentakan).
Siapa memilih model keluarga ketiga, keluarga Lindung dan Lingga? Hanya ada 10 orang.dan ternyata mereka berasal dari keluarga yang terbiasa hidup di asrama. Alasan mereka, praktis ..kalau makanan dan minuman diambilkan papa dan maminya, jadi tidak berhamburan makanan dan sayuran, dan bisa makan menurut keperluan, tidak harus stress karena banyak nasi dan sayur terbuang karena tidak termakan.
Pastor Sinten lalu mencoba menjelaskan lebih lanjut, 'Jadi ada sekitar 10 orang tidak memilih. Meski tidak memilih...bapak ibu juga membuat sebuah keputusan: yakni tidak memilih! Okey..barangkali bingung juga he ha ha...
Begini, model kedua, Trendi dan Keren bisa menjadi model pendidikan anak yang memberi kesempatan anaknya untuk belajar membuat keputusan. Akan tetapi model itu membutuhkan kesiapan orang tua untuk "makan hati", menanggung resiko: mau repot kalau anak minta diambilkan, juga kalau ambil senidiri, akan ada ketidakaturan di meja makan, piring bisa juga pecah, kuah tercecer dsb.
Model pertama, ekstrim untuk membuat anak mandiri, tapi anak itu tidak mandiri, karena diperintah bahkan dibentak. Dia tidak punya inisiatif untuk ambil sendiri. Sementara anak model keluarga Trendi dan Keren memiliki kesempatan untuk berinsiatif "ambil sendiri". Di situlah bedanya: menjadi mandiri karena perintah, dan menjadi mandiri karena hidup dalam relasi yang membebaskan. Dengan belajar membuat keputusan, anak itu akan tumbuh sebagai pribadi yang terbuka untuk proaktif dan mau inisiatif dalam berbagai hal.
Sementara model keluarga ketiga, Lindung & Lingga menutup kemungkinan anaknya untuk membuat keputusan, tapi selalu dilayani. Jangan heran dari keluarga ini ada kemungkinan tumbuh anak yang sangat tergantung dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pastor Sinten mengakhiri rekoleksi itu dengan mengutip kata-kata Maria, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.(Luk 1:38) Maria mampu ambil keputusan untuk menerima kabar gembira melalui Malaikat Gabriel. Keputusannya penuh resiko karena ia mengandung dari Roh Kudus sebelum menikah dengan Yusuf tunangannya. Apa kata orang? Maria tahu resikonya sebagai orang Yahudi, pasti disingkirkan. Namun, Maria tidak memutuskan untuk menolak Kabar Gembira yang mengejutkan itu melainkan menerimanya sebagai "perkataan Tuhan". Maria menerima dalam resiko yang berat. Itulah keputusan iman, meski resikonya berat, toh Maria tetap ambil keputusan itu: dia tetap percaya untuk mulai melangkah, meski ada banyak ketidakpastian. Dalam ketidakpastian itulah, Maria terbuka kepada penyelenggaraan Ilahi. Bagaimanakah kita akan mampu membuat keputusan seperti Maria, kalau kita tidak membiasakan diri belajar ambil keputusan dalam keluarga kita sendiri. Padahal Allah saja selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk menentukan pilihan dengan sadar dan bebas! Semoga hari hari menjelang Natal, kita mampu belajar untuk menentukan pilihan hidup karena Tuhan sudah percaya kepada kita! Tuhan yang percaya kepada kita adalah Tuhan yang menganugerahkan kebebasan! Kalau begitu, apakah kita juga bersedia untuk menciptakan kesempatan bagi suami, isteri, anak, saudara, sahabat kita agar mereka belajar menentukan jalan hidupnya sendiri?
Semoga Allah selalu diakui kehadiran-Nya dalam keluargamu!
Pastor Sinten mengakhiri rekoleksi itu dengan doa penutup. Panurata, Judesanti, Jerawati keluar dari aula Paroki Fransiskus Sukadiri dengan penuh senyum dan keceriaan. Pastilah mereka ceria bukan karena ketemu dengan Pastor Sinten yang tinggi, gemuk, berkumis tebal, tapi karena rekoleksi kali ini rasanya menggetarkan hati mereka. Komentar Panurata, "Wah, bener bener rekoleksi ini membuat aku hanya bisa tertunduk malu...ternyata cara pendidikan anakku selama ini masih jauuuuuuuh dari harapan Gereja!" Judesanti pun mengatakan yang sama, "Apalagi aku nih, sering membentak anakku, kuping apa canthelan baju lho...dipanggil 3 kali nggak denger! Gitu deh...aku ama anak-anakku!" Tidak kalah ketinggalan Jerawati, "Jangan heran, diam diam begini, aku judes lho....wah...pokoknya kalau nasi sampai tercecer...tidak ragu-ragu nih...paha anakku jadi sasaran tanganku..sebel banget gitu...! Makan aja nggak bisa!" Panurata lalu mencoba menetralisir komentar antar mereka, "ya..yang penting kita sudah sadar sekarang ini...kita berubah sekaranga...iya kan?" Judesanti dan Jerawati serempak mengiyakan, "Iyeee Mas Panu...untung kita ikut rekoleksi ini ya...wah berkat Tuhan di hari Natal ini..untuk keluargaku!"
Mereka bertiga lalu berpisah di depan pintu gerbang gereja St. Fransiskus untuk pulang sendiri sendiri! Mereka pulang dengan kekayaan iman yang baru!

warm regards!

CELENG PEMURUNG

oleh Blasius Full pada 05 Januari 2010 jam 11:47

Ada seekor CELENG Pemurung..
Ia mempunyai tetangga seekor KERA yang mempunyai
sifat sebaliknya..
KERA itu Periang, memiliki banyak Sahabat & Pintar
memberi Nasehat..

Suatu hari CELENG bertamu ke rumah KERA..
Kata CELENG :
'KERA, aku dengar engkau Binatang paling Bijaksana
di Rimba Belantara.. Benarkah itu?'
Sahut KERA :
'Kata Warga Rimba, memang demikian'

'Kalau begitu, boleh aku meminta nasehat kepadamu?'
Kata CELENG lebih lanjut..
'Oh, Silahkan' Jawab KERA..

'Begini KERA.. Aku tidak pernah merasa Bahagia dalam
Hidup ini.. Apa gerangan penyebabnya?'

KERA berpikir sejenak, kemudian menjawab :
'Oh CELENG, Pergilah mencari Pohon ZONGA..
Buahnya berwarna Ungu.. Petiklah buahnya,
lalu makanlah.. Dengan memakan Buah ZONGA saja kau
akan Bahagia seumur Hidup..'

'Buah ZONGA? Aku baru dengar sekarang..
Di mana terdapat Buah itu?'
Keesokan harinya, CELENG Berkelana untuk mencari
Buah Kebahagiaan itu..

Setahun kemudian ia tiba di Rimba tempat ia Lahir..
KERA menyambut kedatangan CELENG yang kini
wajahnya Segar & Ceria..
KERA bertanya :
'Sudahkah kamu menemukan Buah ZONGA?'
CELENG menjawab :
'Belum KERA.. Tetapi aku sangsi apa benar ada
Buah ZONGA itu? Seluruh Pelosok Dunia sudah kujelajahi,
Tidak seorangpun tahu tentang Buah Ajaib itu'

Sambil menyungging senyum, KERA menjawab :
'Benar dugaanmu itu, CELENG.. Buah ZONGA
hanya karanganku belaka.. Tentu saja kau tidak
bisa menemukannya.. Tetapi, bagaimana kau
memperoleh KEBAHAGIAAN itu?'

CELENG menjawab :
'Aku menikmati perjalanan itu.. Di mana2 aku
menjalin Persahabatan.. Setiap hari ada hal2 baru
yang kulihat.. Nah, ternyata dengan banyak
Bersahabat & Melihat luasnya Dunia,
Hatiku menjadi BAHAGIA'

KERA mengangguk2 mengiyakan..

Apa itu KEBAHAGIAAN?
Bagaimana bisa menemukan KEBAHAGIAAN?
BAHAGIA harus dimulai dari diri kita sendiri..
BAHAGIA bukan tergantung dari orang lain..
BAHAGIA bukan didapat dengan Menuntut orang lain..

Sebarkanlah TAWA, kau akan CERIA..
Sebarkanlah CINTA, kau akan BAHAGIA..
Dengan Memberi, kau akan Menerima..
Segala Duka Nestapa kan berganti Canda Ceria,
penuh Gelak Tawa..

HANKS GOD
For my Family..
For my Dearest Buddy..
For my Friends to Share..

I Love you full..
GBU all

from haryono99@gmail.com

Serba Salah Pastor

oleh Blasius Full pada 05 Januari 2010 jam 20:08

Kalau pastornya muda, dibilang masih blo'on. Kalau pastornya tua, sebaiknya pensiun saja.
Kalau khotbah terlalu panjang, dibilang menjengkelkan. Kalau khotbahnya cepat, "Kok, kayak kereta ekspres".
Kalau mulai misa tepat waktu, katanya kaku. Kalau terlambat, "Idiih, pastornya malas".
Kalau di kamar pengakuan menasehati, katanya banyak omong. Kalau sebaliknya, dibilang tidak tanggap.
Kalau mengikuti pendapat umat, dibilang tidak punya pendirian.Kalau mengikuti pendapat sendiri, dicap diktator.
Kalau keuangan paroki mepet, katanya pastor tak pintar usaha. Kalau ngomongin soal uang, dibilang mata duitan.
Kalau mengadakan misa lingkungan, katanya tak pernah kunjungan keluarga.Kalau mengunjungi keluarga, "Kapan sih pastornya misa lingkungan?"
Kalau pastor tak ada di pastoran, dicap tukang ngeluyur.Tapi kalau selalu ada, dibilang pastor kurang pergaulan.
Kalau memperhatikan anak-anak, dibilang "Masa kecil kurang bahagia".Kalau memperhatikan Mudika, giliran orang tua ngegosip.
Kalau dekat dan akrab dengan ibu-ibu dibilang, mungkin pastor masih butuh manja ama Ibunya? Kalau dekat dengan bapak bapak, dibilang, wah mungkin pastor mencari perlindungan agar tidak digosipin ibu-ibu.
Kalau nonton TV, dibilang enak-enakan. Kalau tidak, dibilang enggak mengikuti zaman.
Kalau pastornya tampil parlente dan berkumis tebal, dibilang, waah maskulin banget, puber kedua kali. Kalau pakaian seadanya & ngelomprot, dibilang, sebenernya pastor itu diajarin rawat diri apa nggak sih?
Kalau tidak ikut gabung di Facebook, pastor kok nggak gaul & nggak "up to date"! Tapi kalau tiap hari 3 kali ganti status, wah kerjaannya facebook terus!
Kalau sulit dicari, dibilang hanya Tuhanlah yang tahu kemana pastor pergi!
Kalau pastornya mudah dicari, katanya, waah Hp & BB-nya ONLINE teruuuuuusss!
Kalau pastornya trampil memberi presentasi managemen, dipersoalkan, pastor itu manager atau gembala sih?
Kalau pastornya sering sakit, wah pastor kok senengnya menghabiskan uang untuk berobat!
Kalau pastor sehat, dibilang, pantes aja sehat, kapan saja bisa tidur, kapan saja bisa pergi, lha bebas mengatur dirinya sendiri, gimana tidak sehat?
Kalau pastornya bisa masak, dibilang, emang nggak ada tukang masak apa? Pastor kan bukan tugas utamanya masak nasi, sayur dan sebagainya. Apa nggak ada kerjaan lain?
Kalau pastorya tidak bisa masak dan selalu minta tolong umat, dibilang, pastor itu manja bukan main, masakan setiap kali minta tolong disediakan nasi dan lauk pauk. Apa nggak bisa sendiri?
Kalau pastornya sering pergi dari pastorannya karena ada urusan rapat yang jelas terjadual di papan tulis, orang bilang Pastor itu PSK, Pastor Suka Keluyuran.
Kalau pastornya malahan sering di rumah, dibilang, pastor itu tugasnya jalan jalan, blusukan, tidak hanya duduk depan komputer: alasannya buat laporan, masak tiap hari buat laporan kerja.
TAPI, KALAU PASTORNYA MATI, SIAPA YANG MAU GANTI? SIAPA YAAAAA?
(sebagian dicopy dari artikel di http://enjoybareng.blogspot.com/)

Dokar Pak Trembel

oleh Blasius Full pada 06 Januari 2010 jam 15:33

Saudara-Saudari terkasih,

Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas VIP: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan ikut memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 kalau kereta rusak, harus turun tetapi boleh lihat saja, kelas III: 5000, harus ikut turun, harus ikut memperbaiki dan harus mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.

Kira-kira, apakah Bapak Ibu, anak-anak, mau memilih kelas III? Pasti rasanya kita enggan memilih kelas III, kita lebih suka kelas I, meski mahal, tapi nggak masalah, jadi nggak kerepotan. Masak sudah bayar masih mau disuruh ikut memperbaiki, enak aja!!

Saudara-Saudariku terkasih, mungkinkah dalam "kelompok para penumpang dokar" tadi ada getaran hati untuk saling menolong antara penumpang dan kusir dokar, Pak Trembel? Trimbil mungkin terpaksa harus ikut menolong, karena ya bagaimanapun juga dia orang pas-pasan dari segi keuangan. Ataukah kita mau berperan sebagai Jerawati, yang pinter jadi "pengamat" saja, toh memang sudah membayar sebagaimana tawar menawar dengan kusir. Apalagi Panurata, ia mengatakan tidak akan menolong, kan dia sudah menepati janji sebelum naik, mau naik kelas 1 dengan syarat tidak usah turun dan memperbaiki kalau kereta rusak. Diri kita mau pilih berperan sebagai Panurata, Jerawati atau Trimbil?

Saudara-Saudara terkasih, kelompok penumpang tadi yang tercipta karena "ketentuan tarif kelas utama, kelas II dan kelas III", menutup kemungkinan untuk mendengarkan jeritan kusir yang butuh pertolongan, meski kusir itu ada di depan matanya. Orang seperti Trimbil, membantu karena terpaksa, dan sikap macam begitu juga sikap "terbelenggu", kalau punya uang, ia pun barangkali tidak akan memilih kelas III.

Janganlah heran, barangkali komunitas kita kerap kali dibentuk dan dihidupi berdasarkan aturan-aturan yang menghambat "hadirnya cinta Tuhan" yang memberi kesegaran hidup. Aturan itu kita buat sedemikian rupa seolah-olah itu benar adanya. Cobalah perhatikan ungkapan ini, "Jangan berharap yang misa banyak yang datang, kalau dia sendiri tidak mau aktif di lingkungan! Jangan harap ada pertolongan kalau dia sakit, padahal waktu mereka sehat, tidak juga pernah mau terlibat pendalaman iman di lingkungan! Jangan harap, aku mengampunimu kalau kamu tidak mengampuni aku lebih dulu! Kalau kamu mau dihargai, ya hargai dong orang lain dulu, aku juga menghargai kamu kalau kamu mau menghargai aku!" Hukum balas jasa macam begitu, amat mewarnai bahasa pergaulan di lingkungan, paroki dan masyarakat. Padahal banyak orang miskin, banyak orang lemah dan tersingkir tidak akan pernah bisa membalas kebaikan bapak ibu dan saudara-saudari.

Justru karena orang miskin tidak bisa membalas kebaikan kita itulah, mereka memanggil kita, untuk menjadi tanda kehadiran Tuhan dalam diri orang miskin, lemah dan tersingkir. Mereka memanggil kita agar kita terlibat, sehingga kehadiran kita pun, apapun bentuknya, menjadi "sahabat dalam derita". Dalam bacaan hari ini, Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan orang yang hina. "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Mat 25:40).

Di lain sisi, "keterbatasan" orang miskin untuk membalas kebaikan kita, sebenarnya tidak hanya sekedar panggilan untuk menghadirkan kasih Tuhan, melainkan juga mereka memberikan berkat berlimpah, yakni : Tuhan juga hadir dalam diri kita untuk mengalami pemurnian diri, yakni Tuhan mencabuti akar akar egoisme yang mencari kepuasan batin dalam perbuatan baik dan saleh sekalipun. Dengan kehilangan kepuasan batin, kita belajar untuk memiliki motivasi murni dalam menolong orang lain karena apalah artinya kita terlibat dalam penderitaan sesama, kalau hati kita "penuh dengan egoisme rohani"! Kalau masih mencari kepuasan rohani, sebenarnya kita masih merasa berhak untuk menguasai diri kita sendiri. Kita masih ingin menjadi raja bagi hidup kita. Akibatnya, kita belum memberi kesempatan Kristus menjadi raja atas hidup kita.

Marilah kita belajar untuk membangun keluarga kita sebagai Gereja mini dengan "mengubah kelompok dokar Trembel" menjadi "komunitas dokar Trembel". Artinya, kita tidak sekedar membangun kelompok orang berdasarkan minat, status, jabatan yang selevel, melainkan membangun sebuah paguyuban orang yang dibangun karena sadar, bahwa kita ini adalah anggota Tubuh Mistik, dan Kristus Sang Kepala. Dalam Tubuh-Nya, kita bisa menjadi "satu saudara". Dengan "persaudaraan" itu, akan tercipta banyak kesempatan yang membuat orang kecil, lemah dan tersingkir menjadi pribadi yang dapat hidup layak: punya penghasilan, kebutuhan pokok terpenuhi, terlayani kesehatan dan pendidikan mereka, serta diberi kesempatan pula untuk menentukan hidupnya sendiri.

Kalau kenyataan itu terjadi, semakin nyatalah hanya Kristus yang hidup dalam diri kita, bukan diriku, bukan juga manusia lain.

Sahabat Ketiga

oleh Blasius Full pada 08 Januari 2010 jam 11:38

"Dalam hidup kita harus saling memegang amanah,
berlaku benar dan tidak mengelak tanggung jawab."

Dua orang sahabat bak pinang dibelah dua,
tak terpisahkan!
Mereka berkawan sejak kecil dan saling
menaruh percaya.
Seorang adalah pedagang, dan seorang lain
bendahara kerajaan.
Namun, pergolakan politik membuat kerajaan pecah.
Disintegrasi membuat kedua sahabat itu terpisah
di dua negeri yang berbeda.
Setelah dua tahun lewat, si pedagang ingin
mengunjungi sahabatnya.
Lalu ia pergi ke negeri seberang, tempat
sahabatnya menetap.

Ketika si pedagang tengah berjalan-jalan di tengah
kota, raja segera diberi tahu,
"Raja ada seorang mata-mata lalu-lalang di
negeri kita!"
Tampak sigap, sang raja memerintahkan menangkap si pedagang.
"Hai, kamu mata-mata, apa yang kamu cari di negeriku?" raja mulai mengintrogasi si pedagang.
"Hamba hanya pedagang yang ingin mengunjungi seorang sahabat di negeri ini," jelas si pedagang.
Alasan itu diacuhkan dan kecurigaan sang raja jauh lebih berkuasa.

Dalam persidangan yang serba kilat, hukuman mati dijatuhkan!
Lalu di pedagang sujud menyembah sang raja,
"Perkenankan hamba kembali ke negeri hamba terlebih dahulu.
Hamba harus menyerahkan semua investasi hamba
kepada anak dan istri, jika tidak, mereka akan
terlantar dan hidup dalam kesengsaraan. Setelah itu
hamba akan kembali untuk menjalani hukuman mati!"

"Gila! Apa aku ini raja bodoh? Mana ada tawanan
dilepaskan, dan mau kembali untuk mencari mati?"
sahut sang raja. "Ya mulia, hamba punya seorang sahabat di negeri ini,
dia belahan jiwa saya. Dia pasti mau menjadi jaminan bagi hamba!" usul si pedagang.

Lalu menghadaplah si bendahara kerajaan kepada raja!
"Benarkah terpidana ini karibmu?" tanya raja.
"Benar, paduka. Dan hamba bersedia menjadi jaminan
baginya. Bagi hamba ini sebuah amanah.
Bahagia rasanya melihat sahabat hamba pergi menempuh
risiko untuk mencari hamba, dan kini hamba rela
menawarkan hidup ini untuknya!" si bendahara mencoba
meyakinkan sang raja.
"Ingat! Jika dia tidak kembali dalam waktu tiga puluh
hari, kepalamu yang aku pancung!" tegas sang raja!
Sahabat itu mengangguk setuju.
Saat akhir batas waktu yang disepakati, raja menanti
si pedagang hingga sore hari.

Si pedagang tak kunjung datang.
Segera setelah matahari terbenam raja memerintahkan
tawanan segera dipancung!
Sementara leher si bendahara sudah di bawah eksekusi
pancungan, tiba-tiba seseorang berteriak,
"Raja, raja, hamba datang! Jangan pancung sahabat hamba!"
Si pedagang menarik tubuh sahabatnya, dan merebahkan
dirinya di bawah kapak pancungan!
"Sekarang aku telah siap untuk menjalani hukumanku!"
katanya seraya menatap tajam sahabatnya,
"terima kasih karena engkau mempercayaiku!"

Si bendahara tak ingin bergeser dari pancungan!
"Tidak! Aku sudah siap mati untukmu! Engkau telah
mengamanahkan kepadaku, dan sesungguhnya jika engkau
tak ke negeri ini mencariku, tak akan ada masalah ini, jadi...!"
Perdebatan di bawah eksekusi pancungan itu
berlangsung sengit, dan membuat raja amat terperangah.

Ia belum pernah melihat persahabatan seperti ini.
"Diam, diamlah! Kalian aku bebaskan! Kalian tidak
perlu mati. Persahabatan kalian yang mendalam itu
adalah permata yang mahal," seru raja,
"dan aku mohon kepada kalian, izinkan aku menjadi
sahabat ketiga kalian..."
Raja menjadi sahabat ketiga dan mereka belajar
sebuah hikmat, bahwa dalam hidup kita harus saling
memegang amanah, berlaku benar dan tidak mengelak
tanggung jawab, termasuk dalam mengisi persahabatan.

sent by haryono99@gmail.com